Kopi TIMES

Jaket Banser Abu Janda

Sabtu, 06 Februari 2021 - 11:15 | 76.27k
Moh. Syaeful Bahar, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
Moh. Syaeful Bahar, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Diakui atau tidak, Permadi Arya memang fenomenal. Dia berhasil menjadi salah satu sosok yang paling banyak dibicarakan beberapa ini, bahkan mungkin sebanding dengan banyaknya nama Joe Biden disebut dan diperbincangkan. Jika Biden diperbincangkan karena berhasil mendepak seteru politiknya, Donald Trump dari Gedung Putih, maka Permadi Arya disorot karena dianggap menebar provokasi dengan serentetan komentar yang kontroversial, mulai dari komentar rasis yang dianggap menghina Natalius Pigai, hingga ke komentarnya tentang Islam yang arogan. Tak heran, karena perbuatannya tersebut, Permadi Arya akhirnya dipolisikan oleh KNPI.

Tulisan ini tak bermaksud hanya membahas tentang kasus yang menimpa Permadi Arya, tapi lebih pada atribut yang selalu dipakai Permadi Arya. Tulisan ini tentang jaket loreng yang sering melekat di tubuh Permadi Arya, tepatnya, ini tentang jaket Banser NU. Ini tentang Permadi Arya yang selalu menyematkan diri sebagai kader Banser.

Tak dapat dipungkiri, bahwa Permadi Arya adalah kader Banser. Dia telah mengikuti serangkaian pelatihan sebelum dirinya sah menjadi kader Banser. Permadi Arya pernah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Dasar (Diklatsar) Banser di Majelangka beberapa tahun yang lalu. Artinya, secara administratif, Permadi Arya adalah benar-benar kader Banser.

Namun, apakah dengan telah mengantongi kartu identitas kader Ansor lalu dia benar-benar telah menjadi kader NU? Pertanyaan ini tak mudah dijawab. Jika hanya sekadar menjadi nahdliyin, tentu Permadi Arya telah sah menjadi nahdliyin, namun ketika pertanyaan dilanjutkan pada persoalan yang lebih substansial, yaitu apakah Permadi Arya telah benar-benar menjadi nahdliyin sebagaimana termaktub dalam qanun asasi NU? Maka jawabannya tidak semudah pertanyaan pertama. Perlu ada beberapa indikator yang harus diukur sebagai bentuk keabsahan seseorang akan benar-benar dapat dinilai sebagai kader NU.

Mengukur Ke NU-an Permadi Arya

Hal yang jamak diketahui, bahwa mereka yang mengaku sebagai warga NU, maka setidak-tidaknya ia telah mengamalkan berapa amaliyah-ubudiyah sebagai warga NU. Misal, dalam hal ubudiyah (ibadah), seorang nahdliyin harus beribadah dengan berpedoman pada kitab-kitab fiqh standar pesantren yang merujuk pada empat imam madzhab, yaitu Madzhab Syafii, Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki dan Madzhab Hambali. Sedangkan untuk rujukan aqidahnya, para nahdliyin, biasanya akan merujuk pada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Imam Al Ghazali dan Imam Al Junaidi al Baghdadi menjadi rujukan dalam hal tasawwuf.

Karena pada dasarnya NU didirikan oleh para ulama untuk menjaga tradisi keilmuan yang bersambung (baca;sanad) hingga ke Rasulullah saw, maka tak heran ketika NU memiliki seperangkat aturan ketat yang harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Misal, dalam hal pendidikan, NU dan pesantren-pesantren NU telah memiliki rujukan kitab-kitab tarbiyah (pendidikan) yang telah ratusan diajarkan, sehingga tradisi belajar dan mengajar tetap konsisten (istiqamah) sebagaimana tradisi yang diajarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.

Dari tradisi belajar ini, akhirnya, semua santri pesantren atau semua warga NU (nahdliyin) senantiasa akan terbentuk sebagai pribadi-pribadi yang teguh menjaga akhlak karimah, menjaga nilai-nilai perjuangan (harakah) serta menjaga nilai-nilai aqidah ahlussunnah wal jamaah an nahdliyah.

Membaca kasus Permadi Arya, serta sepak terjangnya selama ini, hampir bisa dipercaya, bahwa Permadi Arya belum tuntas menjadi Banser, apalagi jadi nahdliyin. Bisa disimpulkan, bahwa semua nilai-nilai yang diajarkan di NU dan pesantren, terutama terkait akhlaq dan komitmen ke-Islaman, belum terinternalisasi dalam diri Permadi Arya secara penuh. Permadi Arya masih sebatas kulit memahi dan menjalankan ajaran-ajaran NU. Hal ini dapat dimaklumi, karena Permadi Arya bukan alumni pesantren. Dia juga tak terlacak sebagai pribadi yang lahir dan dibesarkan dari keluarga NU. Berikutnya, juga tak ditemukan bukti bahwa Permadi Arya memiliki sanad keilmuan pada kiai-kiaii NU. Satu-satunya predikat dan identitas ke NUan Permadi adalah keikutsertaan dia dalam Diklatsar Banser.

Ambillah contoh terkait akhlaq Permadi Arya. Dalam tradisi NU, mencaci atau menyerang pribadi lain yang bersifat fisik adalah sebuah prilaku tak moral yang sangat dijahui dalam tradisi pesantren dan NU. Apa yang dilakukan oleh Permadi Arya pada Natalius Pigai adalah bukti bahwa dia belum bisa menjaga prilaku untuk senantiasa mengedepankan akhlaq pada orang lain, bahkan kepada mereka yang menjadi seteru.

Berikut juga pernyataan Permadi Arya terkait Islam arogan juga menunjukkan bahwa dia belum memahami dengan utuh terkait pentingnya menjaga lisan dalam hal menjaga Keislamannya. Bahwa apa yang dikatakannya berpotensi merusak keimanan dan keIslamannya. Menghina dan merendakan Islam adalah sebuah pelanggaran (maksiat) atau ketauhidan seseorang. Tentu Permadi Arya tak memahami resiko ini, sekali lagi, itu karena ketaktahuan Permadi Arya tentang dasar-dasar ilmu tauhid dalam Islam.

Permadi Arya juga tak menyadari bahwa apa yang diucapkan berpotensi melahirkan polemik yang tak perlu. Dalam kasus Natalius Pigai dan pernyataan Islam arogan, nampak sekali, bahwa Permadi Arya sedang kegenitan, seperti anak kecil yang banyak tingkah karena butuh perhatian orang-orang di sekitarnya. Sama sekali tak nampak substansi nilai perjuangan dalam pernyataan dan perbuatan Permadi Arya.

Jika benar Permadi Arya bergerak atas nama panggilan perjuangan, sebagaimana layaknya kader-kader  Ansor dan NU, maka seharusnya, semua yang dilakukan oleh Permadi Arya sejalan dengan garis perjuangan NU dan atas bimbingan kiai-kiai NU, sehingga semua yang dilakukan akan senantiasa ada dasar ilmunya (syari’ah) dan tak melewati batas-batas akhlaq dan syariah.

Berbeda ketika, apa yang dilakukan oleh Permadi Arya adalah sebuah ekspresi politik, maka membaca dan menyimpulkannya perlu analisis politik. Beberapa analisis telah banyak dinyatakan oleh beberapa orang pengamat, bahkan ada mantan pengurus PB NU yang menyatakan bahwa Permadi Arya adalah seorang penyusup yang sengaja disusupkan ke Banser dengan memanfaatkan longgarnya sistem rekrutmen di Banser Ansor NU.

Taruhlah Permadi Arya sebagai pribadi merdeka (bukan agen yang disusupkan), apa yang dilakukan oleh Permadi Arya, meskipun dengan dalih ekspresi politik, tetap tak bisa dibenarkan. Tak seharusnya, atas nama persaingan dan pertarungan politik, Permadi Arya menyerang pribadi Natalius Pigai. Sekali lagi, hal ini menunjukkan kedangkalan Permadi Arya memahami tradisi politik di NU. Permadi Arya masih menempatkan politik dan pernak-perniknya sebagai tujuan utama, bukan sebagai instrument perjuangan membela Islam dan menjaga NKRI sebagaimana dicontohkan oleh para politisi NU.

Sebagai politisi, Gus Dur dapat menjadi contoh yang sempurna. Betapa Gus Dur pernah menjadi lawan politik Soeharto di saat Orde Baru berkuasa, Gus Dur bukan hanya diamputasi semua eksestensinya, semua akses ekonomi-politiknya diberangus, bahkan tak jarang Gus Dur diburu dan diancam keselatan nyawanya. Namun, semua kejahatan yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru pada Gus Dur sama sekali tak menjadikan Gus Dur membenci Soeharto secara pribadi. Maka, ketika Soeharto jatuh, Gus Dur justru datang mendekat untuk menjadi teman yang baik.

Belajar Dari Kasus Permadi Arya

Belajar dari kasus Permadi Arya ini, ada dua hal yang penting dapat dijadikan cacatan, pertama, catatan koreksi bagi internal NU, terutama bagi Banser-Ansor dan kedua, adalah bagi masyarakat umum yang belum mengenal NU dengan baik.

Catatan pertama harus dimulai dari sebuah pengakuan dan koreksi diri bagi Banser, bahwa sistem rekrutmen di internal Banser harus lebih ketat dan rapi. Meskipun, ketatnya sistem rekrutmn di Banser ini tidak boleh memberangus nilai-nilai inklusivitas yang selama ini melekat di Ansor dan Banser. Siapapun boleh menjadi kader Banser dan Ansor, selama persyaratan-persyaratan administrative dan ideologis telah dipenuhi.

Catatan kedua, adalah untuk masyarakat umum. Bahwa apa yang dilakukan Permadi Arya tidak bisa disimpulkan sebagai ekspresi Banser dan Ansor. Seharusnya, masyarakat dapat dengan jernih melihat dan membedakan ekspresi pribadi dan ketentuan organisasi. Klarifikasi paling mudah adalah apakah ekspresi pribadi itu telah sesuai dengan konsistensi nilai-nilai perjuangan yang telah dilakukan oleh NU. Tentu, dengan klarifikasi ini, apa yang dilakukan oleh Permadi Arya tak bisa disimpulkan sebagai ekspresi Banser, karena sejak awal berdirinya, NU selalu mengedepankan akhlakul karimah dan senantiasa memperjungan persamaan hak dan kehormatan setiap anak manusia di bumi pertiwi ini. Artinya, meskipun Permadi Arya kerap muncul ke permukaan public dengan jaket Banser, itu sama sekali tidak mewakili Banser secara keseluruhan.

*) Penulis: Moh. Syaeful Bahar, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES