Kopi TIMES

Everything Not To Be Okay: Refleksi Jelang Kongres HMI dan PMII

Rabu, 17 Maret 2021 - 17:24 | 86.54k
Ikrama Masloman, Peneliti Senior LSI/ Fungsionaris PB HMI 2010-2012.
Ikrama Masloman, Peneliti Senior LSI/ Fungsionaris PB HMI 2010-2012.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Usianya memang belum ranum. Namun namanya begitu Harum, di usia 19 tahun, aktivis Myanmar pemberani itu meregang nyawa, timah panas yang menembus kepalanya, membuat Mal Kyal Sin alias Angel tergeletak, detaknya terhenti, namanya pun abadi.

Sontak foto Angel yang berbalut Kaos bertuliskan “Everything Will Be Okay” viral memeluk jutaan mata seantero bumi, memicu protes dan perlawanan.

Namun di Indonesia, momentum Mal Kyal Sin sayup terdengar. Mereka sedang punya hajatan katanya! dibulan baik ini, dua organisasi pemuda terbesar, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) akan menggelar kongres. Jelang kongres kami para purnawirawan HMI mulai bergerutu, menyoal absennya peran aktivis menyoroti persoalan bangsa hari-hari ini.

Layaknya mitologi Prometheus, yang mencuri Api milik Dewa Zeus (penguasa) dan membagi pada umat manusia, di Indonesia Api dari penguasa tidak mesti soal kebijaksanaan dan pencerahan. Api itu kadang soal ketundukan, melumat aktivis, sehingga tidak memiliki kaki, membuat disorientasi, sehingga lupa akar perjuangan mereka sendiri “sebagai agen perubahan, pencipta dan pengabdi rakyat”.

Beban dipundak aktivis sebagai kelompok kontrol dan penekan kekuasaan, sepertinya telah ditanggalkan. Kecanduan pada Api, membuat mereka kehilangan posisi, meminjam Chantal Mouffe, gejala aktivis seperti ini, sebagai fenomena post politics (paska politik), dimana tidak ada lagi spektrum kiri atau kanan, siapa lawan, siapa kawan, semua berkumpul ke tengah, magnet kekuasaan membuat mereka kehilangan nilai yang diperjuangkan, satu-satunya ideologi mereka adalah ideologi kesejahteraan, itupun bukan kesejahteraan rakyat, melainkan kesejahteraan para aktivis dan mentor-mentornya.

Maka tidak anyar, kita dengar, dinamika aktivis hanya sebatas sebuah perjalanan menuju kekuasaan. Bermodal daftar ratusan cabang, juga deretan nama-nama kader. Dengan dalil stabilitas negeri, aktivis kerap disodori posisi-posisi mini, sekedar menjadi staf atau komisaris. Kata anak gaul Jakarta “no free lunch”, tidak ada makan siang yang gratis, semua ada harganya. maka aktivis perlu menjawab, Worth it-kah itu semua, jika dibandingkan dengan hilangnya kepekaan, sehingga tidak lagi kalian dengar suara jeritan rakyat yang kehilangan kanal untuk bersuara.

Kelindan aktivis dan kekuasaan lebih banyak menorehkan cerita aliansi yang bercorak subordinasi, ketimbang sekedar bersinergi menghadirkan checks and balances dalam berbangsa dengan tetap menghargai otoritas-otoritas masing-masing.

Jelang kongres organisasi-organisasi aktivis ini, penulis dituntut atensi, mengingatkan para aktivis untuk menjalankan agenda purifikasi organisasi, pemurnian organisasi ini hanya boleh dilakukan, dengan pendikotomian yang jelas antara we and the others, dimana harus jelas, di posisi rakyat aktivis berdiri, dan di posisi penguasa corong-corongnya meraka dihadapkan. Yang menuntun aktivis harus membaca-baca kembali list kebutuhan rakyat yang berkembang, sebagai agenda utama, yang dulu sering meraka lupakan.

Peran organisasi aktivis akan bermakna jika orientasi dan sensitivitas atas kepedulian rakyat dikedepankan. Otomatis demokrasi ikut disehatkan, mengobati tamparan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020 yang mencatat Indeks Demokrasi Indonesia merosot dan terendah dalam kurun 14 tahun terakhir. Bahkan dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.

Everything Not To Be Okay, maka saatnya gerbong-gerbong aktivis disatukan dalam narasi perubahan, saatnya lokomotif berjalan kearah transisi, dari apa yang disebut sebagai thin legitimation atau legitimasi yang hanya disandarkan sebatas aktualisasi di kotak suara.

Tentu kita semua enggan perannya disimplifikasi sebatas itu, apalagi kita tahu bersama defisit demokrasi ini bersumber dari disfungsi institusi politik dan supremasi hukum yang lemah, saatnya transisi bergerak kearah thick legitimation, yang selaras dengan cita-cita deliberasi yang menuntut keterlibatan lebih, yang memperhitungkan opini dan aspirasi rakyat. Yakinlah tanpa transisi itu, kongres para aktivis hanyalah festival kekalahan.

Dan akan kalian dengar lagi satire rakyat meminjam puisi bertold Brect:

Di lembah-lembah gelap orang-orang menderita kelaparan 
Kau hanya menunjukkan roti dan membiarkan mereka mati 
Kau hanya menundukkannya pada rencana

***

*)Oleh: Ikrama Masloman, Peneliti Senior LSI/ Fungsionaris PB HMI 2010-2012.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES