Kopi TIMES

Potensi Ekonomi dari Bisnis Warteg

Senin, 08 Februari 2021 - 14:00 | 113.70k
Sugiyarto.S.E.,M.M, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang.
Sugiyarto.S.E.,M.M, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang.

TIMESINDONESIA, PAMULANG – Bagi mahasiswa atau anak kost, warteg menjadi bagian cerita  dalam perjalanan hidup mereka dan akan menjadi kenangan ketika penikmat warung tegal ini sukses  dalam karir dan perjalanan hidup yang bersangkutan. 

Bagi pekerja kantoran warteg sebagai pilihan yang tepat pada akhir bulan ketika isi dompet mulai  menipis, bahkan tidak  sedikit pada pertengahan bulan mereka sudah  makan gratis alias ngebon. 

Pemilik  warteg   adalah pelaku usaha  yang mengerti  dan memahami kondisi  pasar . Selain menjual makanan dengan harga terjangkau, cita rasa  masakannya  juga memiliki  ciri  khas  bila dibandingkan dengan rumah makan yang ada di pusat perbelanjaan.

Warteg adalah rumah makan asli Indonesia dengan citra rasa nusantara, semua jenis  masakan  yang dijual bisa di nikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.  Di sana kita bisa menemukan semur jengkkol, ikan teri, orek tempe, ikan asin, telur dadar, terong balado, sayur toge, cah kangkung versi  warteg juga  bisa kita nikmati dengan harga yang  yang ramah di kantong.

Bagi masyarakat  yang terbiasa  makan masakan rumahan,  masakan yang ada di warteg  lebih variatif  sehingga masyarakat  memiliki lebih banyak  pilihan. Yang  tidak kalah  penting suasana ketika makan, dimana kita akan mendapatkan banyak pelajaran tentang kehidupan  masyarakat dengan latar belakang dengan status sosial yang berbeda melebur dan menyatu kedalam budaya  makan di warteg. Inilah salah satu budaya kuliner asli Indonesia  yang  bisa mempersatukan masyarakat dari Sabang samapai Merauke.

Kalau kita  berbicara  dengan karyawan yang  ada  di warteg  dan bertanya siapa  pemiliknya, ternyata tidak  semua pemilik  warung tegal  adalah orang  Tegal. Mereka  berasal  dari berbagai  macam daerah, walaupun mayoritas pelaku usaha itu sendiri adalah orang Tegal dan sekitarnya.
Dampak  pendemi  covid-19  luar biasa berat bagi sektor usaha termasuk warteg . Warung  makan    yang  identik  dengan tempat makan kaum marginal  ini juga ikut merasakan  dampaknya. 

Warteg yang  fokus melayani  segmen pasar  kelas bawah ini,  sebagian besar udah mulai menutup sebagian dari usaha mereka  selama pandemic covid-19. Menurut penuturan seorang  pemilik   usaha warteg bahwa penurunan omset  mencapai 80 persen semenjak pandemi covid-19.

Dalam kondisi normal rata–rata omzet warteg mencapai  Rp3 juta sampai Rp5 juta per hari. Jika di Jabodetabek ada 34.725 warteg, maka terjadi perputaran bisnis kuliner sejenis  warteg ini bisa  mencapai Rp102.4 milyar  sampai  Rp173.6 milyar per hari. Dalam satu bulan potensi ekonmi dari perputaran bisnis warteg ini bisa mencapai 3,1 trilyun sampai 5,2 trilyun. 

Tingkat   perputaran  ekonomi yang  luar biasa besar  namun masih di anggap sepele  oleh  sebagian  masyarakat. Dengan tingkat perputaran ekonomi yang mencapai nilai trilyunan rupiah ini  tentu peran mereka dalam  mendorong pertumbuhan ekonomi nasional khususnya  dari sisi konsumsi  harus menjadi perhatian pemerintah.

Multiplier efek dari usaha warteg ini mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi khususnya daerah Jadebotabek. Walaupun kontribusi mereka secara  formal belum di akui oleh pemerintah.

Tidak sedikit artis dan publik figur mulai melirik untuk bisnis warteg  dengan konsep modern yang di sesuaikan dengan selera kaum milenial. Mereka mencari lokasi dan menjual makanan rumahan model warteg  dengan fasilitas modern serta berpendingan udara agar pelanggan merasa lebih  nyaman, dengan konsep self service dengan sistem pembayaran digital  di kasir.

Melihat persaingan semakin ketat, para pelaku usaha warteg  konvensional  mulai banyak berbenah dengan  melakukan perbaikan  layanan  seperti  menyediakan  ruang berpendingin udara  dan sistem  pembayaran dengan platform digital. Bahkan  beberapa  warteg   secara  khusus  memberikan potongan harga kepada diver  ojek  online  dalam jangkan panjang  dengan  syarat  dan ketentuan   yang berlaku, seperti  layaknya rumah  makan  modern.   

Banyak warteg yang sudah melakukan kerjasama dengan platform digital seperti go food dan grab food. Kondisi pendemi covid-19 telah membuat peta persaingan bisnis kuliner semakin ketat. Di samping daya beli masyarakat menurun, dengan pembatasan kapasitas rumah makan dan jam operasional, akan semakin menambah beban yang harus di tanggung oleh para pelaku usaha.(*)    

***

*)Oleh: Sugiyarto.S.E.,M.M, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES