Kesehatan

Selain Mahal karena Cukai Naik, Ini Bahaya Rokok Menurut Dokter Paru Unair

Sabtu, 06 Februari 2021 - 13:32 | 125.93k
Dosen FK Unair Surabaya, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Dokter di RS Unair, Wiwin Is Effendi, dr., SpP(K)., PhD., FAPSR (foto: website fk Unair).
Dosen FK Unair Surabaya, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Dokter di RS Unair, Wiwin Is Effendi, dr., SpP(K)., PhD., FAPSR (foto: website fk Unair).

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Mulai Februari 2021, Pemerintah resmi menaikkan cukai hasil tembakau. Menurut Kantor Wilayah Direktorat Jendral Bea Cukai Jatim 2, salah satu alasan kenaikan cukai rokok adalah mengendalikan konsumsi, di mana jumlah perokok diharap menurun dari 33,8 persen jadi 33,2 persen pada 2021.

Dosen FK Unair Surabaya, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, dr Wiwin Is Effendi, SpP(K), PhD, FAPSR menjelaskan bahwa rokok memang sangat berbahaya. Dalam satu batang rokok ada sekitar 80 bahan berbahaya.

"Rokok itu kalau mau dikuliti isinya, sebelum dibakar ada ratusan zat berbahaya, bahkan hampir 7 ribuan bahan dan sekitar hampir 80-an bahan arsinogenik. Arsinogenik itu bahan yang menyebabkan kanker," ungkapnya, Sabtu (6/2/2021).

merokok.jpgIlustrasi merokok (Foto: Faisal Rizky/TIMES Indonesia)

Salah satu bahan yang berbahaya dalam satu batang rokok adalah Tar. Tar biasanya digunakan untuk campuran bahan-bahan padat. Selain Tar dalam satu batang rokok juga terdapat Aseton, Amonia dan bahan berbahaya lainnya.

"Hampir seluruh kanker di manusia salah satu faktornya dari rokok. Tar kalau terhirup dalam tubuh manusia, didalam tubuh kita terdapat alveolus yang fungsinya melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida. Nah kalau Tar terhirup kedalam paru, alveolus-nya tertutup oleh itu," ujar Wiwin

Sehingga jika alveolus tertutup maka nantinya akan memicu kanker paru. Selian kanker paru, penyakit yang juga sering ia jumpai pada perokok adalah PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), penyakit ini membuat paru-paru manusia jadi tak elastis lagi atau memanjang.

"Karena tadi kena Tar alveolu-nya tertutup jadi kaku akhirrnya lama kelamaan karena parunya tidak elastis jadi molor atau memanjang," terangnya.

Selain itu, Wiwin menjaskan orang normal biasanya dibagian saluran pernafasan mulai dari hidung sampai ke trakea terdapat bulu-bulu getar untuk menyapu debu yang bisa dikeluarkan dalam bentuk batuk atau bersin, namun bagi para perokok bulu-bulu ini tak berfungsi dengan baik.

"Kalau orang normal dahaknya diproduksi dalam jumlah normal, dahak akan dikeluarkan untuk mengeluarkan debu-debu dalam bentuk dahak. Kalau perokok sudah tidak bisa dikeluarkan tapi produksinya sudah terlalu banyak, cuma gak bisa dikeluarkan," urai Wiwin

Wiwin mengatakan bahwa 20 sampai 30 persen dari jumlah perokok mengalami penyakit tersebut. Apalagi saat Covid-19 seperti saat ini, para perokok bahkan lebih mudah tertular Covid-19 dibanding dengan bukan perokok.

"Jadi virus corona ini harus berdempetan dengan reseptor yakni enzim ACE2 (angiotensin converting enzyme). Ternyata banyak penelitian membuktikan reseptornya lebih banyak perokok dibandingkan bukan perokok," terang Wiwin.

Jika reseptor lebih banyak maka para perkok pun akan lebih muda tertular Covid-19. Begitupula angka kematian pada pasien Covid-19 bagi para perokok juga lebih besar.

Pemerintah memang tidak salah menaikkan cukai rokok untuk menurunkan angka perokok. Namun Wiwin mengatakan bahwa hal tersebut tidak berpengaruh terhadap jumlah perokok, rokok bagi para perokok sudah menjadi kebutuhan primer.

"Analisis sekilas saja sepertinya tidak terlalu berpengaruh, kecuali kalau kita mau buat survey pengaruh kenaikan cukai rokok terhadap jumlah perokok," kata Wiwin.

Justru, kata Wiwin, jika benar pemerintah ingin menurunkan jumlah perokok bukan menaikkan harga cukainya akan tetapi memberi edukasi kepada masyarakat.

"Kalau diluar negeri seperti di Jepang, perokok dikategorikan dalam kelas kedua, jadi mereka kalau mau merokok ditempatkan di tempat yang tidak enak," imbuhnya.

Berdasarkan studinya di luar negeri, justru angka yang dikeluarkan pemerintah untuk pengobatan bagi para perokok lebih kecil jika harus menerima keuntungan dari penjualan rokok. Artinya keuntungan yang didapat dari pajak rokok tidak sebanding dengan biaya pengobatan yang dikeluarkan.

Sehingga, menurutnya, belum tentu kenaikan tarif cukai rokok akan menurunkan jumlah perokok dan menurunkan masalah kesehatan akibat merokok. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES