Peristiwa Daerah

Hidup di Atas Tanah Pengairan, Tukang Becak di Probolinggo Ini Digugat ke Pengadilan

Rabu, 27 Januari 2021 - 14:39 | 218.90k
Muhammad Hasan Sanah dan Juha, yang tinggal di atas tanah milik pengairan Kabupaten Probolinggo. (FOTO: Dicko W/TIMES Indonesia)
Muhammad Hasan Sanah dan Juha, yang tinggal di atas tanah milik pengairan Kabupaten Probolinggo. (FOTO: Dicko W/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Muhammad Hasan Sanah (55) yang bekerja sebagai tukang becak ini, harus melawan hukum setelah ia digugat ke Pengadilan Negeri Kraksaan, Kabupaten Probolinggo menyusul adanya gugatan oleh Hakimuddin.

Informasi yang dihimpun, Muhammad Hasan Sanah tinggal di atas tanah milik pengairan kurang lebih 20 tahun lamanya, tepatnya di RT 001/RW 001, Desa Sumberlele, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.

Kini digugat oleh Hakimuddin, ke Pengadilan Negeri Kraksaan, karena pihak penggugat memiliki sertifikat tanah milik pengairan tersebut.

Muhammad Hasan Sanah, digugat bersama dua orang lainnya, yang sama-sama tinggal di atas tanah milik pengairan Kabupaten Probolinggo tersebut, yakni Nurfila dan ibu Juha. Selaku tergugat. rumah mereka bertiga berjejer dan pencahariannya membuka warung kopi sederhana.

Pada Rabu 6 Januari 2021 Pengadilan Negeri Kraksaan mengeluarkan putusan nomor 34/PDT.6/2020/PN.KRS, yang mengabulkan gugatan penggugat dan menetapkan bersalah kepada Hasan Sanah, Nurfila, dan Juha. Namun, atas putuan ini, akan dilakukan upaya banding hukum ke Pengadilan Tinggi Jatim.

"Saya hanya ingin numpang hidup di atas tanah pengairan ini, kesehariannya saya hanya julalan degan dan membecak saja. Sedangkan keluarga saya lainnya juga demikian, berjualan buka warung kopi dan kelontong saja. Kenapa saya harus digugat dan diusir," keluh Hasan Sanah saat ditemui di kediamannya.

Kuasa Hukum tergugat, S Husein mengungkapkan,  mereka bertiga digugat oleh pengusaha bernama Hakimuddin, yang mengklaim tanah tersebut milik pribadi.

Padahal, warga telah mendiami tanah yang sebenarnya merupakan milik negara selama berpuluh-puluh tahun. Itu setelah sejak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Probolinggo menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama salah satu pengusaha, bernama Hakimuddin pada 31 Juli 1996.

Husein menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut- turut.

Namun, pasca terbitnya SHM, Hakimuddin melakukan manuver untuk mencaplok tanah milik warga Sumberlele.

Pada tahun 1997, ketika Hasan merantau ke Batam, Bu Hasan dan Bu Juha diminta oleh istri Hakimuddin, untuk menandatangani Surat Izin Pinjam Pakai. Bu Hasan dan Bu Juha merupakan dua orang warga Kabupaten Probolinggo yang buta huruf.

"Mereka dipaksa untuk menandatangani surat tersebut tanpa dijelaskan terlebih dahulu oleh istri Hakimuddin. Karena keterbatasan, Bu Hasan dan Bu Juha tidak bisa tanda tangan, melainkan dengan membubuhkan cap jempol tanpa tahu isi surat tersebut. Kami sudah mengajukan untuk upaya banding hukum atas kasus ini," papar Husein, Rabu (27/1/2021).

Warga di tanah itu menggantungkan hidupnya dari sepetak lahan dengan membuka warung-warung kelontong dan sebagai tukang becak. Keadaan hidup dan kondisi ekonomi yang makin sulit membuat warga Sumberlele tidak mampu menempati perumahan.

"Hak rakyat atas hidup dan tempat tinggal yang layak merupakan hak yang tidak bisa ditawar atau diabaikan. Hak tersebut secara tegas diatur dalam pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan," kata Husien.

Terbitnya SHM atas nama Hakimuddin tersebut kata lanut Husein, selain merampas hak warga Sumberlele, juga mencaplok tanah negara yang mestinya diberikan kepada tunakisma.

Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, jelas disebutkan bahwa "Sungai dikuasai oleh negara dan merupakan kekayaan negara. Dipertegas dalam Pasal 5 ayat (1) "Sungai terdiri atas: A. palung sungai B. sempadan sungai.

Hal itu membuktikan bahwa tanah yang selama ini ditempati oleh warga Sumberlele merupakan tanah yang dikuasai Negara. Namun sangat disayangkan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Probolinggo justru menerbitkan SHM kepada pengusaha yang justru berasal dari luar Desa Sumberlele.

"Penggusuran yang mengancam warga Desa Sumberlele akan memperpanjang deretan konflik agraria di Kabupaten Probolinggo yang selama ini jarang disorot," terangnya.

Merujuk pada amar putusan saat persidangan, Humas Pengadilan Negeri Kraksaan, Yudistira membenarkan atas putusan terhadap tergugat Muhammad Hasan Sanah. Namun pihaknya, tak bisa berkomentar soal ini, karena sudah akan melakukan banding.

"Putusan no 34/Pdt.G/2020/PN Krs Antara Hakimudin dan kawan-kawan sebagai Penggugat, melawan Muhammad Hasan Sanah dan kawan-kawan, sebagai Tergugat. Putusan tanggal 6 Januari 2021 Amar putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Tergugat mengajukan upaya hukum banding pada tanggal 20 Januari 2021," terang Yudistira terkait sengketa tanah pengairan di Kabupaten Probolinggo tersebut. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES