Kopi TIMES

Pemberian Hadiah untuk Kepala Daerah: Antara Tradisi dan Gratifikasi

Rabu, 17 Maret 2021 - 04:01 | 84.06k
Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum.; Jaksa pada Kejaksaan Negeri Situbondo/ Tenaga Pengajar Pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh (Unars) Situbondo/ Mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum.; Jaksa pada Kejaksaan Negeri Situbondo/ Tenaga Pengajar Pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh (Unars) Situbondo/ Mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Sah, pada awal tahun 2021 para Kepala Daerah baru telah dilantik baik untuk tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota untuk pemilihan tahun 2020. Keadaan yang lebih baik tentunya menjadi instrumen harapan bagi masyarakat setempat sekaligus sebagai momentum penagihan dari janji-janji manis para kepala daerah terpilih selama kampanye saat itu.

Sinyal pemilihan yang akan dilaksanakan lagi secara serentak pada tahun 2024 membuat masa bakti para kepala daerah yang baru dilantik tersebut menjadi lebih singkat dari waktu normal selama 5 tahun menjadi hanya sekira 3 tahun lebih. Singkatnya masa jabatan diharapkan menjadi pemicu maksimal para kepala daerah untuk bekerja dalam menuntaskan program-program andalan.

Selain memang sudah menjadi kewajiban, kinerja maksimal para kepala daerah akan memberikan bonus lain berupa jejak manis untuk masyarakat dan daerah tersebut bagi kepala daerah yang sudah dua kali periode, dan akan menjadi modal penting berupa kepercayaan masyarakat bagi kepala daerah yang akan mencalonkan kembali.

Tentang Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Corruptie, yang  berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan yang tidak beres dari jawatan, pemalsuan dan sebagainya. Korupsi juga bisa diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan dalam UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ada 7 (tujuh) kelompok tindak pidana korupsi, yaitu Merugikan keuangan/perekonomian negara, Suap menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan, Perbuatan Curang, Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Gratifikasi.

Selain itu ditambah dengan 6 (enam) Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu Merintangi Proses pemeriksaan perkara korupsi, Tidak memberi keterangan/memberikan keterangan yang tidak benar, Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan/memberikan keterangan palsu, dan Saksi yang membuka identitas pelapor.

Dikutip dari laman Kompas.com berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui sampai tahun 2020 telah ada lebih dari 300 kepala daerah yang terjerat korupsi. Data tersebut memberikan pesan kepada para kepala daerah baru untuk selalu berhati-hati dalam melaksanakan tugas dan senantiasa menjalankan amanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Potensi Motivasi Korupsi

Semboyan demokrasi “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” harus dibayar dengan biaya mahal oleh negara demi sebuah kontestasi politik melalui pemilihan yang bersih dan benar untuk menghasilkan para pemimpin yang diharapkan. Besarnya biaya dari sisi penyelenggaraaan pemilihan juga diikuti dengan tingginya biaya yang mungkin dikeluarkan oleh para calon wakil rakyat sebagai kontestan.

Diawali dari proses pencalonan melalui kendaraan politik pengusung untuk mendapatkan rekomendasi dan fasilitas kepartaian, sampai pada usaha merebut para calon pemilih melalui berbagai pendekatan yang bersifat persuasif membuat potensi besar terjadinya praktik politik uang. Mulai dari pemberian uang bertajuk bantuan kemanusiaan, sampai pada gencaran “serangan fajar” merupakan beberapa varian terselubung modifikasi praktik politik uang.

TB. Massa Djafar menyatakan, pada masa demokratisasi, korupsi dan money politics adalah dua hal yang bertalian. Pada umumnya sumber untuk mendapatkan dukungan politik yang dibangun oleh para politisi diperoleh melalui hasil korupsi. Artinya jika kelak seorang politisi berhasil memperoleh posisi politik, ia akan melakukan korupsi untuk menggantikan biaya yang telah digunakan untuk mencapai tujuan politiknya.

Dikutip dari tulisan Burhanuddin Muhtadi dalam Jurnal Antikorupsi Integritas, rata-rata insiden politik uang di dunia mencapai 14,22%. Malpraktik elektoral ini banyak terjadi di Uganda (41%), Benin (37%), Indonesia (33%), Kenya (32%), Liberia (28%), Swaziland (27%), Mali (26%) dan Niger (24%). Posisi Indonesia yang masuk peringkat ketiga terbesar di dunia sebagai negara yang paling banyak praktik politik uang dalam Pemilu membuat potensi motivasi untuk korupsi para pejabat yang telah terpilih menjadi sangat terbuka.

Keterkaitan antara politik, uang, dan korupsi, akan menjadi siklus kausalitas. Efek praktik politik uang nantinya berpeluang besar terefleksi ke dalam tindak pidana korupsi politik. Tahapan motif korupsi yaitu corruption by need, corruption by greed, dan corruption by design berpeluang sekali terbentuk. Kepala daerah terpilih yang mengeluarkan modal besar bukan tidak mungkin terbentuk mindset bagaimana mengembalikan modal tersebut, keadaan semacam ini memberikan peluang awal terciptanya motif korupsi tahap awal yaitu korupsi karena kebutuhan (corruption by need). Selanjutnya apabila korupsi telah menjadi kebiasaan yang nyaman dan mengenakkan maka mulailah muncul motif korupsi tahap lanjutan yaitu korupsi karena kerakusan atau keserakahan (corruption by greed).

Titik puncaknya kebiasaan korupsi tersebut akhirnya memunculkan pola korupsi yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga korupsi tersebut bukan lagi terlihat sebagai korupsi (corruption by design). Pada fase ini akan turut dilibatkan orang-orang yang ahli dibidangnya masing-masing untuk ikut serta mengatur korupsi tersebut, agar disamarkan atau bahkan dihilangkan jangan sampai terlihat seperti korupsi, disinilah kemudian terbentuk komunitas korupsi berjamaah.

Dari Hadiah Menjadi Korupsi

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya tentang merugikan keuangan/perekonomian negara, tetapi juga tentang gratifikasi. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU. No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam penjelasan pasal tersebut, gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima di dalam negeri maupun yang di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika maupun tanpa sarana elektronika

Implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit menghadapi kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih mengangap bahwa memberi hadiah (baca: gratifikasi) merupakan hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat ‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar masyarakat bahkan antar bangsa.

Menghindari penggunaan keuangan negara yang berpotensi merugikan namun tetap menerima pemberian dari orang lain untuk menutupi kebutuhan merupakan ragam modifikasi praktik korupsi, karena pada hakikatnya penerimaan hadiah oleh kepala daerah apapun bentuknya yang nantinya berpotensi berhubungan dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya merupakan perbuatan koruptif yang termasuk perbuatan yang patut dicela karena minimal secara moral nanti dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dengan jabatannya tersebut.

Sesuai dengan ketentuan UU Tipikor, hanya gratifikasi yang dianggap pemberian suap yang dapat dipidana. Kepala daerah dapat mengantisipasi potensi pidana gratifikasi dengan melaporkan kepada KPK maksimal 30 hari sejak penerimaan tersebut, yang nantinya KPK akan menentukan apakah barang pemberian gratifikasi tersebut menjadi milik penerima atau menjadi milik negara.

Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK kepada salah satu kepala daerah baru-baru ini kiranya bisa memberikan pelajaran bagi kepala daerah yang baru dilantik untuk tidak sembarangan menerima hadiah yang berpotensi sebagai gratifikasi dalam lingkup tindak pidana korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 B ayat (2) UU Tipikor, gratifikasi diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tingginya ancaman pidana bagi pelaku gratifikasi merupakan manifestasi konkrit teori hukum pidana modern untuk menanggulangi kejahatan korupsi gratifikasi. Jadi selain sanksi pidana digunakan sebagai tindakan penindakan sekaligus juga sebagai upaya pencegahan. Salam anti korupsi.

***

*)Oleh: Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum.; Jaksa pada Kejaksaan Negeri Situbondo/ Tenaga Pengajar Pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh (Unars) Situbondo/ Mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES