Pendidikan

Pakar Hukum Pidana UB Minta Kajian UU ITE Libatkan Akademisi

Selasa, 23 Februari 2021 - 20:55 | 65.36k
Direktur Kantor Layanan Hukum Universitas Brawijaya Dr Faizin Sulistio, SH,L.LM. (Foto: Dok. Pribadi Dr Faizin Sulistio for TIMES Indonesia)
Direktur Kantor Layanan Hukum Universitas Brawijaya Dr Faizin Sulistio, SH,L.LM. (Foto: Dok. Pribadi Dr Faizin Sulistio for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGPakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB) Malang Dr Faizin Sulistio, SH,L.LM meminta kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) melibatkan peran akademisi.

Saat ini, Pemerintah melalui Kemenko Polhukam, Kemenkominfo, dan Kemenkum HAM membentuk tim pengkaji UU ITE. Unsur akademisi nihil di dalam formasi tersebut.

"Menurut saya (unsur akademisi) dilibatkan biar lebih objektif. Sebaiknya ada perwakilan pakar hukum pidana dari akademisi untuk formulasi norma. Itu perlu dipertimbangkan," kata Faizin, dihubungi TIMES Indonesia, Selasa (23/2/2021).

Pria yang juga Direktur Kantor Layanan Hukum UB itu menjelaskan, tim penguji yang nihil unsur akademisi kajiannya dinilai kurang representatif. Sebab, akademisi memiliki perhitungan rumusan yang berasaskan catatan akademik.

"Ketika ada komponen akademisi, formulasinya bisa lebih sempurna. Pertimbangan teoritis yang digunakan, bukan hanya sifatnya yang reaksioner karena satu hal tertentu," paparnya.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UB itu menambahkan, UU ITE sejak awal pembentukannya dinilai sudah bermasalah. Banyak masyarakat yang mengaku menjadi 'korban' beberapa pasal karet yang terdapat di dalamnya.

"Karena UU ini sebetulnya bukan UU yang hanya mengatur ketentuan pidana. Ada aspek perdata, pidana dan administratifnya. Kalau kita lihat, ketentuan pidana UU ITE seharusnya hanya pidana administratif," ujarnya.

Kata Faizin, ada dua hal yang secara garis besar bisa ditinjau. Pertama, yang diatur terkait dengan konten ilegal. Kedua, larangan penyalahgunaan komputer.

Pertama, lanjutnya, banyak yang bermasalah di pasal 27 28 dan lainnya. Yang ilegal konten itu migrasi dari aturan yang sebelumnya dilarang dalam UU konvensional. Disitu dimigrasikan ketika medianya menggunakan internet.

"Misalnya pasal 30 - 35 itu lebih kepada penyalahgunaan penggunaan komputer. Ini perbuatan tercela karena saat itu baru muncul (gencar) internet," tukasnya.

Dia menyebutkan bahwa masalah pidana yang muncul akhir-akhir ini bermuara pada pasal-pasal yang berkaitan dengan ilegal konten.

"Kita sadar antara ruang nyata dan siber (maya) sangat berbeda. Ketika mencantumkan langsung di dunia siber, ada beberapa hal yang harus diperhatikan," pungkasnya. 

Dia meminta penyidik dan masyarakat bisa memahami perbedaan kritik, tindakan menghina, dan pencemaran nama baik. Ia menilai jika statemen yang menyerang pada personal dan privasi yang dianggap menistakan, itu bukan merupakan kritik.

"Kalau ada penistaan, itu masuk personal. Memang agak rumit sih karena normanya juga tidak tegas. Kalau mau perubahan, normakan dengan hati-hati khusunya terkait ilegal konten," tutup Pakar Hukum Pidana UB itu, menyikapi ramainya pembahasan UU ITE. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES