Kopi TIMES

Sebuah Tanggapan Atas Fenomena Kaum Rebahan

Jumat, 19 Februari 2021 - 22:22 | 115.29k
Ramadhani Sri Wahyuni, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Kru SKM Amanat.
Ramadhani Sri Wahyuni, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Kru SKM Amanat.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Marcus Aurelius, Kaisar Romawi, memimpin bala tentara beranggotakan 500 ribu prajurit dan kekaisaran yang penduduknya seperlima populasi dunia. Kekuasannya membentang dari Inggris ke Mesir, dari pesisir Samudra Atlantik ke tepi Sungai Tigris, Irak. Namun, Marcus bukan orang yang bersemangat pada pagi hari. Dia senang rebah-rebahan. Bahkan, sebagian besar pekerjaannya dilakukan pada sore hari, setelah tidur siang. 

Rutinitas itu membuat dia berselisih dengan sesama orang Romawi, yang sebagian besar bangun sebelum fajar. Di tengah kegelapan sebelum fajar menyingsing, di sebuah jalan Kota Romawi, anak-anak dengan mata mengantuk berat, berjalan ke sekolah. Tapi tidak dengan Marcus. Dia bersekolah di rumah. Dia juga boleh bangun siang. Dan, itu yang dia lakukan seumur hidupnya. 

Rutinitas yang dilakukan oleh Marcus Aurelius tersebut seolah menjadi gambaran sebagian kaum muda hari ini yang sering mendapat predikat kaum rebahan. Menolak bangun pagi dan seringkali menghabiskan waktunya untuk berlama-lama memanjakan tubuh di atas tempat tidur. Apalagi, di tengah kekalutan pandemi yang belum juga mereda, semua kegiatan dialihkan dalam bentuk virtual.

Bahkan, hal ini pun sudah dilakukan hampir satu tahun sejak kasus positif Covid-19 berkembang pesat. Ini tentu berdampak pada pola hidup masyarakat yang lebih sering menghabiskan waktunya dengan melakukan rebahan. 

Pertanyaannya adalah, apakah salah jika seseorang menerapkan pola hidup semacam ini dalam kesehariannya?

Saya rasa tidak selamanya salah, tergantung penafsiran yang diambil. Hal yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah, mengapa sebagian besar orang menjustifikasi istilah rebahan sebagai aktivitas yang dijadikan legitimasi kemalasan. Padahal, tidak selamanya juga kaum rebahan adalah kaum pemalas. Jika rebahan hanya dimaknai berbaring di atas tempat tidur tanpa melakukan apa-apa, itu jelas merugikan. Apalagi sampai menghabiskan waktu berjam-jam di atas Kasur. Namun, beda cerita ketika rebahan bisa menghasilkan sesuatu yang produktif. 

Di sini jelas ada sebuah kekeliruan cara berpikir yang selalu mengambil kesimpulan dari pernyataan umum. Ada semacam purbasangka di mana, sebagian besar orang lebih sukar mengambil putusan sampai semua bukti terkumpulkan dan memilih mengabaikan atau mengecilkan sebuah putusan yang menjadi bukti. 

Hari ini, pemaknaan akan istilah rebahanpun telah mengalami pelebaran makna esensialnya sebagai waktu istirahat dari aktivitas yang padat. Bahkan, ada indikasi rebahan ini dijadikan sebagai identitas yang hanya bertujuan mengikuti tren semata. 

Filsuf Skotlandia David Hume sering memikirkan pertanyaan apakah bangun dari rebahan itu penting, meskipun ia sendiri jarang  rebahan. Hume membagi setiap pertanyaan tentang rebahan menjadi dua bagian: bagian “yang ada” dan “bagian yang seharusnya”. Bagian “yang ada” lebih kepada cara kita memikirkan manfaat apa yang akan kita dapatkan saat melakukan suatu hal (baca: rebahan). Sedangakan “bagian yang seharusnya” hanya sekedar penilaian moral dari sekitar yang kita dapat saat melakukan suatu hal (baca: rebahan).

Bangun dari rebahan mungkin menyehatkan dan menguntungkan, tapi tidak berarti kita “harus” melakukannya. Barangkali kita tidak ingin melancarkan peredaran darah dan meningkatkan potensi memperoleh penghasilan. Mungkin kita suka begini saja, di balik selimut. Menurutku, “seharusnya” yang mengganggu inilah yang menjadi kepelikan kita. Kita merasa, harus bangun dari rebahan, jika tidak melakukannya, pasti ada yang salah dengan kita.

Saya berpikir bahwa mereka yang hobi rebahan sepanjang hari ini berharap setelah bangun dari rebahan maka tugas-tugasnya (yang menumpuk) akan lekas kelar, tubuhnya akan kembali sehat, duit bisa datang dari bawah bantal, dan dia bisa mewujudkan segala keinginannya tanpa harus bekerja keras. 

Tidak bisa lepas dari medsos

Ungkapan matinya kepekaan sosial, barangkali akan cocok disematkan untuk kaum milenial yang akrab dengan aktivitas rebahan. Tentu tidak semuanya, namun sebagian dan itu pasti. Saat ini, media sosial menjadi komoditi paling laris yang digandrungi oleh mereka. Bahkan, banyak dari mereka yang menghabiskan waktu untuk bercengkerama di medsos dan mengabaikan dunia nyata. 

Dosen Tamu di Old Age Psychiatry King’s College London Tony Rao mengatakan media sosial adalah sesuatu yang sangat penting bagi generasi milenial, yakni menjadi penghubung mereka dengan dunia luar. Sementara, bagi para milenial yang lahir antara 1984-2005, teknologi digunakan untuk bersantai dan berinteraksi dengan orang lain. 

Sementara itu, Direktur tata kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Selamatta Sembiring menyatakan, penetrasi intenet di Indonesia saat ini sudah menjangkau 143,6 juta sejak awal-awal tahun. Namun saat ini sudah mencapai  150 juta orang dari 250  juta penduduk Indonesia saat ini. Dari jumlah itu sebanyak kurang lebih 80 juta lebih pengguna media sosial terbanyak dari kalangan milenial. 

Fenomena ini terjadi akibat kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan oleh media social sebagai dunia ketiga menggantikan peran manusia yang sebenarnya. Mereka benar-benar sudah dikendalikan oleh teknologi yang justru diciptakan oleh manusia sendiri. Bahkan, bisa dibilang tidak ada jeda yang pada mereka untuk bisa lepas dari medsos.

Meskipun kegiatan itu lama-lama bisa membosankan dan muncul perasaan gabut, namun tetap saja masih digandrungi. Hal ini cukup beralasan mengingat kegiatan di sekolah/kampus atau kantor menjadi alasan yang cukup untuk merebahkan diri (meskipun sebenarnya dilakukan secara daring). 

***

*) Oleh: Ramadhani Sri Wahyuni, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Kru SKM Amanat.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES