TIMESINDONESIA, BANDUNG – Menurut data yang diperoleh setidaknya 1.500 rumah warga di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel kebanjiran. Ketinggian air mencapai 2-3 meter. Hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir di awal tahun 2021 lalu diduga menjadi penyebab banjir. Dua daerah terparah yang terkena banjir adalah Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut.
Lantas benarkah banjir di Kalsel diakibatkan oleh hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir?
Pemerintah perlu menganalisis lebih dalam perihal kerusakan ekologi ini terutama terkait masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus-menerus di Kalimantan Selatan. Berbagai data menunjukkan bahwa pembukaan lahan terutama untuk perkebunan sawit terjadi secara terus-menerus. Dari tahun ke tahun luas perkebunan mengalami peningkatan dan mengubah kondisi sekitar.
Jaringan Advokasi Tambang (jatam) mencatat terdapat 4.290 izin usaha pertambangan (IUP) di Kalsel atau sekitar 49,2 persen dari seluruh Indonesia. Pembukaan lahan meningkat sebesar 13 persen hanya dalam kurun waktu 2 tahun. Luas bukaan tambang pada 2013 ialah 54.238 hektar.
Pada 27 september 2020, Walhi Kalsel bersama jatam, jatam Kaltim, dan Trend Asia, membentuk koalisi #bersihkanIndonesia. Mereka mendesak pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuka dokumen kontrak perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara. Mereka mengevaluasi mengenai kasus pencemaran lingkungan, perampasan lahan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Serta lahan hutan Kalimantan yang dulunya merupakan hutan belantara sekarang kini beralih menjadi lahan perkebunan. Perluasan lahan secara masif dan terus menerus merupakan faktor utama di kondisi cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir terjadi.
Dikutip dari suara.com. wahana lingkungan hidup (Walhi) menegaskan bahwa banjir besar di Kalimantan Selatan yang terjadi awal bulan Januari 2021 kemarin bukan sekedar akibat cuaca ekstrem, melainkan akibat rusaknya ekologi di tanah borneo. Menurut direktur eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan bahwa banjir tahun ini merupakan yang terparah dalam sejarah.
Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah. Menunjukan daya dukung lingkungan di Kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Bahkan dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Sebelumnya BPBD Kalsel merilis data harian hingga per tanggal 14 januari 2021. Tercatat terdapat 67.842 jiwa yang terdampak dari total 57 peristiwa banjir sejak awal tahun. Khusus untuk bangunan rumah warga yang terdampak sebanyak 19.452 unit. Akumulatif jumlah warga terdampak banjir ini masih didominasi dari kabupaten Tanah Laut, dengan jumlah sebanyak 34.431 jiwa. Lalu, disusul kabupaten Banjar yang tercatat sebanyak 25.601 jiwa. Sedangkan, sisanya berasal kota Banjarbaru, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Tapin, dan sekitarnya. Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor juga sudah mengumumkan wilayah yang berstatus tanggap darurat bencana banjir melalui surat pernyataan nomor : 360/038/bpbd/2021 tertanggal 14 Januari 2021.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada sabtu 16 Januari 2021 pukul 10.00 WIB, lima orang meinggal dunia akibat banjir serta 27.111 rumah warga terendam, dan 112.709 warga terpaksa mengungsi.
BNPB mengaku tidak ingin terburu-terburu menyimpulkan penyebab banjir karena banyaknya lahan hutan yang ditebang untuk membuka kebun kelapa sawit dan area pertambangan. Namun, data yang diungkap secara blak-blakan oleh direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menjelaskan penyebab banjir berulang di Kalsel semata-mata bukan karena tinginya curah hujan.
Karut-marut tata kelola lingkungan dan sumber daya alam di Kalimantan Selatan telah berkontribusi besar pada rusaknya daya tampung dan daya dukung lingkungan, termasuk tutupan lahan dan daerah aliran sungai. Inilah realita dari tata kelola yang kapitalistik. Bencana alam akibat kerusakan ekologis adalah buah busuk yang mengiringi pembangunan eksploitatif yang sekuler kapitalistik.
Pembangunan kapitalistik yang menonjol dalam pengelolaan lingkungan di sejumlah daerah di Kalsel ini telah berdampak pada deforestasi dan alih fungsi lahan. Padahal, begitu banyak penelitian dan diskusi ilmiah tentang aspek hidrologi, kehutanan, dan pentingnya konservasi serta tata ruang wilayah yang secara jelas menunjukan bahwa pembangunan mutlak harus memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian hutan, lahan, keseimbangan alam, dan lingkungan. Jika tidak, meniscayakan terjadinya bahaya banjir dan tanah longsor mematikan seperti halnya yang terjadi pada saat ini.
Sayangnya, penguasa telah didikte para korporasi sehingga mengorbankan prinsip tata kelola lingkungan termasuk menyia-nyiakan hasil kajian ilmiah dan diskusi para intelektual untuk mewujudkan kelestarian lingkungan.
Apabila dibandingkan dengan sistem islam hal ini sangat jauh berbeda. Baik pada tataran teoretis maupun praktis, paradigma dan konsep-konsep sahih islam berupa syariat kaffah khusus yang berwujud sistem ekonomi islam dan sistem politik islam, yakni khilafah, adalah satu-satunya jawaban.
Nilai-nilai materi, ruhiyah, akhlak, dan insaniah yang hadir secara seimbang, menjadikan sistem ekonomi islam berkarakter mencegah kerakusan dan konsumerisme, serta menjauhkan dari aspek eksploitatif dalam memanfaatan sumber daya alam. Sebaliknya, menjamin terwujudnya kembali keharmonisan alam yang dirusak.
Dalam pandangan islam air, hutan, dan lahan adalah ciptaan Allah SWT yang diciptakan untuk kesejahteraan manusia, bukan komoditas. Sehubungan dengan itu, khilafah sebagai pelaksana syariat kaffah secara praktis akan menerapkan sejumlah paradigma sahih islam, diantaranya adalah yang pertama menjadikan hutan sebagai harta milik umum. Sebab, faktanya hutan secara umum memiliki fungsi ekologis dan hidrologis yang dibutuhkan jutaan orang. Jadi apapun alasannya negara tidak berhak memberikan hak pemanfaatan istimewa berupa hak konsesi dan lainnya. Baik untuk pembukaan tambang, perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur.
Kedua, negara adalah pihak yang berwenang dan bertanggung jawab langsung serta sepenuhnya dalam pengelolaan hutan. Negara benar-benar harus memperhatikan pandangan para ahli agar terhindar dari perbuatan yang merusak kelestarian alam.
Ketiga, anggaran berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Baitulmal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan di keluarkan negara sesuai syarit. Sehingga negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi penting. Khusus untuk penanganan banjir, reboisasi, naturalisasi sungai dan pengembalian fungsi lahan, pembangunan kembali situ dan waduk, riset, serta penggunaan teknologi terkini untuk mempercepat pencapaian maksimal berbagai program tersebut.
Keempat, kekuasaan tersentralisasi, sementara administrasi bersifat dentralisasi dan kelima bebas dari agenda hegemoni program EBT biofuel sawit dan lainnya. Ditambah dengan berbagai kemajuan teknologi etrkini, fungsi-fungsi hutan dan lahan yang semestinya akan kembali normal. Sehingga, banjir sistematis akibat kerusakan lingkungan dapat segera diakhiri. Inilah pengaturan sistem islam yang akan mencegah terjadinya pengerukan sumber daya alam tanpa kendali. Maka sudah saatnya membuang sistem kapitalisme saat ini yang melegalkan eksploitasi sumber daya alam dan kembali menerapkan sistem Islam rahmatan lil 'alamin. Bukan hanya Rahmat bagi manusia, namun juga bagi lingkungan.
***
*)Oleh : Delya Lusiana (Mahasiswi Universitas Padjadjaran).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Publisher | : Rizal Dani |