Kopi TIMES

Humor Retjeh Pendiri Bangsa di Banda Neira

Senin, 08 Maret 2021 - 00:52 | 96.04k
Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.
Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.

TIMESINDONESIA, BANDA NEIRATULISAN ini merupakan awal dari oleh-oleh saya pelesir sejarah di Banda Neira, Maluku. Saya, mewakili INAIFAS Kencong Jember bersama beberapa lembaga lain terlibat dalam Ekspedisi Banda Neira, selama 5 hari (4 - 8 Maret).

Banda Neira, yang berada di Maluku Tengah, adalah sebuah pulau kecil dengan sejarah besar. Di sini, sejak abad ke-17, Portugis, Belanda, dan Inggris melalui masing-masing kongsi dagangnya berebut pengaruh hingga memonopoli penjualan biji pala, salah satu rempah yang berharga mahal di Eropa.

Ketika pada akhirnya VOC menguasai Kepulauan Banda Neira, dengan monopoli penjualan biji dan bunga pala, serta membangun banyak benteng, pada akhirnya pulau ini menjadi salah satu titik strategis perdagangan dan militer di Nusantara Timur.

Tak heran jika pada era tersebut hingga akhir penjajahan Belanda di Banda Neira, para pangeran dan sultan dari berbagai kawasan diasingkan di pulau ini. Termasuk, para penggerak kemerdekaan seperti Iwa Kusumasumantri, Tjipto Mangunkusumo, Hatta, dan Syahrir.

Dua nama terakhir ini baru masuk Banda setelah mengalami masa pembuangan di Boven Digul. Mereka mendarat pada 1936. Jika Sjahrir lebih supel bergaul, suka musik dan terbuka, Hatta punya watak pendiam, serius, dan gila baca. Namun, di balik sosoknya yang kaku ini, beliau punya selera humor yang asyik. Berikut ini joke yang berkaitan dengan para founding fathers di atas.

***
"Kau mau jualan buku?"

Ketika mendarat di pelabuhan Banda Neira, pada 1936, Hatta membawa serta 16 peti berisi buku-buku yang dia cintai. Literatur yang dia beli saat belajar di Den Haag, Belanda.

Buku-buku itu pula yang menemani hari-harinya saat dibuang ke Boven Digul. Jadi kita bisa membayangkan, bertapa repotnya Hatta mengangkut buku-bukunya ini saat dipindah dari Boven Digul ke Banda Neira.

Mohammad Bondan, sahabat sesama orang buangan, bingung melihat semangat Hatta mengangkat belasan peti itu.

"Anda ke sini dibuang atau mau membuka toko buku?" celutuk Bondan kepada Hatta seperti ditulis dalam buku Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan.

Hatta hanya tersenyum mendengar candaan sahabatnya.

***
"Hatta dan Kuli Petik Pala"

Hatta adalah pribadi yang disiplin. Mengikuti jadwal kesehariannya di Banda Neira sama dengan melihat alur jam yang bergerak sesuai jarumnya. Selalu tepat, tak pernah molor. Dari bangun pagi, sarapan, membaca, berdiskusi, mengajar anak-anak, hingga tidur, semua dijadwalkan dengan baik.

Bahkan, yang lucu, para kuli petik buah pala menjadikan jalan-jalan Hatta di pagi dan sore sebagai penanda waktu.
Saking rutin dan tepat waktu, Hatta dijadikan jam. Bila Hatta muncul, para pekerja akan berseru, "Wah, sudah jam lima." Mereka lalu berhenti bekerja. Kemunculan Hatta menjadi penting karena tidak ada jam di kebun yang luas tersebut. Bagaimana Hatta bisa tepat waktu? Disiplin. Selain itu, dia selalu berjalan secara teratur, sigap, dan jarang berhenti untuk sekadar ngobrol dengan pekerja perkebunan.

Ada-ada saja!

***
"Yaki...Yaki..."

Hatta memang serius, tapi bisa juga memaki jika gemas atau sewot. Ketika para murid-muridnya di sekolah sore tidak juga memahami pelajaran yang disampaikan, dia gemas. Dalam kesewotannya dia bakal menatap para muridnya lantas bilang, "Dasar kalian ini monyet-monyet kecil..."

Awalnya para siswa tidak tahu arti "monyet", sebab dalam dialek Banda, monyet disebut dengan istilah Yaki. Akhirnya mereka bertanya kepada Sjahrir.

"Monyet Kecil itu artinya Yaki...." jawab Sjahrir sambil tersenyum.

Alih-alih tersinggung, para bocah ini malah terbahak-bahak mendengar arti "monyet kecil" dan ingat pada ekspresi gurunya jika menyebut kata tersebut.

***
Sjahrir dan Hatta bertolak belakang. Sjahrir suka keramaian, Hatta suka kesunyian. Sjahrir suka musik, Hatta tidak. Dia lebih suka membaca dibandingkan mendengar musik.

Pernah, pada suatu waktu, Hatta terganggu dengan gramofon Sjahrir yang menyajikan musik klasik.

“Jangan keras-keras. Itu terlalu Barat, Seperti Sjahrir yang kebarat-baratan,” celetuk Hatta.

Ketika Des Alwi, anak angkat Hatta, menyampaikan keluhan ini pada Sjahrir, nama terakhir ini malah tersenyum. 

“Hatta mengatakan aku kebarat-baratan? Dia sendiri kalau mimpi pakai bahasa Belanda,” balas Sjahrir.

***

"Terima Kasih, Adolf!"

Saat Belanda dibombardir Jerman, 1940, para pemimpin negeri tersebut lari mengungsi ke Inggris. Beberapa pembesarnya disekap Jerman, termasuk De Jonge, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan yang bertanggung jawab atas pembuangan Hatta dan Sjahrir. 

Mendengar nasib De Jonge dan jaruhnya negara Belanda di tangan Jerman, Bung Hatta secara spontan bilang ke Sjahrir, "Rir, kita harus kirim ucapan terima kasih kepada Adolf Hitler atas penangkapan De Jonge!"

Sjahrir dan para murid mereka berdua hanya terbahak mendengar spontanitas Hatta.

***
"Bungkam Saja Anjingmu!"

Sebelum Hatta dan Sjahrir, Dokter Tjipto Mangunkusumo dibuang ke Banda Neira terlebih dulu. Di sini, dia dicintai rakyat, sebab dokter Belanda tidak mau mengobati pribumi, dan kalaupun bersedia, ongkosnya mahal. Sebaliknya, Dokter Tjipto malah menggratiskan biayanya.

Suatu petang, Dokter Tjipto duduk santai di beranda rumahnya. Di lantai, kucing kesayangannya ikut duduk. Setia mendampingi. Tak berselang lama, seorang guru sekolah Belanda lewat membawa anjingnya. Kucing Dokter Tjipto langsung mengeong keras, disambut nyalakan anjing milik orang Belanda.

Merasa risih mendengar meongan dan gonggongan anjing, sekonyong-konyong orang Belanda menegur Dokter Tjipto.

"Jaga kucingmu!" Maksudnya biar tidak mengeong keras. 

Dokter Tjipto dengan santai tapi suaranya sengaja dikeraskan menimpali, "Kau seharusnya yang membungkam anjingmu, lalu pulang ke rumahmu di Belanda sana. Sebab di sini tanah air kami."

Makjleb!

***
Beberapa humor di atas juga bisa dibaca dalam karya Des Alwi, Sejarah Banda Naira" (Pustaka Bayan: 2007). Merdeka!

(Bersambung...)

* Penulis Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES