Peristiwa Internasional

12 Kepala Pertahanan Negara Mengkutuk Tindakan Keji Militer Myanmar

Minggu, 28 Maret 2021 - 16:08 | 32.05k
Tampak sebuah anggota keluarga menangis di depan seorang pria yang ditembak mati dalam tindakan keras pengunjuk rasa anti-kudeta dan Jenderal Senior Min Aung Hlaing saat parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata. (FOTO: Al Jazeera/Reuters/AP)
Tampak sebuah anggota keluarga menangis di depan seorang pria yang ditembak mati dalam tindakan keras pengunjuk rasa anti-kudeta dan Jenderal Senior Min Aung Hlaing saat parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata. (FOTO: Al Jazeera/Reuters/AP)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sebanyak 12 kepala pertahanan negara di Dunia bersama-sama mengkutuk pasukan keamanan Myanmar yang telah membunuh 114 orang dalam tindakan kerasnya menangani demonstrasi anti kudeta militer.

Dilansir Al Jazeera, para kepala pertahanan dari 12 negara tersebut datang dari Amerika Serikat, Inggris Raya, Jepang, Korea Selatan, Australia, Kanada, Jerman, Yunani, Italia, Denmark, Belanda, dan Selandia Baru.

Mereka menandatangani pernyataan bersama hari Minggu (28/3/2021). Mereka mengutuk militer Myanmar karena tindakan kerasnya yang mematikan para demonstran, ketika orang-orang di negara Asia Tenggara itu berduka atas mereka yang kehilangan nyawa mereka di hari paling berdarah sejak kudeta 1 Februari.

demo Junta Militer Myanmar

"Seorang militer profesional mengikuti standar internasional untuk perilaku dan bertanggung jawab untuk melindungi, bukan merugikan orang-orang yang dilayaninya," kata para kepala pertahanan itu.

"Kami mendesak angkatan bersenjata Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan bekerja untuk memulihkan rasa hormat dan kredibilitas dengan rakyat Myanmar yang telah hilang melalui tindakannya," katanya.

Kecaman bersama yang jarang terjadi saat pasukan keamanan menewaskan sedikitnya 114 orang pada hari Sabtu, sekaligus Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, oleh penyelidik PBB disebut "pembunuhan massal". Bahkan, beberapa anak turut menjadi korban yang tewas.

Komite Pemogokan Umum Kebangsaan (GSCN), salah satu kelompok protes utama, memberikan penghormatan kepada mereka yang meninggal, mengatakan dalam sebuah posting Facebook: "Kami memberi hormat kepada para pahlawan kami yang mengorbankan nyawa selama revolusi ini". Ia menambahkan, "Kita Harus Memenangkan Revolusi Ini."

Bagi tentara  Myanmar sendiri, Sabtu juga merupakan pertempuran terberat sejak kudeta antara tentara dan kelompok etnis bersenjata yang menguasai sebagian wilayah negara. 

Pesawat tempur Myanmar menewaskan sedikitnya tiga orang dalam serangan di sebuah desa yang dikendalikan oleh kelompok bersenjata dari minoritas Karen, kata sebuah kelompok masyarakat sipil pada Minggu.

Sebelumnya faksi Persatuan Nasional Karen mengatakan, telah menyerbu sebuah pos militer di dekat perbatasan Thailand dan membunuh 10 orang militer Myanmar.

Kekerasan yang dilakukan militer Myanmar saat unjuk kekuatan besar-besaran pada Hari Angkatan Bersenjata tahunannya, sangat bertolak belakang dengan kalimat yang diumbar pemimpin kudeta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Min Aung Hlaing mengatakan, selama parade militer di Naypyidaw, militer akan melindungi rakyat dan memperjuangkan demokrasi.

Jenderal itu telah menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, menuduh kecurangan tanpa pernah menunjukkan bukti dalam pemilihan yang mengembalikan Liga Nasional untuk Demokrasi ke tampuk kekuasaan November lalu.

Delegasi Uni Eropa untuk Myanmar mengatakan bahwa Hari Angkatan Bersenjata Myanmar ke-76 "akan tetap terukir sebagai hari teror dan aib".

"Pembunuhan warga sipil yang tidak bersenjata, termasuk anak-anak, adalah tindakan yang tidak dapat dipertahankan," tambahnya.

Duta Besar AS, Thomas Vajda dalam sebuah pernyataan mengatakan "pasukan keamanan sedang membunuh warga sipil yang tidak bersenjata".

"Ini bukan tindakan militer atau polisi profesional," tulisnya. "Rakyat Myanmar telah berbicara dengan jelas: mereka tidak ingin hidup di bawah kekuasaan militer," ujarnya.

Hari Sabtu Kedutaan Besar AS  tembakan terjadi di pusat budaya di Yangon, namun tidak ada yang terluka.

Pelapor Khusus PBB, Tom Andrews mengatakan sudah waktunya dunia untuk mengambil tindakan, jika tidak bisa melalui Dewan Keamanan PBB, bisa melalui pertemuan puncak darurat internasional.

Tom mengatakan, pemerintah militer harus dipotong dari pendanaan, seperti pendapatan minyak dan gas, dan akses ke senjata.

"Kata-kata kecaman atau keprihatinan terus terang terdengar hampa bagi rakyat Myanmar, sementara junta militer melakukan pembunuhan massal terhadap mereka," katanya dalam sebuah pernyataan.

"Rakyat Myanmar membutuhkan dukungan dunia. Kata-kata saja tidak cukup. Sudah lewat waktu untuk tindakan yang kuat dan terkoordinasi," ujarnya.

Sementara korban meninggal dunia di Myanmar terus meningkat karena pihak berwenang semakin kuat dalam menekan oposisi terhadap kudeta 1 Februari.

Hingga Jumat, Asosiasi Bantuan Tahanan Politik, sebuah kelompok pemantau, mengatakan telah memverifikasi 328 kematian dalam tindakan keras junta pasukan keamanan Myanmar, pasca kudeta. Lebih dari 2.400 orang ditahan. (*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES