Kopi TIMES

Menyoal Tentang Buzzer, Membangun Budaya Hukum Anti Hoaks

Selasa, 02 Maret 2021 - 23:31 | 58.90k
Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum; Praktisi dan Akademisi Hukum di Situbondo Jawa Timur.
Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum; Praktisi dan Akademisi Hukum di Situbondo Jawa Timur.

TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi pun semakin berkembang. Saat ini orang per-orang telah menjadikan kecanggihan teknologi sebagai pusat informasi hanya dalam satu genggaman tangan baik melalui gadget, laptop, atau pun sejenisnya.

Hal ini membuat apa yang terjadi sekarang dapat langsung diketahui saat ini juga. Setiap peristiwa yang terjadi setiap hari selalu menjadi isu menarik untuk dimunculkan di media elektronik, baik memberitakan hal-hal yang bersifat postif atau pun sebaliknya.

Kecepatan para pelaku teknologi mengolah topik yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang kemudian memviralkannya dalam sebuah informasi, membuat kepercayaan dini publik dan masyarakat saat ini dengan mudahnya terbentuk. Kemudahan dalam memodifikasi dan mengirimkan (share ability) suatu informasi ke media elektronik terutama ke media sosial juga membuat sebuah berita menjadi cepat tersebar tanpa filter kevalidan. 

Kedudukan Buzzer

Istilah Buzzer mulai sering didengar akhir-akhir ini. Secara harfiah dalam bahasa inggris buzzer berarti bel. Seiring dengan perkembangan media sosial, kata buzzer diterapkan kepada orang atau akun media sosial tertentu yang mempromosikan kandidat, tokoh, isu, atau produk tertentu untuk diminati, dipilih dan dimiliki masyarakat.

Sarana yang digunakan para buzzer biasanya melalui akun media sosial dengan banyak pengikut seperti twitter, facebook, instagram, dan media sosial lainnya. Buzzer bisa selalu hadir pada setiap isu atau trending yang lagi viral. Mereka umumnya selalu online dan terkadang bisa secara cepat memberikan tanggapan kepada warganet dan cepat memviralkan tokoh, produk, atau isu tertentu. Buzzer dapat selalu konsisten mengulas topik, tokoh, produk yang sama meskipun dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Tujuannya adalah meyakinkan publik terhadap topik, produk dan tokoh yang digaungkan.

Dalam arti positif kedudukan buzzer dinilai sangat penting untuk mengemas keyakinan publik terhadap isu tertentu, sepanjang data itu valid maka sah-sah saja dan dapat diapresiasi untuk tambahan informasi. Namun demikian akan menjadi persoalan jika giat buzzer memberikan data negatif dan tidak valid yang cenderung Hoaks.

Menyoal Hoaks

Peribahasa kuno tentang “mulutmu harimaumu” yang berarti segala perkataan yang diucapkan apabila tidak dipikirkan dahulu dapat merugikan diri sendiri, pada era digital ini tampaknya telah bermetamorfosa menjadi ”jarimu harimaumu” yang mungkin dapat diartikan setiap ketikan jari yang menulis kemudian mengirimkan suatu informasi ke media elektronik yang tidak dipikirkan terlebih dahulu dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Informasi yang tidak benar atau berita bohong saat ini lazim disebut dengan Hoaks. Sebuah istilah yang dulu hampir tidak pernah terdengar namun saat ini menjadi sangat familiar. Asal kata Hoaks diyakini telah ada sejak ratusan tahun sebelumnya yang berasal dari kata hocus yang artinya menipu. Hocus sendiri merupakan mantra sulap yang merupakan kependekan dari mantra hocus pocus, sebuah frasa yang kerap disebut oleh pesulap serupa simsalabim.

Tidak dapat dipungkiri jika Hoaks telah menjadi sosok yang menakutkan saat ini, karena hampir dalam setiap peristiwa kejadian yang menarik perhatian, berita Hoaks selalu ambil bagian. Bencana, kontestasi politik, dan peristiwa hukum, saat ini selalu menjadi isu dan topik menarik sebagai bahan olahan, dan.. simsalabim.. dengan sangat mudah opini akan cepat terbentuk, bisa mengubah fiksi menjadi nyata, bisa juga mengubah fakta menjadi sekedar cerita. Hoaks akan sangat berbahaya apabila dipakai oleh buzzer baik itu dari sisi tokoh atau pun produk dengan isu yang diangkat dengan data invalid, atau pun dengan cara menyerang tokoh atau pun produk lain dengan isu yang tidak benar untuk mengangkat tokoh atau produk yang lain.

Dari Sanksi Hukum Sampai Budaya Hukum

Secara hukum sebenarnya negara ini telah membuat senjata penangkal jauh sebelum zaman Hoaks menjadi marak seperti sekarang. Melalui instrument penindakan (represif) berupa formulasi pasal sanksi pidana dalam hukum pidana materiil. Baik dalam buku induk hukum pidana yaitu KUHP, atau pun di luar KUHP seperti dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang lazim disebut dengan UU ITE.

Pertanyaannya, apakah cara ini cukup efektif digunakan untuk memerangi Hoaks? jawabannya tentu bisa beragam, bisa iya juga bisa tidak.  Tetapi faktanya Hoaks masih dapat kita jumpai dengan sangat mudah terakses dalam kehidupan kita sehari-hari. Konsistensi penerapan sanksi pidana hanya sebagai senjata pamungkas atau terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium) sepertinya memang sudah menjadi keharusan, sehingga perlu diimbangi dengan menggalakkan cara-cara yang lebih bersifat pencegahan (preventif) sebagai langkah konkrit jangka panjang.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof. Andi Hamzah mencontohkan paradigma preventif seperti seorang dokter yang melihat seseorang memakan makanan yang kotor, maka dokter tersebut harus menghentikan orang tersebut kemudian menasihatinya agar jangan memakan makanan yang kotor itu, bukan malah membiarkan orang tersebut memakan makanan kotor kemudian menunggunya untuk berobat supaya dokter tersebut mendapatkan uang.

Pencegahan secara hukum terhadap Hoaks dari hulu sampai hilir harus secara komprehensif dilakukan. Siklus kausalitas dari substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture) harus menjadi titik perhatian. Dimulai dari substansi hukum yaitu pada tatanan norma dan aturan, harus sudah diinventarisir klausul-klausul peraturan perundang-undangan yang sifatnya pencegahan.

Norma hukum yang bersifat preventif inilah nantinya menjadi pijakan struktur hukum dalam melaksanakan tugasnya berupa pendekatan, sosialisasi, penerangan, pendampingan, dan pembinaan kepada masyarakat luas tentang bahaya Hoaks serta akibat-akibatnya. Hasil kerja dari struktur hukum itulah yang nantinya diharapkan membentuk pola pikir (mindset) anti Hoaks dalam masyarakat khususnya buzzer sebagai budaya hukum.

Budaya hukum merupakan keseluruhan sikap dari masyarakat, juga sebagai sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Budaya Hukum dapat dikatakan sebagai buah kerja dari substansi hukum dan struktur hukum. Jadi masyarakat akan menjadi sadar hukum dengan sendirinya. Budaya hukum masyarakat inilah nantinya sebagai pintuk masuk (entry point) untuk memerangi buzzer Hoaks dalam jangka panjang.

Masyarakat yang sudah sadar hukum akan bahaya Hoaks diharapkan akan menularkan kepada masyarakat lain seperti layaknya efek domino, tidak terkecuali untuk para buzzer. Sehingga memerangi bahaya laten dari Hoaks tidak selalu harus dengan penindakan.

Upaya pencegahan sebagai penyeimbang dapat dipandang lebih progresif dan humanis dari pada sekedar menakut-nakuti dengan ancaman pasal per pasal. Sepertinya mencegah memang lebih baik daripada mengobati, galakkan buzzer anti Hoaks.

***

*) Oleh: Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum; Praktisi dan Akademisi Hukum di Situbondo Jawa Timur.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES