Wisata

Menengok Sejarah Candi Arimbi di Jombang

Minggu, 24 Januari 2021 - 22:48 | 409.83k
Candi Arimbi yang terletak di Jalan Rimbi, Dusun Pulosari, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. (Foto : Rohmadi/TIMES Indonesia)
Candi Arimbi yang terletak di Jalan Rimbi, Dusun Pulosari, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. (Foto : Rohmadi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Kabupaten Jombang yang secara geografis terletak berdampingan dengan Mojokerto maka tak heran jika banyak juga peninggalan sejarah kerajaan Majapahit yang terletak di Kabupaten Jombang. Salah satu peninggalan sejarah Majapahit yang masih utuh dan terjaga sampai saat ini yaitu berupa Candi Arimbi yang terletak di Jalan Rimbi, Dusun Pulosari, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang.

Candi Arimbi merupakan bangunan cagar budaya dari Jombang yang kondisinya paling baik dan tidak terkubur di dalam tanah. Kebanyakan, candi-candi di Jombang ditemukan dalam kondisi terkubur atau bahkan belum ditemukan kembali.

"Lokasinya yang ada di dataran tinggi, jadi cukup mengamankan tubuhnya dari terjangan bencana yang biasanya mengubur benda purbakala di dalam tanah," ungkap Widji, salah satu pengelola Candi Arimbi kepada TIMES Indonesia, Minggu (24/1/2021).

Lokasinya yang berada di jalur menuju Wonosalam dan berada di dataran tinggi lereng Gunung Gede Anjasmoro menjadikan Candi Arimbi sering dikira bagian dari Wonosalam. Maka tak heran jika pelancong yang mengunjungi Wonosalam dari jalur utama biasanya menjadikan Candi Arimbi sebagai salah satu tambahan wisata ketika melintasi kawasan ini.

Candi Arimbi

Bangunan Candi Arimbi juga merupakan peninggalan kerajaan Majapahit terbesar yang ditemukan di Jombang. Tercatat bangunan ini memiliki besar 896,56 m2, dengan panjang candi seukuran 13,24 m dan lebar 9,1 m. Bangunan candi menjulang setinggi 12 meter.

"Mungkin, Jika Candi Arimbi masih utuh, diperkirakan tingginya jelas melampaui ukurannya yang sekarang. Kompleks Candi Arimbi bisa jadi bukan sebuah candi tunggal, tetapi terdapat bangunan lain di sekitarnya. Sayangnya, kini hanya bangunan utama yang tersisa itupun badannya cuma tersisa sebagian," jelas lekaki yang juga sebagai Sekretaris Desa Pulosari ini.

Candi Rimbi, demikian cara warga setempat menyebutnya. Dikatakan, nama itu berasal dari toponim Desa Ngrimbi dimana Candi Rimbi berada. Memang, sekarang lokasi Candi Rimbi ada di Desa Pulosari, tetangga Desa Ngrimbi. Bisa jadi pada saat ditemukan dulu, Candi Rimbi masih berada dalam lingkup Desa Ngrimbi. Sedangkan batas wilayah zaman Belanda dan masa sekarang sudah berbeda sehingga kini masuk Desa Pulosari. Namun demikian, nama yang tersemat pada Candi Rimbi masih dipertahankan.

Sebutan Rimbi di Desa Ngrimbi berasal dari sosok wanita legendaris dari cerita rakyat setempat yaitu Dewi Arimbi. Dewi Arimbi adalah raksasa cantik yang merupakan istri Bima salah satu dari pandawa lima, ibunda Gatotkaca. Nama Rimbi juga dikaitkan dengan dua makam misterius yang bersebelahan, dekat sungai tak jauh dari Candi Arimbi.

Dari cerita warga setempat, makam itu diduga merupakan pesarean Prabu Arimba dan adiknya Dewi Arimbi yang menjadi legenda kawasan ini. Meski belum ada bukti ilmiah apapun tentang sosok tersebut, agaknya detail ini bisa jadi tambahan informasi mengenai asal muasal lokasi dan cerita budaya setempat.

Candi sendiri, berasal dari kata candikagra yang berarti candika, sebutan untuk Dewi Durga atau Dewi Maut / Dewi Kematian. Dari sebutan candi ini, tampak jelas bahwa bangunan candi punya keterkaitan dengan kematian. Candi biasanya didirikan untuk tempat pendermaan, tempat pemujaan khususnya para raja yang berasal dari kalangan terkemuka. Candi cantik ini diperkirakan dari era Kerajaan Majapahit sebagai bangunan pemujaan sekaligus sebagai pendermaan Dyah Gitarja atau Ratu Tribhuana Tunggadewi.

Candi Arimbi a

Pembangunan Candi Arimbi jelas tidak dilakukan secara sembarangan. Panduan pembuatan dan pemilihan lokasi candi berikut berbagai pertimbangan matang. Perhitungan yang presisi pastinya menjadi alasan dipilihnya lokasi dimana candi berdiri saat ini. Syarat utama haruslah berupa lahan yang subur dan memiliki cadangan air yang melimpah. Bukan lahan gersang yang minim mata air di sekitarnya.

Dikatakan, candi pastinya dibangun berdasarkan pemilihan lokasi terbaik, salah satunya berdasarkan jenis tanah, warnanya, baunya, kelandaian medan, kandungan tanah, termasuk kandungan air di dalamnya melalui berbagai pengujian mengenai hal-hal terkait. Tak heran memang dataran sekitar Candi Rimbi memang dikenal subur dan tak jauh dari lokasi juga terdapat sendang yang kadar ph airnya cukup tinggi. Sangat mungkin sendang tersebut digunakan untuk sarana air suci prosesi peribadatan yang dilakukan di Candi Rimbi kala masih difungsikan.

Kebanyakan candi berada di lereng gunung hutan atau puncak bukit, karena mengikuti konsep meru, dimana arwah sosok yang dicandikan bisa bergabung dengan para dewa di puncak gunung. Selain itu, pemilihan lokasi juga bisa jadi dari permintaan sosok yang dicandikan. Mirip dengan wasiat pemakaman di masa kini. Namun, belum ada bukti ilmiah apapun mengenai ini, karena tak ada catatan apapun mengenai Candi Arimbi.

Candi Rimbi pertama kali ‘ditemukan’ dan dipublikasikan oleh Alfred Russel Wallace yang sedang berkunjung ke Wonosalam untuk mengambil spesimen burung merak dan hewan-hewan endemik dari Gunung Anjasmoro. Dalam catatan kunjungannya ke sebuah tempat yang disebutkan sebagai ‘Wonosalem’, Ilmuwan Inggris itu tak sengaja menemukan bangunan kuno klasik yang diselimuti semak belukar di permukaannya berikut beberapa arca yang ditemukan bersama dengan reruntuhannya.

Mungkin candi Rimbi dulu masih termasuk bagian dari Wonosalam. Kala pencatatan itu, Jombang bahkan masih menjadi bagian dari Mojokerto. Jadi lokasi Wonosalem yang disebutkan sangat mungkin merupakan Desa Pulosari, Bareng di masa kini.

Dalam catatan perjalanannya, Om Wallace bahkan salah sebut Gunung Anjasmoro dengan mencatatnya sebagai Gunung Arjuno. Bisa jadi Sang Ilmuwan ini memang salah sebut atau salah informasi karena nama kedua gunung yang mirip karena sama-sama diawali huruf a, dan diakhiri huruf o, dengan ada getaran r di tengahnya.

Candi Arimbi 1

Candi rimbi bagian kanannya sudah runtuh sepenuhnya, menyisakan sisi kiri bangunan yang ada di sebelah utara. Puing-puing candi ditemukan berserakan di sekitar bangunan utama. Tak terawat dan terbengkalai, ditumbuhi tanaman-tanaman liar di sekujur tubuhnya. Potret kondisi Candi Arimbi di masa kolonial bisa dilihat dari foto-foto Kern Institute yang kini juga bisa diakses secara online.

Diperkirakan bangunan Candi Rimbi dulunya berbentuk ramping menjulang khas candi bercorak hindu Jawa Timuran. Tubuh bangunan candi di Jawa Timur umumnya berpostur ramping dengan atap bertingkat yang makin ke atas makin mengecil.

Bangunan candi yang dibangun secara vertikal sebenarnya menggambarkan konsep Meru. Apabila gunung Meru memiliki konsep kaki, badan, dan puncak, maka candi juga mengacu pada hal yang sama. Kaki candi merupakan penggambaran kaki gunung, badan candi seperti bentuk lereng gunung, sedangkan puncaknya adalah titik tertinggi yang menjadi puncak sebuah gunung.

Bagian badannya berdiri tegak hanya separuh bagiannya. Bangunan candi seperti teriris secara vertikal sehingga pengunjung bisa berdiri bidang datar di bagian selatan candi. Bila dibuat potret refleksi cermin tubuh bagian utara untuk bagian selatan berupa Candi Rimbi dalam mimpi, candi ini akan terlihat menjulang tinggi ke atas seperti konsep meru. Dari gambar mimpi restorasi itu, terlihat Candi Arimbi memang berbentuk ramping khas candi-candi hindu pada umumnya.

Kebanyakan candi terdiri atas tiga bagian yang disebut Triloka, yaitu kaki candi, badan candi dan atap candi. Konsep ini merupakan penggambaran dari alam semesta. Atap candi sendiri menggambarkan alam atas atau Shuahloka/Swarloka/Arupadatu yang merupakan tempat para dewa bersemayam. Bagian atap ini biasanya berhiaskan puncak candi yang disebut ratna. Sedangkan atap candi rimbi sudah runtuh seluruhnya, sehingga sudah tidak bisa diperkirakan lagi bentuknya.

Berhubung bagian atap candi sudah tak bisa diketahui lagi bentuknya, jadi tak bisa diperkirakan lagi ratnanya. Uniknya, Candi Rimbi ini pernah dikatakan sebagai candi yang paling membingungkan bagian atapnya oleh para ahli sejarah. Selain karena sudah hilang, juga beredar berbagai spekulasi tentangnya.

Candi Arimbi 2

Diantaranya adalah bentuk atap candi yang terbuat dari kayu mirip dengan tampilan Menara Kudus. Dugaan ini muncul kala ditemukannya umpak-umpak yang diperkirakan untuk atap pilar candi di sekitar lokasi. Jika tiangnya dari kayu, pastinya kini bagian pilarnya jelas sudah lapuk. Namun adanya batu mirip tiang yang ditemukan di lokasi tampaknya membuat spekulasi berkembang makin rumit.

Meski masih bisa dikatakan berdiri tegak sebelah, hanya bagian kakinya yang tampak masih utuh. Kaki candi merupakan penggambaran alam bawah atau Bhurloka/Kamadatu yaitu alam dunia manusia yang dikuasai oleh hal-hal keduniawian. Kaki candi terdiri atas tiga teras yang dihubungkan oleh sebuah tangga yang menjadi pintu masuk menuju bilik.

Kaki candi Rimbi terlihat punya dua susunan, terbagi dalam dua susunan yang dibatasi pelipit yang menonjol keluar. Bagian kaki yang terletak di atas pelipit agak menjorok ke dalam, sehingga ukurannya jadi lebih kecil dibandingkan bagian kaki yang ada di bawah. Di bagian yang menjorok inilah, terukir relief-relief candi yang kondisinya masih bisa dibilang baik. Sedangkan antara kaki dan bagian tubuh candi yang tersisa juga dibatasi oleh pelipit dengan hiasan kucur candi yang menonjol keluar di setiap sudutnya.

Tubuh candi menggambarkan alam antara, yaitu Bhuwarloka/Rupadatu yaitu alam dunia manusia yang sudah tak terikat lagi dengan hal-hal duniawi. Karena tubuh candi lebih kecil dibandingkan kakinya, candi rimbi jadi terlihat memiliki selasar yang mengelilinginya.

Sebuah selasar terdapat di masing-masing teras untuk membaca relief. Namun karena separuh bagiannya sudah runtuh termasuk bagian atap dan tubuh candi bagian selatan, sehingga tangga yang sejatinya digunakan untuk menuju selasar juga runtuh. Jadi, hanya selasar bagian utara saja yang bisa terlihat dari bawah.

Pada kaki bagian atas maupun dinding luar tubuh candi tidak tampak adanya pahatan. Sedangkan di sekeliling kaki bagian bawah yang agak menjorok ke dalam tepat di bawah pelipit itu terdapat panel-panel yang terpahat di dinding candi. Panel-panel itu menggambarkan ajaran tantrayana dan ragam hias bergambar binatang dan tumbuhan.

Candi Arimbi 3

Relief dipahat dengan teknik datar (wayang style) dan bisa dikatakan masih utuh. Obyek digambarkan tampak samping dengan dan biasanya mengambil tokoh atau kisah cerita wayang. Jajaran relief tampak mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat kala itu.

Pengerjaannya sangat indah dan halus, sehingga masih bisa diamati dengan jelas hingga kini. Memang, relief candi di Jawa Timur biasanya menggunakan teknik pahatan yang dangkal atau tipis, namun bergaya simbolis. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya yaitu berlawanan arah jarum jam dimulai dari sisi utara.

Bisa jadi saat candi masih difungsikan sebagai pemujaan, dilakukan prosesi sirkumabulasi. Terdapat tepi pradhaksinapatha yaitu kaki bangunan candi yang berupa teras atau lorong untuk tempat mengelilingi candi sebelum memasuki bilik utama yang disebut garbhagrha sebagai tempat arca perwujudan berada. Candi Rimbi memiliki profil pelipit dan sisi genta. Profil ini merupakan ciri khas candi-candi Jawa Timuran akhir dari era Singasari dan Majapahit.

Dari sini bisa diamati bahwa desain bagian relief candi rimbi sengaja dipahat di bagian kaki bawah untuk menyesuaikan tinggi badan peziarah yang hadir dalam ritual. Selain itu, relief ditempatkan sekeliling candi supaya dalam prosesi sirkumabulasi, peribadatan dilakukan dengan mengelilingi candi sembari membaca relief dan doa-doa tertentu.

Mirip dengan prosesi thawaf yang dilakukan dalam ibadah haji dan umroh yang mengelilingi obyek yang disakralkan sambil melafalkan doa yang dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa. Ritual sirkumabulasi sangat mungkin dilakukan kala itu dengan mengelilingi candi sebagai obyek yang disakralkan sambil memanjatkan doa.

Kedua jenis dinding polos dan berpahat dalam tampilan candi rimbi ini disimpulkan oleh Asmara Garudhara sebagai relif bercorak toleransi yang menggambarkan perpaduan antara candi hindu yang punya unsur budha juga di dalamnya. Sesuai dengan corak Majapahit yang memang bercorak hindu-budha yang memang menjunjung toleransi antar umat beragama.

Candi Arimbi 4

Reruntuhan candi masih tersisa dan ditata berjajar di sekeliling kompleks candi. Diantara reruntuhan itu, ada tiga buah bongkahan besar yang sangat menarik. Satu bongkahan besar tampaknya adalah kala, yang merupakan hiasan pintu masuk candi.

Sedangkan dua bongkahan lainnya bergambar motif tumpal sulur bunga yang kemudian menginspirasi pembuatan batik khas Jombang. Batu bermotif tumpal ada dua dan diletakkan di samping kala. Mungkin dulunya adalah bagian dari pipi tangga, dimana corak sulur tanaman ini merupakan lekuk khas Majapahitan ini mengindikasikan Candi Arimbi dibuat di era Wilwatikta.

Uniknya, motif ini juga banyak ditemukan di candi-candi dan Majapahit lainnya, termasuk yang terdekat yaitu di cerat Yoni Gambar. Meski tak sama persis, namun motif tumpal keduanya cukup identik. Bentuknya sekilas menyerupai seperti rahim atau tuba falopi sebagai lambang kesuburan. Motif batik itu pun dinamai Batik Tribuana sesuai perlambang ratu majapahit yang didermakan di Candi Arimbi.

Relief Candi Arimbi bisa dibilang istimewa karena salah satunya memuat gambar matahari yang menjadi cikal bakal lambang surya majapahit. Relief yang mengelilingi candi ini kebanyakan menggambarkan keseharian kehidupan manusia, berikut interaksinya dengan hewan, tumbuhan dan alam. Di bagian akhir relief sisi selatan, tampak beberapa kali muncul wujud cupu manik, yang dibaca oleh Asmara Garudhara.

Belum diketahui kisah pasti dari relief Candi Arimbi secara lengkap. Namun diperkirakan, relief candi rimbi berupa potongan-potongan peristiwa berupa kegiatan religi dari ajaran tantri di masa itu, dan kehidupan keseharian manusia dalam lingkungannya. Bila dilihat secara global, relief ini kebanyakan menggambarkan kemakmuran masyarakat kala itu.

Setiap relief cerita dipisahkan oleh satu panel gambar hewan yang sampai sekarang belum bisa diidentifikasi. Panel ini berbentuk persegi panjang, mirip dengan konsep medallion namun berbingkai kotak. Panel di Candi Arimbi serupa dengan yang ada di Candi Sanggrahan, hanya yang membedakannya adalah gambar hewan yang tergurat dalam reliefnya.

Candi-Arimbi-c.jpgFoto: pulosari-jombang.web.id

Bila Candi Sanggrahan bergambar singa, panel dalam Candi Arimbi bergambar makhluk mitologi yang sampai sekarang masih diperdebatkan spesies pastinya. Beberapa ada yang menyatakan anjing, kambing namun mirip juga dengan kelinci atau hewan lain. Kisah penduduk setempat mengaitkan bentuk ini dengan legenda Gua Ngesong sebagai Asu Kekek, atau Anjing Kekek yang dulunya kerap mengganggu penduduk setempat.

Bila diruntut dari legenda Asu Kekek dari penduduk setempat, Asmara Garudhara punya kecurigaan tersendiri. Pecinta sejarah dan ikonografi itu menduga adanya sosok yang mungkin menjadi pengganggu penduduk setempat yang mungkin disimbolkan dalam gambar hewan mitologi tersebut.

Dalam dunia ikonografi dan pembacaan makna, anjing dapat diartikan sebagai sosok wanita tua. Ini disebabkan dalam ilmu simbol anjing merupakan hewan yang dianalogikan sebagai wanita tua atau nenek-nenek. Sangat mungkin nenek tersebut ada kaitannya dengan sosok terkait candi arimbi atau malah tentang Dewi Arimbi maupun sosok lain yang kemudian menjadi legenda setempat.

Dalam pengamatan Jombang City Guide, sepertinya hewan ini adalah salah satu hewan mitologi yang disebut qilin, dan Asmara Garudhara juga cukup setuju dengan dugaan tersebut. Hewan ini banyak ditemukan dalam literatur negeri tirai bambu yang menggambarkannya sebagai semangat sekaligus keagungan. Menariknya, dalam panel Candi Arimbi, sosok qilin digambarkan dalam bermacam sisi, kadang menghadap kanan sedangkan lainnya menghadap ke kiri.

Uniknya, relief qilin ini digambarkan dalam berbagai pose yang berbeda. Seperti seekor hewan yang bergerak riang layaknya pembuatan film kartun yang perlu banyak gambar untuk satu gerakan. Namun anggapan ini masih belum pasti, dimana bisa jadi sosok hewan yang disebut qilin oleh Jombang City Guide ini bisa jadi hanya merupakan ragam hias atau mungkin penggambaran simbol lain yang masih belum terkuak.

Meski atapnya sudah runtuh dan sulit diperkirakan lagi bentuknya, namun relung bagian utara Candi Arimbi masih tersisa. Relung sendiri merupakan pintu semu pada ketiga sisi candi, tempat diletakkannya arca-arca penjelmaan dewa tertinggi. Tampak relung yang tersisa tidak memiliki hiasan maupun relief apapun di sampingnya.

Relief Candi ArimbiFOTO: direktoriwisatajombang

Biasanya untuk candi pemakaman ada tiga relung candi yaitu sisi utara dan selatan, serta satu lagi sisi timur. Sisi barat yang biasanya tanpa relung namun berhiaskan kala untuk pintu masuk menuju bilik utama candi. ‘Arca’ Kala yang menghiasi atap pintu bilik utama candi memang masih tersisa satu di lokasi, sedangkan lainnya entah berada dimana.

Diperkirakan, salah satunya sudah menjadi penghias dam di Selumbung, Mojowarno kala era kolonial Belanda. Dilihat dari bentuk dan ukurannya yang sama persis, dugaan wajah Kala yang tertancap di bangunan dam itu menguat. Bila memang ada lala lainnya, sayangnya masih belum diketahui keberadaannya.

Bisa juga kala berada di empat sisi di atas tiap pintu dan relung, tergantung citarasa seni dan desain seniman pembuat candinya. Namun dilihat dari relung sebelah utara yang tersisa: Polos tanpa berhiaskan relief atau kala. Sangat mungkin hiasannya kalanya hanya ada dua di sisi barat dan timur, atau bahkan hanya satu di sisi barat. Sedangkan kala di dam selumbung bisa jadi merupakan kala dari candi lainnya.

Hiasan kala memiliki fungsi sebagai penjaga candi, untuk menakut-nakuti dan mengusir roh jahat yang akan mengganggu siapapun yang beribadah dalam candi. Kala adalah sosok asura yang ditundukkan oleh Dewa Syiwa, kemudian ditugaskan untuk menjaga kuil-kuil dengan tinggal di ambang pintu. Jadi siapapun yang masuk ke dalam kuil pastinya harus melalui kala, dengan memberi penghormatan kepadanya.

Relief Candi Arimbi aFOTO: direktoriwisatajombang

Filosofinya digunakan untuk menolak bala’ atau segala macam hambatan termasuk energi negatif yang bisa mengancam kelangsungan dan kelancaran upacara yang diselenggarakan di dalam candi.

Karena itulah, sosok kala digambarkan sebagai monster dengan mimik bengis dan menyeringai, yang mendukung tampilannya sebagai candi pemakaman. Kala jawa timur kerap disebut pula dengan banaspati yang digambarkan dengan sosok mata melotot, mengingatkan kita pada tari barong dan reog ponorogo. Memang, kebanyakan kala jawa timuran memiliki mimik bengis, berbeda dengan tampilan kala jawa tegah yang kebanyakan digambarkan dalam bentuk tenang dan sabar. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES