Kopi TIMES

Benteng Pertahanan Utama Tetaplah Protokol Kesehatan

Sabtu, 20 Februari 2021 - 05:05 | 74.16k
Rizky Ridho Pratomo, Peneliti di Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan. Alumni Hubungan Internasional UPNVJ. 
Rizky Ridho Pratomo, Peneliti di Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan. Alumni Hubungan Internasional UPNVJ. 

TIMESINDONESIA, BOGOR – Di Britania Raya, muncul varian baru yang dinamakan vB.1.1.7 atau disebut juga varian Kent. Varian ini penyebarannya lebih cepat dari varian biasa. Tidak hanya di Britania Raya, di Amerika Serikat dan Afrika Selatan juga muncul varian baru COVID-19 yang penyebarannya lebih cepat. 

Munculnya varian COVID-19 yang menyebar lebih cepat di beberapa tempat membuat manusia dan virus saling berlomba siapa yang lebih cepat. Apakah mutasi virus atau kecepatan manusia dalam membuat dan memodifikasi vaksinnya. 

Di sisi yang lain, situasi terbaru menunjukkan bahwa efektivitas setiap vaksin berbeda-beda. Misalnya, vaksin Pfizer-BioNTech dikabarkan mampu menstimulasi respon imun yang kuat terhadap varian Kent dan varian Afrika Selatan. Namun, vaksin AstraZeneca tidak efektif melawan varian baru COVID-19 yang ada di Afrika Selatan. Vaksin tersebut hanya memberikan perlindungan minimal terhadap gejala ringan dan sedang. 

Perkembangan diatas menunjukkan satu hal yang pasti: vaksin memang instrumen penting dalam menanggulangi pandemi, namun penerapan protokol kesehatan (prokes) tetap yang utama. Vaksin yang ada saat ini kemungkinan juga masih akan mengalami proses perombakan agar bisa melawan segala jenis varian COVID-19. 

Selain alasan di atas, ada beberapa hal yang membuat kita harus terus menerapkan prokes. Pertama, masih belum berimbangnya antara permintaan dengan persediaan. Saat ini, baru ada 10 vaksin yang telah disetujui, sementara yang lain masih dalam tahap pengembangan. 

Kondisi ini membuat semua negara berlomba bahkan berebut untuk mengamankan pasokan. Negara menjadi serigala bagi yang lainnya. Mereka merasa yang paling terdampak dan perlu diprioritaskan soal pasokan vaksin. Contohnya seperti Uni Eropa dan Britania Raya dalam mengamankan pasokan vaksin AstraZeneca. 

Meski dengan anggapan semua vaksin yang di uji klinis semuanya layak, apakah vaksin yang dipesan efektif di negara mereka atau tidak? Seperti contoh, Afrika Selatan menunda penggunaan vaksin AstraZeneca. Itu menunjukkan bahwa setiap vaksin punya efektivitas yang berbeda-beda. 

Selain masalah politik dan efektivitas, muncul pula permasalahan infrastruktur kesehatan dan mekanisme distribusinya. Karena, setiap negara memiliki kapasitas dan infrastruktur yang berbeda-beda. Ada beberapa vaksin yang membutuhkan perlakuan khusus seperti Pfizer-BioNTech yang harus disimpan dalam suhu -70°C dan Moderna di suhu -20°C.

Selain itu, berdasarkan data dari The Economist Intelligence Unit, paling cepat masyarakat mendapatkan akses vaksin secara menyeluruh pada akhir tahun 2021. Itu juga baru di negara maju  saja. Ada yang baru mendapatkan akses pada rentang tahun 2022-2023. Banyak aspek yang memengaruhi: luas negara, banyaknya populasi, dan juga akses terhadap pasokan vaksin itu sendiri. 

Data ini hanya forecasting dan apapun bisa terjadi nantinya. Tetapi, data dari The Economist bisa dijadikan landasan berpikir kita untuk bersikap. Pandemi tidak akan berakhir secepat yang dibayangkan, meski vaksin tersedia. 

Sehingga, senjata terkuat kita untuk mengamankan diri dari ancaman pandemi adalah pola pikir. Pola pikir bahwa COVID-19 ini bisa membahayakan siapapun. Mindset untuk tetap memahami pentingnya mematuhi prokes yang ketat. 

Karena di saat seperti ini, mengharapkan vaksin menyelesaikan semuanya bukan jawaban atas masalah pandemi. Oleh karena itu, meski vaksin sudah tersedia, bukan berarti mengabaikan keselamatan diri dengan tidak menerapkan protokol kesehatan. Karena, jaring pengaman terkuat adalah diri sendiri: bagaimana membentengi diri dengan prokes, menjaga jarak dan kebersihan.

Terlebih lagi, mengamankan diri sendiri berarti membuat lingkungan dan orang sekitar kita tetap terlindungi. Abai terhadap keselamatan diri berarti mengancam kehidupan orang banyak. 

***

*) Oleh: Rizky Ridho Pratomo, Peneliti di Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan. Alumni Hubungan Internasional UPNVJ. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES