Peristiwa Internasional

Prancis Tangguhkan Proyek PLTA Raksasa di Myanmar

Sabtu, 20 Maret 2021 - 21:32 | 37.58k
Pengunjuk rasa anti-kudeta membawa temannya yang terluka katena tindakan keras pasukan keamanan Myanmar di Yangon. (FOTO: The Irrawaddy)
Pengunjuk rasa anti-kudeta membawa temannya yang terluka katena tindakan keras pasukan keamanan Myanmar di Yangon. (FOTO: The Irrawaddy)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Raksasa energi Prancis Électricité de France  menangguhkan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) senilai lebih dari US $ 1,5 miliar (2,11 triliun kyats) di Negara Bagian Shan di Myanmar. Alasannya penangguhan proyek PLTA raksasa di Myanmar ini karena masalah hak asasi manusia (HAM) oleh rezim militer yang terus menerus menggunakan kekuatan mematikan dalam menindak pengunjuk rasa anti-kudeta di seluruh negeri.

Hingga Jumat, lebih dari 230 warga sipil telah dibunuh oleh pasukan keamanan junta militer dalam tindakan keras mereka terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi yang damai di negara itu.

The Irrawaddy melansir, Électricité de France (EDF) memberi tahu kelompok hak asasi manusia pada hari Jumat bahwa mereka telah menghentikan pengembangan Proyek Shweli-3, termasuk aktivitas subkontraktornya.

Dipimpin oleh EDF, proyek 671 MW itu sedang dikembangkan bersama dengan Marubeni Corporation Jepang dan Myanmar Ayeyar Hinthar Company milik lokal.

Perusahaan menerima Notice to Proceed pada 2018 di bawah pemerintahan yang dipimpin oleh National League for Democracy (NLD). Diharapkan dapat menghasilkan 3 miliar kWh listrik setiap tahun untuk jaringan nasional dan memasok listrik ke lebih dari 8,5 juta penduduk di seluruh negeri.

Pada bulan Februari, pemimpin kudeta Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan, rezim akan "terus melaksanakan" proyek pembangkit listrik tenaga air yang ada. Namun, sejak kudeta 1 Februari, masalah hak asasi manusia di antara investor asing telah membuat Myanmar kehilangan kesempatan untuk melaksanakan proyek bernilai miliaran dolar itu.

Awal Februari, pekerjaan di pusat industri modern senilai $ 1 miliar yang didukung oleh pengembang kawasan industri terbesar di Thailand, Amata Corporation juga ditangguhkan karena khawatir sanksi akan dijatuhkan oleh negara-negara Barat.

Raksasa minuman Jepang, Kirin juga mengakhiri kemitraan bisnis birnya dengan konglomerat milik militer Myanmar, Myanma Economic Holdings Public Co. Ltd. (MEHL), menyusul kudeta tersebut.

Selain itu, pengusaha Singapura terkemuka Lim Kaling menarik diri dari usaha patungan yang terkait dengan MEHL yang menjalankan bisnis rokok paling populer di negara itu.

EDF mengatakan bahwa mereka mematuhi prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan konvensi Organisasi Perburuhan Internasional, serta Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, di setiap proyek yang diikutinya.

Perusahaan mengatakan sedang mengikuti perkembangan di Myanmar dalam kerja sama erat dengan otoritas Prancis dan Uni Eropa.

Kelompok hak asasi manusia Justice for Myanmar dan Info Birmanie yang berbasis di Prancis menyambut baik keputusan EDF, dan mengatakan melanjutkan proyek akan melibatkan melakukan bisnis dengan junta militer, yang mereka gambarkan sebagai penjahat dan katakan dengan sengaja membunuh pengunjuk rasa damai dalam apa yang disebut kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sophie Brondel, koordinator Info Birmanie, mengatakan, keputusan EDF untuk menangguhkan proyek pembangkit listrik tenaga air Shweli-3 merupakan tonggak sejarah dan menunjukkan jalan ke depan bagi perusahaan Prancis di Myanmar.

"Kami secara khusus menyerukan kepada semua perusahaan yang memiliki hubungan dengan junta untuk memutuskan hubungan tersebut. Bisnis memiliki tanggung jawab untuk berdiri di sisi demokrasi dan memastikan mereka tidak mendorong junta. Status quo bukanlah pilihan," katanya.

Kelompok hak asasi manusia menekan bisnis internasional untuk memutuskan hubungan dengan rezim militer karena kekhawatiran bahwa investasi mereka akan mendanai perlakuan brutal rezim terhadap warganya.

Selain proyek PLTA raksasa di Myanmar milik Prancis, baru-baru ini, kelompok hak asasi manusia dan Komite Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), sebuah komitmen yang dibentuk oleh anggota parlemen terpilih dari pemerintah Liga Nasional untuk Demokrasi yang digulingkan, telah berulang kali mendesak perusahaan minyak dan gas besar milik asing termasuk Total SE Prancis, Petronas Malaysia, PTT Thailand dan POSCO Korea Selatan untuk menghentikan hubungan bisnis dengan rezim militer Myanmar. (*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES