Kopi TIMES

Konflik Parpol dan Penyelesaian Internal

Senin, 22 Maret 2021 - 20:21 | 95.96k
Haris Zaky Mubarak, MA, Analis Nasional dan Direktur Jaringan Studi Indonesia
Haris Zaky Mubarak, MA, Analis Nasional dan Direktur Jaringan Studi Indonesia

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Eksistensi Partai Politik (Parpol) merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah negara demokrasi. Namun, tak semua parpol mampu berkontribusi positif bagi perbaikan kualitas demokrasi. Tak sedikit eksistensi Parpol yang justru menghancurkan demokrasi itu sendiri melalui berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Karena hal itulah, memperbaiki kualitas parpol merupakan bagian penting dari penyelamatan demokrasi negara.

Perseteruan para elite Partai Demokrat yang melibatkan kalangan tokoh pendiri dan pengurus partai  yang berseberangan pemikiran telah memunculkan dua kubu rivalitas pengurus. Pertama, Kelompok Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kedua, Kelompok partai melalui hasil penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) yang secara aklamasi telah menetapkan Moeldoko, Kepala Staf Kepresiden, sebagai Ketua Umum Demokrat periode 2021/2025.

Benturan Kepentingan

Konflik internal partai politik (parpol) sebenarnya merupakan sesuatu yang lumrah di negara-negara dengan sistem demokrasi yang telah mapan maupun demokrasi baru. Hanya pada negara-negara yang tidak demokratis atau semi-demokratis, serta di negara dengan sistem satu partai saja faksionalisasi dan konflik. Benturan kepentingan dan nilai politik merupakan hal lumrah sebagai akibat dari dihormati dan dijaminnya perbedaan pendapat. Sepanjang konflik tak menghancurkan sistem dan kelembagaan demokrasi, maka ia harus dianggap sebagai sesuatu yang wajar adanya. 

Sayangnya, yang terjadi di hampir setiap konflik internal yang dialami oleh parpol Indonesia adalah pertikaian yang destruktif karena seringkali menyebabkan ambruknya tatanan sistem. Hal ini bisa diamati dari hampir semua parpol yang mengalami perpecahan internal, berakibat pada terganggunya kinerja parpol yang ditandai dengan merosotnya perolehan suara pemilu secara signifikan, dan bahkan bisa mengakibatkan partai yang bersangkutan tak mampu lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagaimana yang dialami oleh Partai Hanura pada Pemilu 2019.

Partai Demokrat saat ini sudah terbelah menjadi dua kubu. Ada Partai Demokrat kubu AHY dan ada Partai Demokrat kubu Moeldoko. Terbelahnya Partai Demokrat menjadi dua kubu ini akan berdampak pada Pemilu 2024 mendatang. Suara Partai Demokrat dikhawatirkan akan semakin tergerus. Konflik internal ini mengakibatkan keterbelahan pemilih Demokrat, dan berdampak pada perolehan suara  Demokrat pada pemilu serentak 2024 mendatang.

Berbeda dengan KLB umumnya, KLB Partai Demokrat ini dapat dianggap istimewa. Karena melibatkan tokoh luar partai yang sedang berkonflik. Kehadiran sosok Moeldoko, mantan Panglima TNI era SBY yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan memunculkan  asumsi intervensi pemerintah dalam konflik. Apalagi Moeldoko merupakan sosok dekat dalam lingkungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) maka tak pelak rumor dan juga dugaan analisa pun bermunculan. Sejauh mana Presiden Jokowi mengetahui aktivitas bawahannya

Konflik Partai Demokrat masih panas. Kedua kubu yang berkonflik, baik kubu di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono dan kubu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang terpilih sebagai ketua umum Demokrat dalam Kongres Luar Biasa Demokrat, saling klaim diri paling benar dan paling sah. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berjanji bakal obyektif dan profesional jika kelak kubuKongres Luar Biasa atau KLB Demokrat mengajukan hasil kongres untuk disahkan. 

Secara prosedural, Pemerintah sesungguhnya tetap harus berpedoman pada Undang – Undang (UU) Parpol, Peraturan Menkumham Nomor 34 Tahun 2017, dan AD/ART Demokrat. Dalam langkah aplikatifnya, keberadaan UU Parpol itu sebenarnya mendorong untuk menyelesaikan sengketa yang ada melalui internal partai politik. Itu sebabnya di dalam UU Partai Politik jelas dicantumkan bahwa perselisihan partai politik diselesaikan secara internal dengan mengacu pada ketentuan AD dan ART. Itulah dasar yang melahirkan Mahkamah Partai atau lembaga yang sejenis itu, dengan penyelesaian secepatnya dan wajib disampaikan kepada kementerian. Bahkan, untuk perselisihan kepengurusan, putusannya bersifat final dan binding secara internal. 

Masalahnya, tidak semua aktor politik mau taat pada hal ini. Apalagi, jika dilandasi oleh kepentingan tertentu, termasuk jika ada jaminan bisa memenangi proses peradilan atas hal itu. Itulah yang membuat nyaris tidak pernah ada perselisihan internal partai yang berakhir di Mahkamah Partai atau badan sejenis ini. Hampir selalu semuanya berujung ke pengadilan yang sudah diatur limitatif penyelesaiannya. Bahkan, Mahkamah Agung juga sudah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang hal ini. 

Pihak Kemenkumham  sendiri sebenarnya tak bisa mengesahkan hasil KLB Demokrat karena terganjal salah satu syarat di Pasal 21 Peraturan Menkumham Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD dan ART, serta Perubahan Kepengurusan Parpol. Syarat dimaksud harus ada surat keterangan tidak dalam perselisihan internal parpol dari mahkamah partai yang sesuai AD/ART partai. Masalah internal partai mesti diselesaikan, baru diajukan permohonan perubahan kepengurusan parpol.

Rekonsiliasi Internal

Perpecahan internal parpol di Indonesia sudah berlangsung lama. Tidak ada yang baru. Semua terjadi dengan kontekstual tantangan konfliknya masing – masing.Eksistensi parpol merupakan keniscayaan bagi sebuah negara demokrasi. Namun, tidak semua parpol berkontribusi positif bagi perbaikan demokrasi. Sebagian yang lain, keberadaannya justru merusak dan menghancurkan tatanan demokrasi itu sendiri melalui perilaku-perilaku koruptif dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, hadirnya parpol dalam rangka konsolidasi demokrasi yang paling utama bukan pada soal kuantitas, tetapi pada kualitas. Oleh karena itu, memodernkan parpol merupakan agenda yang sangat mendesak untuk segera dilakukan. Sebab hanya partai-partai yang kuat dan terinstitusionalisasi yang menjanjikan terbangunnya demokrasi yang baik. Parpol haruslah dikelola secara profesional dan demokratis, bukan sebaliknya yaitu dikendalikan secara oligarkis di mana para individu yang menjadi pengurus, hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan guna menggapai dan memuaskan kepentingan pribadi. 

Jika bersandarkan sejarah perkembangan parpol selama dua decade pelaksanaan reformasi, eksistensi parpol sebagai penopang utama tegaknya demokrasi, justru semakin dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik. Kepentingan pribadi dalam banyak hal seringkali mengalahkan kepentingan parpol sebagai institusi. Implikasinya, pengorganisasian partai politik tak berjalan berdasarkan sistem tetapi bersandar pada kepentingan elit politik sehingga ukuran benar tidaknya perilaku anggota dan kader parpol, bukan didasarkan pada aturan dan AD/ART, tetapi pada subjektivitas ketua umum yang seolah menjadi penentu dalam segala macam kebijakan parpol.

Karena itulah dalam spirit reformasi sesungguhnya telah diatur bagaimana eskalasi konflik dalam parpol dapat diminimalisir. Hadirnya instrumen undang-undang, setiap parpol diwajibkan membentuk Mahkamah Partai (MP) atau sebutan lainnya guna menyelesaikan setiap timbul sengketa internal. Pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 menyatakan: Perselisihan Parpol diselesaikan oleh internal Parpol sebagaimana diatur di dalam AD dan ART yang dilakukan oleh suatu mahkamah parpol.

Dalam regulasi Mahkamah Partai, UU Parpol memberikan keleluasaan kepada partai, apa pun namanya. Mahkamah tersebut harus diatur lebih lanjut dalam AD/ART partai. Di setiap AD/ART partai, pasti ada mahkamah ini dengan nama yang berbeda di setiap partai. Dewan inilah yang berwenang menyelesaikan konflik internal yang melanda setiap parpol, terutama konflik yang berkaitan dengan kepengurusan. 

Mengelola konflik parpol jelas menjadi wujud kesadaran perlunya pembenahan tata kelola kepartaian. Kegagalan mengelola konflik partai politik berpotensi merusak soliditas sekaligus menurunkan citra partai, dan menggerus loyalitas pemilih. Persoalan yang terjadi ditubuh parpol sejatinya menjadi hak dan urusan rumah tangga yang harus diselesaikan dengan mekanisme internal.Berlarutnya kekisruhan parpol dan menjadi polemik di publik, tentu menjadi beban berat bagi partai tersebut. Kita sangat berharap jika konflik parpol dapat diselesaikan secara bijaksana dengan penuh kedewasaan supaya praktik demokrasi politik Indonesia dapat berjalan secara baik.

***

*)Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA, Analis Nasional dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES