Kopi TIMES

Ketuhanan yang Maha Esa, Cinta, Makna dan Corona B117

Sabtu, 06 Maret 2021 - 11:40 | 90.94k
Antono Wahyudi, S.S., M.Fil, Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum Universitas Ma Chung.
Antono Wahyudi, S.S., M.Fil, Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum Universitas Ma Chung.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketika saya menulis artikel ini, seorang kawan, doktor di bidang farmasi di kampus, mengintip apa yang sedang saya tulis dan bertanya, “Pancasila bisa mencegah corona B117? Bagaimana dan apa hubungannya?!” Jika disimak dari aspek ekonomi, nilai gotong-royong, persatuan, kemanusiaan dan seterusnya itu masih terlihat jelas relevansinya. Tetapi bagaimana dengan Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa? 

Salah satu akar penyebab pudarnya nilai-nilai Pancasila adalah karena minimnya pemahaman sekaligus dangkalnya pemaknaan. Seperti yang telah kita ketahui, kendati beberapa ormas yang mengatasnamakan agama telah dibubarkan oleh pemerintah, perlu disadari bahwa paradigma pemahaman dan pemaknaan yang menyimpang terhadap Pancasila masih bersemayam dibenak individu-individunya. 

Tidak sedikit yang masih beranggapan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu hanya kompatibel (cocok/pas) atau hanya dapat diberlakukan terhadap agama monoteis saja. Tak perlu jauh-jauh masuk ke ranah politik untuk membicarakan fenomena ini. Saya memiliki beberapa kawan yang mengharapkan bahwa Sila Pertama itu sebaiknya dihapuskan karena tidak sesuai dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki warna-warni keyakinan.

Dalam hal ini, kawan saya dan ormas terlarang itu memiliki perbedaan sekaligus persamaannya. Perbedaannya, kawan saya ingin mempertahankan kesatuan dan kerukunan umat beragama. Sementara ormas yang terlarang itu hendak membangun batas-batas tembok identitas semata demi golongannya. Menarik sekaligus paradoksal jika disimak dari sudut persamaannya, yaitu keduanya memiliki penyimpangan pemahaman dan pemaknaan terhadap Sila Pertama. Itulah sebabnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak cukup sekedar dimengerti secara harafiah apalagi sebatas hafalan belaka.

Kata “esa” berasal dari bahasa Sansekerta. Jika merujuk pada seorang filolog Belanda, JG de Casparis dalam Sanskrit Loan Words in Indonesia (1997), kata ini memiliki makna “hanya satu” (the only one). Artinya, “esa” tidak dapat dimasukkan dalam katergori bilangan angka. Satu, dua, tiga dan seterusnya. Melainkan lebih kepada kualitas yang tak terbatas. Maksudnya, makna “hanya satu” atau “satu-satunya” (the only one) berarti tunggal. Perlu dicatat bahwa “tunggal” di sini dapat memiliki “isi” yang jumlahnya lebih dari satu. 

Contoh berikut barangkali dapat mengilustrasikan konsep “esa” sebagai berikut: Buku-buku yang saya miliki adalah satu-satunya harta yang paling berharga. Buku di sini menunjukkan ke-tunggal-annya. Sementara jumlah buku yang saya miliki boleh hanya berjumlah satu, tetapi juga bisa lebih dari satu. Tidak menjadi soal. Contoh lagi: Kawan saya meyakini satu-satunya Tuhan adalah Tuhan yang berjumlah lima dengan perannya masing-masing. Tuhan dalam keyakinannya jelas bersifat tunggal meskipun jumlahnya lebih dari satu.  

Dengan demikian, “esa” tidak dapat dihitung karena merupakan keseluruhan dan kesatuan sekaligus keutuhan. Dari penjelasan ini, “Ketuhanan Yang Maha Esa” jelas merupakan nilai yang dapat merangkul dan mengakomodir seluruh agama-agama yang ada di Indonesia. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana Sila Pertama ini menjadi mungkin jika disimak di masa pandemi covid-19 terutama dalam varian baru B117? 

Sebelum masuk pada pembahasan tersebut, mari kita simak terlebih dahulu kata “Ketuhanan” di dalam Sila Pertama yang kerap disalahpahami oleh lazimnya masyarakat. “Ketuhanan” banyak dipahami sebagai “sosok”, “subjek-transenden” atau “Tuhan” itu sendiri. Jika ditelusuri lebih dalam, “Ketuhanan” di sini lebih dimaknai sebagai sifat, sikap, perbuatan, kata-kata (berpikir) yang sesuai dengan nilai-nilai keimanan. 

Spiritualis asal India, Osho (nama lengkapnya Chandra Mohan Jain) mengajarkan bahwa “Tuhan” adalah sosok atau subjek-transenden, sementara “Ketuhanan” adalah sebuah kualitas. Manusia tidak bisa menjadi Tuhan, tetapi bisa menjadi “Ketuhanan”. Maksudnya, manusia dapat mengedepankan sifat-sifat luhur Tuhan sebagaimana yang terdapat di dalam agama Islam dengan “pengasih” (Rahman) dan “penyayang” (Rahim), Kristen/Katolik dengan “kasih”, Hindu dengan “semoga berdamai…” (Om shanti shanti om), Buddha dengan “semoga semua makhluk hidup berbahagia” (Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta) dan agama Konghucu dengan “salam kebajikan”. 

Saya yakin bahwa agama-agama lain (selain keenam agama tersebut) memiliki “Ketuhanan” serupa yang bisa menggerakkan manusia mewujudkan harmonisasi kehidupan. Jika “Ketuhanan” yang tercetus dalam seluruh agama ini diperas, maka tersingkap satu sifat luhur, yaitu: Mencintai. Dengan demikian, kehidupan yang mengedepankan cinta, dengan sendirinya merupakan cerminan jelas dan tegas dari Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.   

Dalam konteks pandemi saat ini, covid-19 (juga tentunya dengan varian baru B117) memaksa kita untuk hidup dalam ke-normal-an baru. Salah satu yang kerap menjadi ke-normal-an baru adalah dengan sikap berjarak (“social distance”). Masih banyak masyarakat yang tidak peduli dengan pentingnya penerapan sikap berjarak. Di dalam ke-normal-an lama, ketika kita bertemu, bertatap muka, berjabat tangan dengan orang lain, dengan sendirinya kita memberikan cinta kepada orang lain. Tidak ada sikap berjarak.

Di dalam ke-normal-an baru yang terjadi justru sebaliknya. Implementasi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah dengan mencintai sesama yang dilakukan dengan cara tidak bertemu atau minimal menerapkan sikap berjarak terhadap orang lain. Dengan sikap berjarak, kita justru dapat memahami makna dari cetusan nilai kehidupan orang lain ke dalam hidup kita secara “lebih penuh”. Dengan kata lain, kita semakin menyadari pentingnya kehidupan mereka justru dengan sikap berjarak. 

Dari sini kita bisa melihat bahwa cinta itu terarah pada orang lain. Cinta tidak dikonsumsi sendiri. Mencintai merefleksikan kedalaman makna untuk menghindari pertanyaan: Apakah aku mencintai? Melainkan mencoba untuk mencari jawaban: Bagaimana aku mencintai? Seringkali ketika seseorang jatuh cinta, dia ingin mengisi kekosongan perasaan yang selama ini dimilikinya, tanpa menyadari adanya kekosongan perasaan di pihak yang dicintainya.

Ini adalah salah kaprah dari sekian banyak perjalanan cinta manusia. “Ketuhanan Yang Maha Esa” sama sekali tidak menyentuh pada persoalan ego-sentris (kepentingan diri), juga tidak meminati sosio-sentris (kepentingan golongan/agama), melainkan lebih mengedepankan world-sentris (kepentingan universal). Saat ini kita sedang dilanda oleh bukan hanya virus corona, tetapi juga virus kebebalan dan kesempitan sudut pandang di dalam melihat substansi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan demikian, tidak dapat dipandang sebelah mata. Sikap hidup dengan semangat mencintai perlu dihidupkan di dalam berbagai sendi kehidupan (praksis beragama, pendidikan, dalam bekerja, ekonomi, berpolitik, dst.). Sebab, hanya dengan mengaktifkan energi Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia Indonesia mampu membebaskan dirinya dari kekacauan informasi dan relasi (globalisasi), kekacauan persepsi (manipulasi) dan kekacauan konspirasi (politisasi). Hanya dengan mencintai, virus korupsi, virus radikalisme, kekerasan dan tentu saja virus corona B117 bisa enggan menyebarkan jaringannya di bumi Nusantara.

Kawan saya yang seorang dosen farmasi itu terdiam seribu bahasa dan kemudian berkata, “Ternyata Sila Pertama ini begitu luas menjangkau seluruh sendi kehidupan manusia!” Setelah melalui pengalaman sederhana tersebut, pola pikir dan perspektifnya terhadap realitas tidak lagi didasarkan semata pada dikotomi hitam dan putih. Pun tidak lagi merujuk pada hal-hal yang dapat terukur semata. Minimal, ia semakin sadar untuk lebih berhati-hati di dalam menilai suatu fenomena dan mengambil suatu keputusan. Pandemi covid-19: B117 dapat dihadang oleh sentuhan lembut rasa cinta sebelum menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. 

Salam Sehat! 
Salam Pancasila!   
   
*) Antono Wahyudi, S.S., M.Fil. Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum Universitas Ma Chung - Koordinator Pusat Pendidikan Karakter & Kepemimpinan

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES