Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Epistemologi Curah Hujan Bencana Banjir di Indonesia

Rabu, 17 Februari 2021 - 12:27 | 107.55k
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 372 kejadian bencana alam di Indonesia. Dominansi dimilki bencana banjir sebanyak  227 kejadian  per 8 Februari 2021 sejak awal tahun 2021.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawat menyatakan aktivitas La Nina dan angin monsun menjadi salah satu pemicu banjir di beberapa wilayah di Jawa. Aktivitas La Nina dan angin monsun Asia menciptakan hujan dengan intensitas tinggi di Jawa.

La Nina adalah fenomena konsentrasi panas terjadi di wilayah Indonesia sehingga angin basah sekitar Pasifik dan Samudera Hindia bergerak ke Indonesia yang menyebabkan musim hujan yang besar dan lama di Indonesia. Sedangkan Angin Monsun Asia (Barat) adalah angin yang bergerak dari benua Asia ke Benua Australia yang berlangsung pada bulan Oktober sampai dengan April di setiap tahunnya. Angin monsun ini adalah indikator musim hujan bagi wilayah Indonesia.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di lain pihak Ahli Hidrologi dan Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Pramono Hadi mengatakan, maraknya banjir di Indonesia salah satunya akibat pengaruh iklim periodik La Nina dan topografi. Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono menyatakan bahwa banjir dipicu oleh dampak aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit.

Sejauh ini, dampak perubahan iklim secara umum terhadap curah hujan regional tidak dapat dibedakan dari variasi alam. Namun, untuk beberapa kasus tertentu di luar negeri, sinyal mulai muncul. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa perubahan iklim akibat ulah manusia secara substansial meningkatkan terjadinya banjir yang merusak di Inggris dan Wales pada musim gugur tahun 2000. Untuk Inggris, pemahaman saat ini menunjukkan bahwa peningkatan curah hujan yang tinggi selama musim dingin mulai terlihat secara lebih umum pada tahun 2020-an. .

Yang perlu dipahami adalah pada waktu-waktu tertentu dalam setahun, Indonesia mendapatkan aliran udara (angin) yang bertiup ke arah yang berbeda, menghasilkan musim yang berbeda. Biasanya, ketika arus udara melewati badan air, ia akan membawa berton-ton uap, yang akan 'dibuang' ke suatu tempat. Hasilnya adalah musim hujan. Jika arus udara melewati lahan kering, hasilnya tentu saja tidak ada uap air, karenanya tidak ada hujan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Indonesia adalah negara kepulauan, ribuan pulau yang dikelilingi perairan. Australia adalah sebuah benua, yaitu daratan yang sangat luas. Indonesia 'basah' selama 6 bulan dalam setahun. Sedangkan Australia, karena di tengahnya terdapat gurun pasir yang sangat luas, tidak mendapatkan curah hujan sebanyak itu, kecuali di tempat-tempat yang dekat dengan pantai.

Australia memang mendapatkan banyak curah hujan di wilayah paling utara. Namun, curah hujan menurun drastis di wilayah pusat yang lebih luas. Salah satu alasannya adalah bahwa secara geologis Australia adalah benua yang sangat tua, dan pegunungannya yang dulu tinggi (The Great dividing range) telah terkikis, hingga sebagian besar hanya berupa perbukitan rendah.

Gunung yang tinggi pada faktanya memiliki efek barrier yang menghalangi angin dan awan yang mengandung kelembaban, sehingga didapati lebih banyak curah hujan di satu sisi atau sisi lainnya. Sebagai contoh pegunungan Himalaya. Ada banyak hujan di sisi selatan, tetapi dataran tinggi kering dan gurun di utara. Dengan tidak adanya gunung yang tinggi ini akan mengakibatkan tidak adanya pemutusan pembentukan angin, awan dan curah hujan yang mengarah ke tempat tertentu yang lain.

Hujan adalah masalah yang sangat kompleks. Biasanya kita menerima begitu saja tetesan air, dan jarang berhenti sejenak untuk merenungkan dari mana asalnya. Hujan punya cerita sendiri. Sebuah kisah tentang perjalanan panjang naik turun atmosfer, siklus transformasi, dingin yang membekukan, dan panas yang mencair. Jika kita memberikan jawaban singkat, hujan datang dari awan yang melayang tinggi di langit. Tapi apakah sesederhana itu?

Awan, pada dasarnya, adalah komposisi tetesan air atau kristal es yang telah mengendap pada partikel debu di atmosfer. Mereka terbentuk ketika uap air yang naik membeku, karena suhu yang jauh lebih dingin di langit. Alasan utama keberadaan mereka adalah karena bagaimana matahari memanaskan badan air yang luas di Bumi, secara efektif mengubahnya menjadi uap. Namun, ada cara lain untuk membentuk awan. Misalnya, dalam kasus di mana aliran udara yang berbeda bertemu, mereka memaksa satu sama lain untuk naik semakin tinggi. Ini biasanya menciptakan awan kumulus.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Penting untuk disadari pula bahwa air terus-menerus menguap dan mengembun di langit. Dengan kata lain, bagian dari awan tertentu terus-menerus menghilang, sedangkan bagian baru terus berkembang. Jika Anda bertanya-tanya mengapa tidak hujan terus-menerus, jika proses ini tidak pernah berhenti, jawabannya adalah sebagian besar awan air tidak turun sebagai hujan karena kecepatan jatuhnya tidak cukup untuk mengatasi arus naik yang membuat awan tetap tinggi.

Agar curah hujan berlangsung dan hujan mulai turun, tetesan air perlu mengembangkan kecepatan jatuh yang melebihi arus naik awan. Agar satu tetesan hujan terbentuk, jutaan tetesan air diperlukan untuk bertabrakan. Dengan asumsi cukup banyak tetesan yang terkumpul dan akhirnya menjadi cukup berat untuk mulai jatuh. Siklus air ada 3 yaitu (1) siklus pendek yaitu hujan jatuh di laut (2) siklus sedang yaitu hujan terjadi di daratan (3) siklus panjang yaitu hujan terjadi di pegunungan tinggi. Pada umumnya presipitasi (turunnya air dari atmosfer ke permukaan bumi) di daratan lebih tinggi daripada evaporasi/ transpirasi di daratan itu sendiri akibat sumbangsih dari evaporasi laut. Peningkatan presipitasi akibat evaporasi dapat mencapai 60%.     

Sehingga dengan demikian, salah satu cara untuk mengurangi adanya curah hujan tinggi adalah dengan cara mengangkat pembeda dari evaporasi dan transpirasi di daratan itu sendiri. Persamaan dari evaporasi daratan dan transpirasi adalah faktor- faktor meteorologis seperti sinar matahari dan faktor jenis permukaan tanah. Sedangkan perbedaannya terletak pada transpirasi jenis tanaman.

Evaporasi adalah proses pertukaran molekul air di permukaan menjadi molekul uap air di atmosfer melalui kekuatan panas sedangkan transpirasi adalah proses penguapan pada tumbuh-tumbuhan, lewat sel-sel stomata. Kapasitas kadar air bergantung pada tinggi rendahnya suhu di tempat itu. Proses tergantung pada Dpv (Saturated vapour preseeure deficit) di udara atau jumlah uap air yang dapat diserap oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Evaporasi banyak terjadi di pedalaman dibanding di Pantai karena udara sudah lembab. Transpirasi di hutan pun lebih besar dibanding di padang rumput. Berdasarkan penjelasan tersebut, beberapa Usaha Konservasi Tanah dan Air yang dapat dilakukan adalah: 

Satu, Penataan dan pemilihan tanaman bertujuan secara regional. Tanaman Angiospermae (tanaman berdaun lebar) memiliki kemampuan transpirasi hingga 6 kali lebih tinggi daripada tanaman Gymnospermae (tanaman berdaun runcing). Angiospermae seringkali dipilih karena cepat untuk tumbuh dan mampu untuk berkompetisi. Angiospermae lebih cocok ditanam dilahan kering dengan catatan diutamakan yang lokal (native) sedangkan Gymnospermae lebih cocok ditanaman di lahan basah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, Pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Menghindari eksploitasi hutan di daerah hulu sungai, karena akan mempercepat pengikisan lapisan top soil dan erosi tanah yg mengakibatkan terjadinya; pendangkalan, aberasi, dan terjadinya aanslibing (munculnya delta) di muara sungai

Ketiga, Pada tanah landai (land slope 5 – 10%) .Yang diantisipasi adalah pengaruh negatif curah hujan & mempertahankan kelembaban tanah. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain : pengolahan tanah menurut kontur,  membenamkan kedalam tanah pupuk organik, serta penanaman tanaman leguminose sesuai kontur (leguminose cross slope planting)

Keempat, Pada tanah miring s/d curam (land slope 15 – 25%). Yang diantisipasi adalah pengaruh negatif curah hujan dan mempertahankan kelembaban tanah). Tindakan yang dapat dilakukan antara lain : Membuat sengkedan (terasering), membenamkan ke dalam tanah pupuk organik, pengaturan drainage sesuai kontur yg juga bertujuan untuk menghambat runoff pada saat hujan deras, serta penanaman tanaman leguminose sesuai kontur

Kelima, Pada tanah sangat curam (land slope > 25%). Sebaiknya hanya mengembangkan jenis tanaman yg masih sesuai dengan lingkungan hutan (forestry) ; seperti jenis-jenis tanaman keras yang memiliki performance batang besar dan perakaran dalam misal : jati, sengon, karet, durian, duku, dll. Yang perlu diperhatikan: ground cover crop (tamanam penutup tanah & semak belukar) tetap dipertahankan, sehingga dpt menghambat terjadinya erosi.

Keenam, Mempertahankan Kandungan Bahan Organik Tanah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara Penerapan daur ulang bahan organik dan Integrated Farming (pertanian terpadu).

Jika tanah tetap tergenang air untuk jangka waktu yang lama (terutama daerah yang terdampak banjir) karena curah hujan yang tinggi, tanah kadang-kadang jenuh dengan air. Oksidasi bahan organik berlangsung lambat dan terakumulasi di tanah Horizon pertama. Di Horizon kedua Fe dan Mn diendapkan sebagai mantel atau goresan berkarat dan jika difusi cepat, mereka diendapkan sebagai konkresi. Pada tanah terendam akibat difusi oksigen di dalam air, nitrogen bentuk organik mengalami mineralisasi membentuk NH4 menjadi NO2 dan NO2 menjadi NO3 terjadi pada lapisan aerobik. Ketersediaan N menurun pada kondisi terendam akibat denitrifikasi, penguapan amonia, fiksasi ion amonium oleh pencucian mineral lempung dan limpasan NO3 dan NH3. Sehingga semakin lama tanah akan kekurangan unsur hara dan berpotensi untuk memadat. Dampaknya air akan lebih sulit untuk mengalami infiltrasi (aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah) dari waktu ke waktu.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Era sebelum industrialisasi adalah era “God created nature” dimana manusia menerima atau mengambil berkah dari alam hasil kreasi Tuhan. Era industrialisasi adalah era “man made nature” dimana akal pikiran manusia berupaya menaklukkan alam. Perkembangan teknologi pada era inilah yang membenturkan manusia pada alam, karena produk teknologi yang dihasilkan tidak selaras dengan cara kerja alam.

Manusia harus berinovasi untuk menghindari kepunahannya akibat benturan ini. Era ke depan ini adalah era “God engineered nature” dimana teknologi yang kita buat harus selaras mengikuti prinsip kerja di alam dimana teknologi yang embedded didalamnya kita pelajari dan kita manfaatkan untuk kebutuhan kita. Wallahu A'lam Bishawab

*Penulis: Dr. Sama’ Iradat Tito, S.Si., M.Si, Dosen Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Kepala Pusdi K2L FMIPA UNISMA dan Anggota Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES