Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Birokrat Yang Mendustai Agama

Senin, 08 Maret 2021 - 15:08 | 34.75k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Gunnar Myrdal, sosiolog dan peneliti ini pernah menyebut, bahwa suatu negara disebut lembek, ketika mentalitas kerja birokrat atau pejabat-pejabat negaranya lamban, indisipliner, dan sering menyalahgunakan kewenangan. Mentalitas yang demikian inilah yang membuat kehidupan negara menjadi carut marut. Wajah karut marut ini setidaknya dapat terbaca dalam setiap kali negeri ini diuji bencana alam, khususnya yang berhubungan dengan birokrasi penanganan korban.

Apa yang disebut Myrdal itu sebenarnya tergolong kritik cerdas terhadap setiap pelayan masyarakat, atau birokrat. Myrdal mengidolakan birokrat yang kuat dalam mengemban layanan publik, yang selalu mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan, atau birokrat yang menempatkan etos kerja sebagai nafas utama dalam kinerjanya. Birokrat yang masih rajin indisipliner merupakan penyakit sejati masyarakat, yang layak diposisikan sebagai bencana negara yang berembrio dari birokrasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

"Tidak disebut beriman untuk seseorang yang tidak (menjalankan) amanat, dan tidak beragama untuk seseorang yang tidak menepati janjinya", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan tentang standar moral yang sangat menentukan kondisi keimanan (keagamaan) seseorang.

Komitmen dan teguh pendirian merupakan senyawa dan konvergensi nilai-nilai moralitas luhur yang dijadikan tolok ukur keimnanan seseorang. Kalau keteguhan pada janji dan kinerja bermoral bisa ditegakkannya, maka ini merupakan modal besarnya untuk layak disebut beragama atau beriman atau tidak berpnyakitan koruptirf dalam konstruksi bermasyarakat dan bernegara. Hanya pantas disebut pendusta agama dan pengkhianat teologis, yang aktifitasnya secara individual maupun struktural tidak ditegakkan atas dasar amanat dan keteguhan pada janji.

Setiap kali seseorang dilantik penjadi pejabat (birokrat), tentulah ia dituntut berjanji untuk menegakkan amanat, seperti janji akan menjalankan tugas sebagai pelayan (pengabdi) umat, tidak akan menerima dan meminta sesuatu dari orang lain yang berhubungan dengan jabatannya, atau tidak melakukan perbuatan tercela yang merugikan masyarakat.

Dalam janji yang terucap itu, birokrat sangat fasih melantunkan kata-kata suci yang melibatkan nama Tuhan di dalamnya. Misalnya "Demi Allah, saya akan menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya". Janji ini tidak main-main, karena dari ucapannya ini, birokrat menyerahkan dirinya dalam "perjanjian ketuhanan", yang memposisikan problem kerakyatan menjadi muatan istimewa dalam nafas dan geraknya.

Ikrar birokrat yang berdimensi religiusitas itu seharusnya menguatkan tekad dan komitmennya untuk menjadi pengabdi maksimal terhadap setiap problem kerakyatan. Apa yang terjadi atau menimpa masyarakat haruslah dijadikan sebagai amanat utama yang tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan keluarga, apalagi berburu kepentingan sekunder dan tersier. Sebagai amanat utama, tentu saja birokrat harus benar-benar bisa memahami "bahasa" kondisi darurat di depan matanya atau yang dipercayakan di pundaknya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Amanat yang diucapkan birokrat dengan janji, yang di dalam janjinya ini membingkai perikatan nilai-nilai spiritualitas, akan menjadi amanat kosong atau sebatas "macan kertas" jika kondisi darurat seperti korban bencana yang berserak di jalanan atau di tenda-tenda darurat di depan mata, di sekeliling, atau secara umum sudah dipercayakan kepadanya, ternyata dinafikan atau dianggap bukan tanggungjawabnya.

Jika doktrin pada sumpah yang diucapkan atau panduan etikanya, tentulah sikap dan aksi tanggap darurat tanpa perlu dihimbau dan diintruksi lebih dulu oleh presiden atau atasannya, karena janjinya sudah terucap kalau segala bentuk problem yang dihadapi oleh masyarakat adalah amanat yang wajib ditunaikannya.

Di setiap kali terjadi bencana alam, kita mesti menghadapi problem berlapis-lapis, bukan saja oleh dampak mengerikan yang ditimbulkan oleh bencana alamnya, tetapi juga oleh bencana yang ditimbulkan oleh manusia-manusia yang seharusnya menjadi pengentas, pembebas, dan penegak prinsip pemanusiaan korban bencana.

Sebut misalnya di tengah masyarakat yang menjadi korban bencana alam, kita sangat mudah menyaksikan “panorama akumulasi keprihatinan”  seperti banyaknya korban yang didera kelaparan, kehabisan cadangan pangan, obat-obatan, pakaian, dan kebutuhan fundamental lainnya.

Kondisi keprihatinan mereka mereka itu layak dijadikan indikasi, bahwa biorkrat kita sedang mengidap kemiskinan amanat. Kalau mereka tidak sedang mengidap virus miskin amanat, tentulah mereka  berusaha maksimal atau sekuat tenaga dan pikiran  dalam  memainkan peran-peran strategis untuk membebaskan komplikasi penderitaan korban bencana apapun di masyarakat atau “area” kerjanya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES