Kopi TIMES

“Gig Economy”, Fenomena Di Tengah Ekonomi Digital

Rabu, 17 Februari 2021 - 02:53 | 410.58k
Eri Kuntoro SST, M.Si, Fungsional Statistisi Ahli Muda; Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.
Eri Kuntoro SST, M.Si, Fungsional Statistisi Ahli Muda; Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.

TIMESINDONESIA, BANTUL – Perkembangan internet dan teknologi informasi yang pesat telah berpengaruh hampir di semua aspek kehidupan, tak terkecuali di dunia ekonomi dan bisnis. Kegiatan ekonomi saat ini tidak terikat lagi dengan jarak dan waktu karena kemudahan dalam bertransaksi secara online. Tanpa disadari ekonomi digital telah tumbuh pesat dan telah mencakup banyak bidang usaha.

Beberapa bidang usaha yang populer saat ini seperti e-commerce, fintech (financial technology) dan on demand services (contoh: transportasi daring) telah mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Bahkan menurut data BPS, pada tahun 2020 disaat pandemi covid-19 melanda, sektor informasi dan komunikasi masih mampu tumbuh pesat diangka 10,58 persen.

Namun demikian, perkembangan ekonomi digital yang pesat ternyata telah melahirkan suatu fenomena baru yang dikenal dengan Digital Gig Economy (DGE). DGE lahir dari perubahan paradigma bekerja kaum milenial dalam era digital yaitu lebih memilih status pekerjaan freelance (on demand worker) dibandingkan pekerja tetap. Dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, aneka pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah sehingga waktu bagi generasi milenial ini menjadi lebih fleksibel karena berorientasi output bukan jam kerja. Selain alasan passion, milenial kadang memilih menjadi freelancer karena durasi kontrak yang pendek sehingga membuat mereka bisa mengambil beberapa pekerjaan sekaligus untuk mendapatkan penghasilan lebih.

Jumlah pekerja paruh waktu terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data BPS, pada Agustus 2020 proporsi pekerja paruh waktu mencapai 25,96 persen, meningkat dibandingkan Agustus 2019 yang hanya sebesar 22,54 persen. Situasi pandemi diduga juga pemicu meningkatnya pekerja paruh waktu yang mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan penuh akibat pembatasan sosial. Secara spesifik menurut data salah satu website penyedia jasa freelance lokal yaitu sribulancer.com, terdapat kurang lebih 34 ribu freelancer profesional yang terdaftar di situsnya.

Di negara berkembang, fenomena gig economy sebenarnya muncul sebagai akibat dari sedikitnya lapangan pekerjaan sektor formal yang memberikan upah yang sepadan dengan jam kerja. Sedangkan dari sudut pandang perusahaan, mereka sangat diuntungkan dengan adanya freelancer ini karena dapat mengurangi fixed cost sehingga beban produksi menjadi jauh berkurang. Pekerja gig economy di negara maju mempunyai karakteristik yang agak berbeda. Mereka memilih terjun sebagai freelancer karena pengaruh tren dan gaya hidup yaitu tidak mau dikekang oleh jam kerja yang kaku.

Jenis Gig Economy

Secara umum jenis pekerjaan pada gig economy bisa dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu pekerjaan yang menuntut kompetensi tertentu (skilled worker) maupun pekerjaan yang relatif sederhana tanpa kualifikasi tertentu (unskilled worker). Pekerjaan gig economy berjenis skilled worker biasa dilakukan oleh kalangan terpelajar seperti programmer, animator, desainer grafis dan pekerja digital lain.

Freelancer terdidik ini biasa bekerja pada website-website global seperti upwork.com, fiverr.com, toptal.com maupun peopleperhour.com. Sementara itu website lokal yang menyediakan jasa digital freelancer diantaranya fastwork.id, freelancer.co.id dan sribulancer.com.

Jenis gig economy unskilled worker terdapat pada transportasi daring seperti gojek dan grab. Perusahaan transportasi daring ini tidak mensyaratkan kualifikasi pendidikan atau keahlian tertentu untuk bergabung menjadi partner. Tidak dapat dipungkiri perusahaan on demand service ini telah memberikan kesempatan kerja yang luas untuk fresh graduate maupun penduduk yang sudah mempunyai pengalaman kerja untuk menambah penghasilan.

Sisi Lain Gig Economy

Selain memberikan kesempatan kerja dan warna baru bagi ketenagakerjaan Indonesia, gig economy tidak luput dari pandangan miring berkaitan dengan perlindungan pekerja di era ekonomi digital ini. Tidak terikatnya seorang pekerja dengan suatu entitas perusahaan cukup menyulitkan bagi pengambil kebijakan untuk melindungi dan memberdayakan freelancer ini. Pekerja lepas ini relatif tidak terlindungi oleh jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan dan pensiun sehingga rentan mendapatkan permasalahan sosial di kemudian hari. Kontrak kerja yang bersifat jangka pendek juga menempatkan pekerja dalam posisi yang mudah tereksploitasi. Isu deskilling pun tak luput dari transportasi daring yaitu adanya degradasi keterampilan (keahlian) dan upah akibat pekerjaan bersifat sederhana dan mudah.

***

*)Oleh: Eri Kuntoro SST, M.Si, Fungsional Statistisi Ahli Muda; Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES