Kopi TIMES

Momentum (Me) Revisi UU ITE

Selasa, 02 Maret 2021 - 00:11 | 128.97k
Aditya Wiguna Sanjaya, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi dan Perundang-undangan (PUSKAKOP) Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.
Aditya Wiguna Sanjaya, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi dan Perundang-undangan (PUSKAKOP) Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Baru-baru ini Presiden Jokowi menghimbau kepada masyarakat agar lebih aktif dalam menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah, terutama berkenaan dengan pelayanan publik.

Hal ini mengundang tanggapan beragam, satu diantaranya yang mengemuka ialah adanya kekhawatiran dapat terjerat UU ITE setelah kritik benar-benar dilontarkan. Tidak berselang lama, seakan menjadi respon atas suara publik, sebagaimana dirilis dalam website resmi www.presidenri.go.id, dikatakan bahwa jika dinilai UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, Presiden menggagas akan berkoordinasi dengan DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE.

Bahkan Presiden menegaskan, pasal-pasal karet yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran serta mudah diinterpretasikan secara sepihak selayaknya dihapus. Wacana ini tentu patut mendapatkan apresiasi dan kiranya dapat dikatakan sebagai momentum yang tepat untuk memperbaiki celah-celah yang ada pada UU ITE.

Jika benar UU ITE jadi direvisi, segala kelemahan yang ada hendaknya dapat disempurnakan. Sehubungan dengan terbatasnya ruang, selain usulan Presiden sebagaimana telah disinggung, dalam tulisan singkat ini akan diuraikan tiga hal lain yang seharusnya juga menjadi materi dalam revisi UU ITE.

Menghapus Kerancuan

Perkembangan zaman dan teknologi menyebabkan berubahnya pola berikut modus operandi dari suatu tindak pidana, semula hanya dilakukan dengan cara-cara konvensional namun kenyataan hari ini, teknologi informasi dan piranti elektronik acapkali menjadi pilihan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana. Sehingga menjadi wajar apabila beberapa tindak pidana yang sejatinya telah diatur dalam KUHP kemudian diadopsi ke dalam UU ITE.

Konsekuensi logis dari keadaan ini ialah untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana tetap mengacu pada KUHP, namun ada unsur tambahan yakni media yang digunakan harus sarana elektronik. Salah satu tindak pidana yang dimaksud ialah penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik menggunakan sarana elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Bila dicermati rumusan pasal a quo menimbulkan kerancuan, penghinaan bukanlah suatu jenis tindak pidana tersendiri dalam KUHP melainkan nama dari Bab XVI KUHP yang meliputi tujuh jenis tindak pidana, yakni Pencemaran (310 KUHP), fitnah (311 KUHP), penghinaan ringan (315 KUHP), penghinaan kepada pegawai negeri (316 KUHP), pengaduan fitnah (317 KUHP), persangkaan palsu (318 KUHP), dan penghinaan orang yang sudah mati (320-321 KUHP).

Dalam konstruksi rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE frasa “penghinaan” diikuti frasa “pencemaran nama baik” dengan konjungsi “dan/atau”, inilah yang penulis katakan sebagai kerancuan. Pada bab penghinaan sudah terkandung tindak pidana pencemaran nama baik di dalamnya, dengan adanya frasa 'pencemaran nama baik' justru menimbulkan redundant serta mengundang pertanyaan lanjutan, yakni yang dimaksud Pasal 27 ayat (3) UU ITE apakah tujuh jenis tindak pidana dalam bab penghinaan ataukah hanya pencemaran nama baik saja?

Setelah UU ITE diubah, pertanyaan ini terjawab, pembentuk undang-undang ternyata membatasi maksud Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebatas pada pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP, tidak lain dan tidak bukan yakni Pasal 310 dan 311 KUHP.

Kendati demikian, pembatasan tersebut bukan memperjelas maksud dari pasal a quo, namun justru semakin menambah kerancuan yang ada, ini dapat terjadi karena dalam rumusan pasal 27 ayat 3 UU ITE masih terdapat frasa 'penghinaan' yang mana jika dipahami artinya ialah meliputi tujuh jenis tindak pidana pada Bab XVI KUHP, sementara jika melihat penjelasan Pasal 27 ayat (3) perubahan UU ITE, hanya mencakup pencemaran nama baik dan fitnah saja.

Dari sini terlihat adanya disharmonisasi antara rumusan pasal dan penjelasannya. Seharusnya, bila pembentuk undang-undang konsisten menghendaki hanya sebatas pencemaran nama baik dan fitnah an sich yang dimaksud oleh Pasal 27 ayat (3) UU ITE, maka frasa “penghinaan” sudah selayaknya dihapuskan. Kemudian, baik pencemaran nama baik maupun fitnah yang dilakukan menggunakan sarana elektronik masing-masing diformulasikan dalam ketentuan yang berdiri sendiri, bisa dalam ayat atau pasal yang berbeda.

Alasan Penghapus Pidana

Kendati formulasi tindak pidana pencemaran nama baik dengan sarana elektronik merupakan hasil adopsi dari pasal 310 KUHP, ternyata adopsi tersebut tidak secara utuh. Alasan penghapus pidana khusus yang ada pada Pasal 310 ayat (3) KUHP tidak ikut diadopsi dalam UU ITE. Padahal, ketentuan a quo merupakan 'pengaman' dari penerapan Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP, yang mana berdasarkan ketentuan a quo jika perbuatan dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri, maka tidak dipandang sebagai pencemaran baik lisan maupun tertulis.

Artinya, ketentuan a quo merupakan alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga perbuatan yang pada umumnya melawan hukum berubah menjadi perbuatan yang legitimate. Seharusnya, jika memang konsisten dalam mengadopsi Pasal 310 KUHP ke dalam UU ITE, pembentuk undang-undang tidak boleh melupakan ketentuan Pasal 310 ayat (3) untuk ditarik juga ke dalam UU ITE.

Pemidanaan Korporasi

Subyek hukum manusia (natuurlijk persoon) dan subyek hukum korporasi (rechts persoon) secara kodrati tentu sangatlah berbeda, hal ini membawa konsekuensi pada bentuk pidana yang dapat dijatuhkan. Pidana perampasan kemerdekaan tidak mungkin dijatuhkan pada korporasi, pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanyalah pidana denda. Pasal 52 ayat (4) UU ITE mengatur bahwa jika tindak pidana dalam Pasal 27-37 dilakukan oleh korporasi, maka pidana pokok ditambah dua per tiga, yang menjadi permasalahan ialah ancaman sanksi pidana atas pelanggaran pasal 27-37 ialah penjara dan denda yang dirumuskan secara kumulatif alternatif yang lebih cocok untuk diterapkan hanya terhadap subyek hukum manusia.

Artinya, sekalipun telah terdapat ketentuan yang mengatur tentang pemberatan pidana jika pelakunya adalah korporasi, ketentuan tersebut tidak akan pernah dapat diterapkan. Seharusnya diformulasikan secara tersendiri ketentuan tentang pelaku korporasi yang mana pidana pokok yang diancamkan hanyalah pidana denda saja dan besarnya lebih dari pidana denda yang diancamkan pada subyek hukum manusia.

***

*) Oleh: Aditya Wiguna Sanjaya, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi dan Perundang-undangan (PUSKAKOP) Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES