Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Masih di Simpang Jalan

Rabu, 27 Januari 2021 - 14:56 | 86.30k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Salah satu doktrin konststitusi sejatinya mengatur pertanggungjawaban secara egaliter pada siapapun yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Dalam konstitusi tidak dikenal  doktrin stratifikasi sosial, politik, agama, gender, dan kultur. Konstitusi hanya menggariskan, bahwa siapapun, tanpa kecuali, wapres atau bukan, adalah subyek egaiter dalam ranah  yuridis.

”Kerusakan umat (bangsa) terdahulu adalah akibat ketika yang bersalah itu orang besar (berduit dan berkuasa), ia dilepaskan dari sanksi hukuman, sedangkan ketika yang bersalah itu orang miskin, ia dengan gampang dikenai sanksi hukuman, andaikan puteriku Fatimah mencuri, maka akan kupotong tangannya”, demikian sabda Nabi Muhammad SAW, saat ada segolongan orang bermaksud memintakan dispensasi hukuman pada seorang pencuri dari kalangan elitis terpandang.

Sabda itu menunjukkan, bahwa rusak tidaknya suatu bangsa adalah berelasi dengan kondisi penerapan hukumnya. Ketika praktik hukumnya diskriminatif, mengistimewakan yang berkuasa, bermodal, atau kelompok berpengaruh, sementara kelompok akar rumput menjadi obyek utama penerapannya, maka bangsa itu akan rusak dan semakin terperosok menuju kehancuran.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Secara moral, itu suatu tuntutan supaya politik tebang pilih tidak diberlakukan dalam manajemen penanganan perkara. Prinsip ”tanpa pandang bulu” merupakan jalan membumikan keadilan yang memanusiakan dan progresif. Keadilan wajib menjadi milik semua etnis, golongan, atau klas sosial apapun. Keadilan ini bisa terwujud dengan jalan tiadanya perbedaan dalam memperlakukan orang yang sedang berperkara.

Fenomena memprihatinkan di tengah masyarakat negeri ini adalah tentang banyaknya orang kecil yang diduga bersalah melakukan tindak kejahatan, yang penyidikan dan persidagangannya sangat cepat dan terbuka untuk umum, namun tidak sedikit kasus yang melibatkan orang besar (berpangkat dan berduit banyak) yang proses investigasi dan persidangannya berjalan lambat hingga mencapai tataran kasus tidak jelas arahnya.

Kita juga diingatkan oleh Artikel 6 UDHR (Universal Declaration of Human Rights),  bahwa dimana pun, semua orang berhak untuk mendapat pengakuan sebagai seseorang di depan hukum (recognition everywhere as a person before the law), atau siapapun yang diduga bersalah, wajib diperlakukan secara egaliter. 

Dalam Artikel 10 UDHR juga ditegaskan, bahwa semua orang berhak, dalam kedudukan yang sama, untuk menuntut agar urusannya bisa diperiksa secara adil dan secara terbuka oleh pengadilan yang bebas dan imparsial (tidak memihak) untuk menentukan hak dan kewajibannya, atau memeriksa semua dakwaan pelanggaran kriminal (any criminal charge) yang ditujukan kepadanya.

“Semakin banyak hal yang kau lakukan, semakin banyak lagi yang dapat kau lakukan”, demikian kata  Lycilla Ball, yang  menunjukkan, bahwa dalam hidup ini, seharusnya setiap orang berusaha terus menerus melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidupnya, meski terkadang ada saja hambatan atau tantangan yang membuat idealisme ini tidak bisa tercapai secara maksimal, atau bahkan   gagal.  Sesuatu yang terbaik ini diantaranya menjaga kehormatan negara hukum, bukan membunuhnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Berbuat yang terbaik untuk negara hukum seperti memeriksa kasus Century sampai akar-akarnya merupakan bagian dari pembuktian dari pilar penegak hukum yang bertitel pembaharu seperti KPK. KPK tidak boleh mengabaikan perintah konstitusi. Pengabaian terhadapnya identik memosisikan konstitusi sebagai ”grundnorm” yang mengidap kevakuman, yang karena kevakumannya ini sehingga macan kertas semata.

Idealnya, ketika berkenaan dengan dengan kewajiban, setiap aparat penegak hukum maupun penyelenggara kekuasaan harus merasa dituntut untuk menegakkan norma-norma, baik norma susila, budaya, hukum,  maupun agama, apalagi suatu institusi yang diangkat khusus oleh negara (seperti KPK). Di dalam norma ini, seseorang terikat untuk taat, konsisten, atau teguh dalam prinsip-prinsip yang mengarahkan pada nilai-nilai yang mengantarkan pada bangunan keagungan dan keadaban hidup. Bangunan ini salah satu fondasinya terletak pada pembumian prinsip egalitarianisme.

Pakar hukum Suwandi mengingatkan, adil tidaknya sesuatu  akan tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain.

Adil di mata aparat, belum tentu adil seperti dirasakan rakyat. Meski negara merasa sudah memberi dan membagikan keadilan, namun karena rakyat atau pencari keadilan tidak merasakanya, maka keadilan yang bersumber dari negara ini tetap menjadi keadilan semu.

Al-kisah filosof kenamaan Socrates pernah ditahan oleh aparat polisi karena didakwa melakukan suatu tindak kejahatan.  Aparat tidak menerima alasan atau bukti-bukti yang menunjukkan kalau Socrates tidak bersalah. Creto, sang pengusaha yang pernah menjadi murid Socrates ini kasihan melihat gurunya ditahan seperti kriminal-kriminal pada umumnya. Creto menganggap ini perlakuan tidak adil. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dengan maksud membebaskan sang guru, Creto hendak menyuap petugas penjara yang menahan gurunya itu, tetapi di luar dugaan, Sokrates menolaknya sambil berujar “keadilan memang harus ditegakkan, tetapi keadilan harus berlaku pula untuk semua (justice for all)  atau yang lainnya. Mereka yang ditahan ini bukan tidak mungkin juga seperti aku, yang belum tentu bersalah, di samping cara (menyuap)  demikian akan membuka peluang bagi masyarakat di kemudian hari untuk menempuh cara yang sama, yakni menegakkan keadilan dengan cara-cara  kejahatan”.

Idealitas Socrates itu sejalan dengan apa yang dituangkan dalam konstitusi kita (UUD 1945) yang menganut prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan dan pertanggungjawaban di depan hukum, yang maknanya setiap orang dituntut, diperlakukan, dan dikontrol dengan mekanisme kesederajatan dan pertanggungjawaban, tanpa membedakan, atau mendiskriminasikan diantara lainnya. Siapa saja yang menyelingkuhi prinsip ini, maka ia ibarat menghancur leburkan identitas keindonesiaan  yang berbasis hukum bernafaskan keadaban, yang substansi keadaban ini sejiwa dengan kesederajatan.

Kondisi inilah yang membuat masa depan dunia peradilan di negara ini layak digolongkan masih berada di simpang jalan atau ditempatkan sebagai subyek yang mengalinasikan dan menyakiti keadilan dan menyakiti, meski diperkuat dengan lembaga sehebat KPK, pasalnya jika lembaga istimewa yang didaulat menjadi corong keadilan ini, misalnya masih menjatuhkan opsi pada penyelamatan pada kepentingan ekslufisme dan strukturalisme, seideal apapun prinsip konstitusi dirumuskan, tetap berhadapan dengan kesulitan memberi yang terbaik dan sebenarnya pada negara hukum ini.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) dan penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES