Kopi TIMES

Dark Tourism di Indonesia: Fakta, Etika, dan Niaga

Kamis, 04 Februari 2021 - 14:13 | 116.84k
Rean Mitasari, S.Pd., M.Sc.-Dosen Tourism - Hotel and Tourism Business (HTB).
Rean Mitasari, S.Pd., M.Sc.-Dosen Tourism - Hotel and Tourism Business (HTB).

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Dalam perkembangannya, jenis-jenis pariwisata semakin bertambah begitu pula sebaran pasar nya yang juga semakin beragam. Salah satu jenis pariwisata yang dapat dikatakan cukup “menantang” dan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah dark tourism / atrocity tourism.

Secara harafiah, wisata tersebut dapat diartikan sebagai “wisata kelam/gelap” dimana yang menjadi atraksi adalah tempat-tempat dengan sejarah yang memiliki unsur kekejaman (Seaton, 1996, Spracklen, 2013). Adapun unsur “gelap” dan “kejam” tersebut bukan untuk menakut-nakuti, namun lebih sebagai sarana edukasi sekaligus bentuk refleksi tentang peristiwa sejarah kelam agar kekejaman semacam itu jangan terulang kembali di masa yang akan datang.

Dari definisi tersebut, cukup jelas bahwa tujuan dari dark tourism/atrocity tourism bukan semata-mata untuk menarik keuntungan dari sejarah kelam, namun sebagai media belajar dengan pendekatan yang sedikit esktrim karena langsung menuju ke tempat terjadinya peristiwa tersebut. 

Contoh dari atraksi dark tourism yang populer di kalangan wisatawan mancanegara antara lain Auschwitz-Birkenau di Polandia - kamp konsentrasi Jerman untuk menghabisi orang-orang Yahudi yang dianggap mengancam ras Aria (bangsa asli Jerman)- , dan Cherynobyl di Ukraina dimana terjadi ledakan di sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir.

Sedangkan di Indonesia, meskipun oleh pemerintah pusat dan daerah tidak dinyatakan secara resmi oleh pemerintah pusat maupun daerah, terdapat beberapa atraksi dark tourism yang justru dikenal melalui unggahan di media sosial maupun dari mulut ke mulut.

Sebut saja Bunker Kaliadem di Sleman – saksi bisu dahsyatnya letusan gunung merapi di tahun 2010- , Monumen Pancasila Sakti dan Lubang Buaya – yang disinyalir menjadi tempat pembantaian 7 jenderal pada peristiwa G30SPKI- , dan Monumen Bom Bali di Kuta Legian. Masih banyak atraksi-atraksi wisata di Indonesia yang sebetulnya adalah bagian dari dark tourism. Akan tetapi, atraksi-atraksi tersebut masih dibungkus dalam wadah wisata edukasi untuk mengurangi unsur ngeri yang dapat menghampiri para wisatawan. 

Di Kota Surabaya sendiri, terdapat tempat yang bisa dikategorikan sebagai atraksi wisata dark tourism bila dikembangkan, yaitu Penjara Kali Sosok. Pada jaman kolonial Belanda, tempat tersebut digunakan untuk memenjarakan kaum pribumi yang berani melakukan perlawanan tehadap Belanda secara terbuka maupun diam-diam.

Di penjara itu pula banyak tokoh nasionalis yang menjadi tahanan dan juga disiksa karena menolak untuk tunduk pada pihak penjajah. Ketika dalam masa pendudukan Jepang, penjara tersebut digunakan untuk memenjarakan orang-orang Belanda yang sebelumnya menjadi penjajah dan juga orang-orang pribumi yang gencar melakukan perlawanan terhadap pihak Jepang.

Meskipun menyimpan cerita pilu, ada unsur heroik yang bisa dimunculkan dari situs sejarah di daerah Surabaya bagian utara tersebut. Namun, dalam merencanakan pengelolaan sebuah situs, tidak luput dari kendala-kendala seperti masalah kepemilikan lahan dan bangunan, serta masalah lain yang membuat bangunan tersebut tampak terabaikan.

Terlepas dari masalah birokarsi dan hal terkait lainnya, wisata dengan tema kelam dapat menjadi pilihan tersendiri bagi mereka yang mungkin mulai atau sudah jenuh dengan wisata masal. Akan tetapi, kesan ngeri, angker, dan pertimbangan etika karena “menjual” tempat-tempat tersebut, seringkali menjadi hambatan bagi mereka yang berminat dan berniat mengembangkan “wisata gelap” / dark tourism.

Fakta sejarah dan hal lain yang didapatkan setelah melakukan kunjungan merupakan alasan yang menjadikan suatu tempat memang “layak untuk dijual” sekaligus menjadi pengingat bagi mereka yang masih hidup akan peristiwa yang pernah terjadi. Memang dalam mengembangkan atraksi wisata semacam ini kehati-hatian sangat diperlukan agar inti dari penyampaian fakta dalam suatu perjalanan wisata tersebut dapat dilakukan dengan benar dan tidak terjebak pada komersialisasi atraksi wisata belaka.

Harapannya, dengan melihat sendiri dan mendapatkan cerita utuh yang bukan rekayasa, wisatawan dapat lebih memahami dan menghargai nilai sejarah, serta menjadi lebih empati sekaligus peka dengan efek setelah peristiwa tersebut. 

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan atraksi wisata dark tourism adalah tetap memperhatikan unsur etika yang berhubungan dengan tempat tersebut. Mengembangkan disini bukan hanya membuka suatu tempat untuk dapat dikunjungi wisatawan, namun juga membungkusnya dalam suatu cerita yang nantinya akan disampaikan oleh pemandu wisata.

Banyak pihak yang terkait atau berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa yang terjadi di tempat yang menjadi atraksi wisata dark tourism. Akan menjadi baik bila sebelumnya dilakukan penelurusan secara menyeluruh dan menanyakan kesediaan pihak-pihak tersebut mengenai penyebutan nama atau detil peristiwa yang nantinya dilakukan oleh pemandu wisata ketika memandu tour untuk wisatawan.

Bila salah seorang pihak tidak berkenan disebutkan namanya, ada baiknya menyanggupi permintaan mereka untuk tidak menyebutkan nama yang bersangkutan dalam penjelasan atraksi wisata dark tourism tersebut. Confidentiality merupakan salah satu cara untuk menjunjung tinggi etika dalam memaparkan fakta sejarah yang cukup memilukanbagi mereka yang tidak ingin disebutkan detil data dirinya. 

Dalam hal niaga, lebih mengarah ke bagaimana “menjual” atau mempromosikan suatu atraksi yang bersifat “menantang”, seperti pada atraksi wisata dark tourism. Untuk dapat “menjual” suatu atraksi wisata, tentu perlu adanya kepastian izin yang diberikan oleh pemerintah setempat berikut kesepakatan mengenai pengelolaan atraksi tersebut.

Hal itu diperlukan agar di kemudian hari tidak ada sengketa maupun berbagai masalah lain yang timbul dari “menjual” suatu atraksi. Melihat perkembangan zaman berikut cara-cara mempromosikan suatu atraksi wisata, banyak ide yang dapat digunakan untuk menarik minat wisatawan berkunjung suatu atraksi wisata.

Terlebih dengan adanya proses digitalisasi yang sudah masuk hampir di semua sektor, tidak terkecuali sektor pariwisata. Tentunya akan lebih mudah kedepannya untuk memunculkan label wisata jenis baru, seperti dark tourism, di Indonesia dengan pengemasan yang menarik dan pengelolaan yang tertata serta dinamis. Dengan begitu, harapannya situs dengan cerita kelam tersebut tetap memberikan manfaat bagi mereka yang menjadi pelaku pariwisata, khususnya di Indonesia. 

***

*)Oleh: Rean Mitasari, S.Pd., M.Sc.-Dosen Tourism - Hotel and Tourism Business (HTB).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES