Kopi TIMES

Renungan Harlah ke-95 NU: Dosen NU, untuk Apa? 

Sabtu, 27 Februari 2021 - 09:27 | 54.57k
Supriyanto. Alumni Angkatan ke-2 MKNU Jawa Timur. Dosen Universitas Islam Malang
Supriyanto. Alumni Angkatan ke-2 MKNU Jawa Timur. Dosen Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Populasi dosen dari kalangan NU sudah meningkat. Setidaknga dalam 10 tahun terakhir. Peningkatannya sangat tajam. 

Ini tidak lain karena tumbangnya orde baru yang berbanding lurus dengan tampilnya kaum nahdliyin. Termasuk di dunia akademis. 

Zaman orde baru, peran Golkar, TNI dan Muhammadiyah sangat dominan. NU tertinggal. Bahkan mungkin ditinggal. Sangat jarang orang NU yang bisa jadi pejabat. Ini berbeda dengan zaman Bung Karno.

Mengapa NU digencet di zaman Pak Harto? Tidak lain karena Pak Harto ingin membuat sentral kekuatan politik ada pada dirinya. Melalui dua kekuatan utama TNI dan Golkar, mimpi Pak Harto untuk menjadi penguasa tunggal di republik ini terwujud. 

TNI adalah warga kelas satu. Mulai lurah sampai gubernur, mayoritas absolut dari TNI. Minimal Golkar. Pak Harto sukses menguasai geopolitik Indonesia kala itu. Menang 32 tahun.

Mengapa NU digencet? Ini masalah pengaruh. Orde baru tahu bahwa kekuatan yang membayangi pemerintah adalah tokoh informal di NU. Mereka para kiai. 

Orang-orang NU lebih taat kiai dari pada dengan pak camat. Pak Harto menyadari itu. Bahwa sumber kekuatan ini bisa berbahaya bagi kekuasaannya

Maka dimulailah mempengaruhi pondok pesantren. Pesantren yang pro Golkar diangkat. Yang tidak pro Golkar digencet. Maka warga NU pun ikut terbelah meski tidak secara presisi.

Golongan yang lebih taat pada para kiai masih cukup banyak. Maka untuk mengurangi kekuatan ini, dilakukanlah gerilya jabatan. Anak-anak tokoh NU dijadikan pegawai negeri. Otomatis harus ikut Golkar. Karena ada aturan monoloyalitas untuk pegawai negeri dalam mendukung pemerintahan. Dalam hal ini direduksi harus ikut Golkar.

Tentu ini membelah kekuatan NU. Guyonannya, ada NU kuning, ada NU hijau. NU kuning yang ikut  mendukung Golkar. NU hijau yang mendukung PPP. 

Sejak saat itu, gerakan melokalisir kiprah politik warga NU dilakukan terstruktur, masif, dan berkelanjutan. 

Lalu bagaimana dosen NU? Anak-anak tokoh NU terkonsentrasi belajar di pondok-pondok pesantren. Kalaupun ada yang kuliah, kuliah di IAIN. Itu pun dosennya sebagian besar Muhammadiyah. 

Jika ada anak tokoh NU yang kuliah di perguruan tinggi umum, banyak yang kemudian jadi PNS. Lalu tidak aktif di NU. Bahkan banyak yang malu mengaku sebagai NU. Bahkan ada yang takut. Karena bisa menghambat kariernya.

Kondisi ini yang menjadi salah satu sebab selama kurang lebih 30 tahun kader NU tidak banyak menjadi PNS. Termasuk dosen. 

Bagaimana peran Orde Reformasi? Peran NU kembali menguat pasca jatuhnya Pak Harto dan naiknya Gus Dur menjadi presiden. Tetapi tidak berlangsung lama. 

Amin Rais yang tokoh Muhammadiyah, menggerakkan politik parlemen menjatuhkan Gus Dur. Kader-kader NU di kabinet dan birokrasi pun terpental jatuh. 

Lalu, dua puluh tahun pasca reformasi, NU kembali menata diri. Pengkaderan dilakukan massif. Beasiswa untuk kader NU ditambah. Seiring dengan itu, akademisi dari kader NU pun perlahan bertambah.

Pernyataan Ketua Umum ISNU Dr Ali Masykur Musa bahwa NU sudah memiliki 5.000 doktor menjadi bukti bahwa terbukanya kran demokrasi. Membawa angin segar bagi kontribusi NU pada peradaban bangsa Indonesia.

NU selama hampir seratus tahun tidak punya masalah kebangsaan. NU adalah pilar bangsa, pendukung, dan pejuang NKRI. Setiap muktamar diteguhkan dukungan kepada Pancasila dan UUD 1945. 

NU berhasil merawat dan menjaga Bhineka Tunggal Ika. Bukan hanya itu, NU adalah Bhineka Tunggal Ika itu sendiri. Wajar kalau dosen NU dibutuhkan untuk menjaga peradaban bangsa ini.

*) Penulis adalah Supriyanto. Alumni Angkatan ke-2 MKNU Jawa Timur. Dosen Universitas Islam Malang

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES