Peristiwa Daerah

Sang Pecanting Listrik dari Candi Jago

Minggu, 28 Februari 2021 - 17:09 | 69.99k
Maya, karyawan Batik Blimbing dengan teliti melakukan proses pencantingan dengan bantuan tenaga listrik. (Foto: Aditya Hendra/TIMES Indonesia)
Maya, karyawan Batik Blimbing dengan teliti melakukan proses pencantingan dengan bantuan tenaga listrik. (Foto: Aditya Hendra/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Sabtu pagi (27/2/2021) Maya bergegas mempersiapkan perlengkapan kerjanya. Hari itu, dia akan mencanting satu kain batik dengan motif khas Malang. Satu alat canting, meja, dan sehelai kain telah siap untuk disulap menjadi kain batik.

Dengan teliti, Maya melakukan proses canting secara perlahan. Mengikuti motif yang telah ditentukan. Proses mencanting ini memang butuh kesabaran. Dilarang buru-buru. Menariknya, Maya melakukan ini dengan otodidak. Diberikan pelatihan dulu oleh pemilik UMKM batik.

“Saya sudah bekerja empat tahun disini. Dasar membatik belum punya sebelum kerja disini. Diajari dulu,” ucapnya.

Hal yang tak jauh beda juga dialami Yane. Perempuan yang baru bekerja sekitar satu tahun ini mengakui dirinya belum punya ilmu membatik sebelumnya. Dikarenakan fokus pada produksi, dia dilatih untuk menggunakan canting listrik.

Batik Blimbing nama UMKM nya. Tidak banyak memang karyawan di UMKM batik ini. Sekitar 6 karyawan. Tapi dari rumah produksi di Jalan Candi Jago Kota Malang inilah lahir pecanting pecanting listrik handal.

Canting Listrik 1

TIMES Indonesia berkesempatan menemui Aulia Rismawati, pengelola Batik Blimbing. Ditemani segelas teh hangat, Aulia mengaku sejak tahun 2013 pihaknya memilih menggunakan peralatan listrik untuk produksi kain batik.

“Kami mulai minat pada batik ini 2009. Tapi baru tahun 2011 memutuskan untuk usaha mandiri. Kalau menggunakan canting listrik sejak tahun 2013,” ucapnya.

Bukan tanpa alasan Batik Blimbing lebih menggunakan peralatan listrik untuk produksi kain batik. Kota Malang yang bukan merupakan daerah sentra industri batik menjadi salah satu faktor. Aulia menceritakan butuh perjuangan untuk memperkenalkan industri batik ini.

“Cari SDM untuk karyawan dulu kesulitan. Sebab di pikiran mereka batik harus bisa gambar. Harus bisa nyanting. Dari faktor kesulitan inilah, kami kemudian berpikir untuk membuat teknis produksi yang lebih mudah,” ucap perempuan yang akrab disapa Ima ini.

Canting listrik kemudian dipilih. Solusi ini dipilih kata Ima agar orang yang tidak bisa membatik tetap bisa bekerja.

“Pakai canting listrik ini prosesnya lebih mudah, praktis, lebih cepat. Kita mencari SDM juga lebih mudah. Kemudian kita berikan teknis produksinya ke mereka dari yang paling dasar,” ungkap Ima.  

Penggunaan canting listrik ini yang kemudian membuat Batik Blimbing mampu melakukan proses produksi dengan lebih efektif. Ima mengungkapkan saat masih menggunakan canting tradisional, dia membutuhkan minimal dua Minggu hingga kain batik siap dijual.

“Kalau pakai canting listrik, kami bisa menyelesaikan antara 2-3 hari. Ini waktunya terpotong banyak sekali,” katanya.

“Pakai canting listrik ini kita tidak melewati proses gambar lagi. Dari desain kemudian canting. Kalau yang tradisional, ngeblat (meniru gambar) dulu pakai pensil baru canting,” sambung Ima.

Tak hanya waktu yang lebih efektif. Penggunaan canting listrik kata Ima, juga mampu memberikan efisiensi pada biaya. Saat menggunakan canting non listrik, proses selanjutnya adalah menggunakan kompor minyak. Tiap hari mengeluarkan 1 liter minyak dengan harga Rp 12.500.

“Harganya dikali seminggu itu dapat satu kain. Kalau pakai canting listrik biayanya sama per hari namun semua proses sudah selesai 3 hari. Ini sangat efisien sekali,” paparnya.

Canting Listrik 2

Efektif dan efisien yang dibantu tenaga listrik dari canting ini membuat Batik Blimbing bisa memproduksi kain batik hingga 15 buah  per bulannya. Menurut Ima, jumlah ini jauh lebih banyak saat menggunakan canting tradisional.

“Kalau pakai yang tradisional kita bisa produksi maksimal 5 kain batik saja sebulan,” sambungnya.

Permasalahan Batik Blimbing dengan SDM pada awal berdirinya sudah terpecahkan, berkat adanya canting listrik. Bahkan kata Ima, karyawan yang bekerja padanya tidak punya background membatik sebelumnya.

“Kita rekrut untuk bekerja sekalian belajar. Kita ajari cara mecanting, proses lainnya juga. Paling tidak butuh waktu sebulan bagi mereka agar bisa mencanting dengan hasil yang bagus,” ucapnya.

Menariknya, meski memakai canting listrik. Namun Batik Blimbing tak membuang canting tradisional milik mereka. Ada misi edukasi dibalik hal itu. Ima menjelaskan workshop Batik Blimbing mempunyai misi budaya untuk mengenalkan batik sejak usia dini.

“Kalau produksi saya lebih memproduksi dengan canting listrik. Tapi kalau untuk budaya untuk pengenalan batik ke anak anak sekolah canting tradisional kita gunakan. Sebab ada makna filosofinya,” jelasnya.

“Ada juga beberapa kali mahasiswa asing kesini. Ya kalau belajar, kami gunakan canting tradisional kepada mereka,” sambung Ima.

Manfaatkan Kompor Listrik

Tak hanya canting listrik. Batik Blimbing juga memilih menggunakan alat listrik lainnya pada proses produksi. Kompor listrik mereka pakai. Tujuan utamanya menjaga kesehatan para karyawan. Ima mengaku pihaknya tak lagi menggunakan kompor minyak. Sebab asap yang dihasilkan bisa mempengaruhi paru paru.

“Ke mata juga pedas. Belum lagi perawatannya untuk membersihkan kompornya yang kadang sumbunya mampet atau masalah yang lain,” ucapnya.

Selain itu, pihak Batik Blimbing juga meminimalkan resiko kebakaran. Kata Ima, ada bahan bernama malam yang sifatnya seperti minyak. Jika terkena panas terus maka bisa menstimulus kebakaran.

“Makanya kita pakai kompor listrik. Tidak ada apinya. Kalau kepanasan, kita bisa atur dengan volumenya,” ucapnya.

Canting Listrik 3

Bahkan meski ada kompor dengan gas elpiji saat ini, Ima mengaku pihaknya tetap memilih menggunakan kompor listrik. “Kalau kompor dengan elpiji panasnya terlalu tinggi. Mungkin beberapa hal yang butuh panas tinggi baru kita pakai. Tapi keseluruhan kita pakai kompor listrik,” imbuhnya.

Penggunaan canting listrik dan kompor listrik telah membawa Batik Blimbing mampu memproduksi banyak produk yang mengangkat ikon kota Malang. Ima menceritakan ikon pertama yang diproduksi adalah batik dengan motif topeng Malangan.

“Kemudian sekarang ada motif tugu kota Malang. Kampung warna warni hingga yang terbaru Malang Heritage,” ucapnya.

Waktu produksi yang lebih efisien dengan peralatan listrik telah membuat Batik Blimbing mampu memproduksi jumlah kain batik yang lebih banyak. Produk mereka pun sudah dinikmati hampir seluruh Indonesia. Mulai Jabodetabek hingga pulau Kalimantan.

“Bahkan ada juga produk kita di luar negeri seperti Singapura, Thailand, Jepang dan Inggris Ada yang hasil oleh oleh mahasiswa luar negeri. Ada juga yang kita kirim langsung kesana,” ungkap Ima.

Pandemi dan Canting Listrik

Pandemi Covid-19 yang masuk Indonesia sejak Maret 2020 memukul hampir semua sektor. Termasuk UMKM Blimbing. Ima mengakui setidaknya penjualannya turun hingga 70%.

“Jauh banget mas turunnya. Ngenes (kasihan). Apalagi sekarang belum boleh ada kunjungan,” katanya.

“Saat masih ada kunjungan, tamu tamu kita biasa membeli suvenir. Kadang siswa SD juga datang untuk belajar membatik. Sekarang semuanya stop,” sambung Ima.

Canting Listrik 4

Ia pun bersyukur usahanya sudah mengenal canting listrik sejak 2013. Tak pernah diprediksi sebelumnya akan ada pandemi tujuh tahun kemudian. Sisi produksi pun tak terganggu. Karyawan tetap bekerja dan dapat gaji. Hanya penjualan saja yang turun.

“Tentu bersyukur karena menghemat sekali. Bahkan penghematan ini yang sudah kami lakukan sejak 2013. Sekarang terasa sekali,” papar perempuan berusia 37 tahun ini.

Sekarang, pihak Batik Blimbing hanya bisa berharap pandemi bisa segera selesai. Kata Ima, pandemi selesai, wisata jalan maka penjualan batik mliknya diyakini juga akan meningkt.

“Sekarang ikut arus saja.Batik kan juga bukan kebutuhan utama. Fokus jualan online saja. Pelan pelan selalu ada pemasukan,” imbuh Ima.

Apresiasi PLN Malang

 PLN Malang memberikan apresiasi kepada Batik Blimbing karena UMKM mereka memilih menggunakan peralatan listrik untuk proses produksinya.

Kepada TIMES Indonesia, Moh Eryan Saputra, manajer UP3 Malang mengungkapkan penggunaan teknologi yang sudah modern akan meningkatkan efektivitas produksi.

“UMKM juga dapat melakukan efisiensi biaya produksi dengan menggunakan tenaga listrik,” ucapnya.

Penggunaan canting hingga kompor listrik ini kata Eryan sejalan dengan program PLN Go Green. Sebuah program yang mentransformasi peralatan yang menggunakan bahan bakar fosil ke listrik.

“Peralatan ini lebih ramah lingkungan. Kompor induksi misalkan tidak ada lagi api, tidak panas dan aman untuk digunakan,” paparnya.

Eryan mengapresiasi penggunaan kompor listrik di Batik Blimbing. Menurutnya, setidaknya ada empat manfaat yang bisa didapatkan dari penggunaan kompor listrik tersebut.  

“Pertama aman karena mengurangi resiko ledakan tidak ada api. Kemudian praktis dapat mengatur memasak dengan durasi dan suhu yang diatur. Hemat karena 20 persen lebih hemat dari kompor konvensional. Terakhir tentu ramah lingkungan karena kompor induksi tidak mengeluarkan asap dan emisi,” jelasnya.

Meski belum ada program khusus, namun Eryan menegaskan PLN Malang berkomitmen untuk membantu UMKM yang memilih menggunakan peralatan listrik dalam proses produksinya. Bisa bantuan dalam bentuk finansial atau non finansial. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES