Kopi TIMES

Di Balik Gerbang Perguruan Tinggi

Sabtu, 06 Februari 2021 - 14:37 | 67.22k
Amirul Wahid Ridlo Wicaksono Zain, Mahasiswa Dakwah/Pengembangan Masyarakat Islam, IAIN Jember.
Amirul Wahid Ridlo Wicaksono Zain, Mahasiswa Dakwah/Pengembangan Masyarakat Islam, IAIN Jember.

TIMESINDONESIA, JEMBER – Beberapa hari yang lalu, tersiar kabar kasus dugaan swaplagiarisme yang dilakukan oleh seorang pimpinan kampus negeri yang baru saja dilantik.

Kabar ini bahkan menjadi sajian utama salah satu majalah nasional dengan publikasi tinggi. Rektor baru dikabarkan telah mengirim satu karya ilmiahnya ke beberapa jurnal. Jurnal yang memuat pun sudah diragukan kredibilitasnya untuk menjadi pertimbangan pengangkatan sang rektor menjadi guru besar. 

Plagiarisme adalah salah satu hal yang harus dihindari oleh setiap masyarakat perguruan tinggi. Terdapat standar dan batasan-batasan produksi karya ilmiah dalam perguruan tinggi sebagai penjaga stabilitas kredibilitas akademik masyarakat kampus. Warga kampus tidak bisa seenaknya asal mengadopsi buah pikir atau karya orang lain agar karyanya terlihat banyak atau bagus. Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang konkrit, setiap kader perguruan tinggi dituntut untuk melakukan riset intensif baik secara tekstual maupun kontekstual. Plagiasi hanya jalan keluar yang salah dalam berkarya.  

Fenomena kasus plagiasi di atas dapat digolongkan sebagai pelanggaran peraturan akademik yang tentunya menciderai dunia intelektual perguruan tinggi. Sebenarnya kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi, tak sedikit rektor dan petinggi kampus yang kedapatan melakukan kecurangan akademik. Mulai dari yang sifatnya administratif hingga yang paling tinggi seperti plagiarisme. Sayangnya, pelanggaran seperti ini jarang sekali digubris. Mereka yang melanggar dapat mudah lolos dari sanksi sebab kepentingan universitas dalam meraih peringkat terbaik lebih diutamakan.

Terbitnya kasus dugaan self-plagiarisme ini ke publik, secara inklusif juga sekaligus membuka wajah kampus yang jarang diketahui khalayak umum. Bahwasannya dunia kampus yang terkenal mentereng dengan sivitas akademika yang kritis ternyata juga mempunyai sisi lain yang kelam.

Tidak sedikit oknum yang bertindak curang di dalamnya untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Perilaku buruk ini jelas telah mencoreng mutu riset dan standar akademik dunia perguruan tinggi yang seharusnya senantiasa selalu dilestarikan. Setiap sivitas akademika wajib hukumnya menaati seluruh ketentuan norma dan etika akademik tersebut tanpa terkecuali dan untuk alasan apapun.   

Analisa dari beberapa kasus serupa, politik kampus adalah yang paling sering menjadi alasan pelanggaran oknum-oknum tersebut. Contohnya seperti kasus di atas, swaplagiarisme untuk menuju guru besar, sebagai langkah awal menjadi rektor baru. Politisasi dalam dunia kampus beragam, dapat berupa ajang perebutan jabatan, tujuan peningkatan peringkat akreditasi kampus secara instan, dan lain sebagainya. Membuat dunia akademik sebagai jalur politik yang mudah serta aman. Dengan dalih untuk membanggakan nama kampus, oknum tersebut bertindak curang seraya menawarkan benefit strategis untuk pihak universitas. 

Seperti politik pada umumnya, politik dalam kampus juga seringkali menghalalkan segala cara untuk meraih posisi atau jabatan tertentu. Sisi positifnya, masyarakat kampus mungkin dapat belajar dunia politik sejak dini. Namun ternyata politisasi kampus ini justru lebih banyak membawa implikasi buruk. Alih-alih mendapat ilmu bermanfaat, politisasi kampus rupanya juga meredupkan semangat mengembangkan kecerdasan organik sebagai tujuan perguruan tingginya. Baik dari pihak mahasiswa maupun pejabat kampus, siapapun yang terlibat dalam politik kampus seringkali terlena akan lika-liku politik yang terjadi di lapangan.

Di sebagian kampus ternama, politik kampus ini menyebabkan transformasi budaya akademik. Buktinya jelas dapat disaksikan saat proses pemilu presiden mahasiswa atau saat pemilihan rektor di universitas. Semua kontestan berupaya seulet mungkin untuk meraih posisi tertinggi. Apapun dilakukan asal menang, bahkan menjatuhkan pihak lawan dengan cara-cara yang tidak sehat adalah hal yang lumrah. Bagi mahasiswa pendatang baru, realita ini mungkin terasa tabu. Namun seperti itulah keadaan pesta demokrasi kampus yang sebenarnya. Akhirnya, mahasiswa lebih berorientasi terhadap politik dari pada mengolah kecerdasan organik. 

Sayang sungguh disayang, perebutan jabatan yang sungguh sangat ketat bahkan saling jegal rupanya tidak diikuti dengan perbaikan dunia akademik kampus untuk menunjang kreativitas serta prestasi sivitas akademika. Banyak sekali pemimpin terpilih seperti mati suri ketika telah menjabat. Tidak adanya program kerja yang jelas, janji-janji palsu, dan sikap abai terhadap dunia akademik. Dunia kampus lantas berubah menjadi ladang politik mini yang seharusnya tidak perlu ada. 

Maka tidak heran, apabila menengok refleksi pemangku jabatan di negeri ini. Kekecewaan publik terhadap pemerintah bisa saja bersumber dari kursi kampus yang dulu pernah disinggahi oleh para elit negara tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun karena ambiguitas kepemimpinan yang terjadi tidak segera mendapat titik terang. Sama halnya dengan kepercayaan masyarakat kampus terhadap pemimpinnya sendiri.     

Tindakan seperti ini tidak patut dilakukan terutama oleh elit kampus. Para elit sebagai contoh untuk generasi mahasiswa seyogyanya memperbanyak prestasi nyata. Berikan pedoman kepribadian yang asli bukan imitasi. Sebab, menurunnya tingkat kualitas pendidikan di perguruan tinggi lebih banyak disebabkan oleh kecilnya minat dan kapabilitas mahasiswa untuk berkreasi dan memiliki jiwa produktivitas mapan. Hal ini sangat disayangkan, karena penurunan tersebut juga berimbas terhadap kualitas pendidikan di negeri ini. Tidak bisa dipungkiri, perguruan tinggi memiliki partisipasi cukup besar dalam pembangunan pendidikan suatu negeri. Suatu negeri yang maju juga tidak terlepas dari bagaimana pola pendidikan perguruan tinggi yang ada di dalamnya.

Singkat kata, dalam kacamata idealisme pendidikan perguruan tinggi, disiplin dalam dunia akademik adalah manifestasi patriotisme diri untuk negeri. Jelas sebagai mahasiswa atau bahkan dosen sekalipun, sivitas akademika mengemban amanah untuk mengolah kecerdasan dan kemampuan akademiknya demi kemajuan negeri kelak.

Tuntutan yang berat ini dilaksanakan agar supaya dari dunia kampus, dapat lahir generasi-generasi potensial serta pemikir ulung untuk revolusi peradaban negeri dalam persaingan dunia global. 

***

*) Oleh: Amirul Wahid Ridlo Wicaksono Zain, Mahasiswa Dakwah/Pengembangan Masyarakat Islam, IAIN Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES