Kopi TIMES

Kuasa Kekerabatan dalam Pilkada 2020

Kamis, 21 Januari 2021 - 17:24 | 74.32k
Andang Masnur, Komisioner KPU Kab Konawe yang membidangi divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM.
Andang Masnur, Komisioner KPU Kab Konawe yang membidangi divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM.

TIMESINDONESIA, SULAWESI – Pilkada 2020 telah usai digelar, secara normatif semua berjalan aman, lancar dan kondusif. Sampai saat ini dari 270 daerah yang menggelar Pilkada sebagian sebentar lagi akan melakukan pleno penetapan pemenang Pilkada. Sedangkan sebagian lagi masih berproses di Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil yang digugat oleh para pemohon. 

Sejak kita menggelar Pilkada secara langsung pertama kali pada Juni tahun 2005, perkembangan demokrasi di Indonesia begitu dinamis. Masyarakat semakin hari semakin dewasa dalam menentukan pilihan dan sadar akan pentingnya menyalurkan hak pilih. Meski digelar dalam kondisi pandemi covid 19, angka partisipasi pemilih di beberapa daerah mencapai target nasional yakni 77.5%. Tercatat 5 daerah yang mencapai angka partisipasi tertinggi se Indonesia adalah Pegunungan Arfak 99,5%, Mongondow Timur 95,94%, Mongondow Selatan 94,54, Raja Ampat 93,67% dan Dompu 93,53%.

Dari cerita panjang hajatan Pilkada 2020 ini saya mencoba membuat catatan dari salah satu fenomena yang terjadi yakni hadirnya beberapa calon kepala daerah yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat baik ditingkat pusat maupun daerah. Begitu banyaknya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat negara maupun daerah membuat beberapa kalangan menilai bahwa politik dinasti tumbuh subur dalam dunia demokrasi kita dewasa ini.

Politik Dinasti dan Oligarki Politik

Pada konteks bahasa dinasti kita kenal sebagai sebuah istilah dalam praktik politik zaman kerajaan. Kekuasaan akan turun temurun kepada keluarga ahli waris yang berhak melanjutkan tahta kekuasaan jika yang memangku jabatan tersebut telah mangkat atau tidak dapat lagi melanjutkan kekuasaannya. Dinasti politik dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan agar tidak jatuh kepada orang lain melainkan masih dalam lingkungan keluarga terdekat.

Praktik politik seperti ini telah ada sejak zaman kerajaan kuno baik di Indonesia itu sendiri maupun kerajaan lainnya di dunia. Seolah mengadopsi apa yang telah terjadi selama ini, maka dinasti politik juga berintegrasi dalam sistem perpolitikan kekinian. Jika cara kuno atau tradisional peralihan kekuasaan adalah dengan sistem penujukan kepada sang ahli waris kekuasaan maka dalam konteks kekinian peralihan kekuasaan dipraktikkan secara prosedural.

Sedangkan oligarki disebutkan adalah bentuk pemerintahan yang kekukasaannya dijalankan atau dipegang oleh suatu kelompok, baik kelompok keluarga maupun kelompok kelompok lainnya. Tumbuhnya oligarki kekuasaan bukan hanya terjadi saat ini. Menurut Vedi R Hadiz bahwa oligarki telah tumbuh pesat sejak zaman orde baru hingga setelah reformasi. Hanya saja yang membedakannya jika di zaman orde baru oligarki dipraktekkan hanya oleh penguasa, lain halnya dengan oligarki pasca reformasi yang mulai menyebar hingga ke daerah. Hal ini tentunya didorong oleh pola pemerintahan desentralilasi. 

Dinasti dan Konstitusi

Jika melihat sejumlah calon yang berasal dari kalangan keluarga pejabat maka tentu isu politik dinasti akan menjadi topik pembicaraan. Kolom-kolom diskusi menjelang Pilkada kemarin tidak sedikit yang membicarakan hal ini. Di beberapa daerah ada yang kepala daerahnya telah mencapai periode maksimal atau periode kedua dan tidak dapat lagi mencalonkan lalu kemudian digantikan oleh istrinya. Setidaknya ada enam daerah yang istri-istri bupati/wali kota memenangi kompetisi dan kemungkinan akan melanjutkan kekuasaan suami mereka. Misalnya Bupati Sleman, Sri Purnomo yang akan digantikan oleh istrinya Kustini. Bagitu juga yang terjadi di Banyuwangi, Sukoharjo, Pasangkayu dan Indragiri Hulu. Ada juga bupati yang nantinya akan digantikan oleh anaknya seperti yang terjadi di Tuban. Aditya Halindra merupakan anak dari Bupati dua periode Haeny Relawati yang berhasil ungul dari 2 pesaingnya di Pilkada kemarin.

Tetapi apakah hal tersebut menyalahi konstitusi demokrasi kita? Jawabannya tentu tidak. Sebab setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XII/2015 tentang pengujian Pasal 7 huruf r UU nomor 8 tahun 2015 maka keluarga dan kerabat dibolehkan untuk maju mencalonkan sebagai calon Kepala Daerah. Padahal dalam pasal tersebut dengan tegas berbunyi “warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Pada penjelasan UU, konflik kepentingan dengan petahana yang dimaksudkan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. 

MK berdalih bahwa pasal tersebut bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Andai saja pasal tersebut tidak diujikan dan masih berlaku dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentu saja kita akan mendapati fenomena yang lain dalam gelaran Pilkada tahun 2018 dan 2020 yang lalu. Tentu sanak family yang masih ada hubungan keluarga dengan kepala daerah incumbent tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. 

Peralihan kekuasaan dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan ini yang disebutkan sebagai praktik dinasti dengan cara prosedural. Fasilitas yang melekat secara alamiah pada diri calon yang berasal dari keluarga petahana dimungkinkan menjadikannya mampu dengan mudah mengungguli rivalnya pada setiap gelaran pemilihan. Sebagian kalangan menilai bahwa praktek politik dinasti ini mengkhawatirkan bagi demokrasi kita. Sebab orientasinya adalah bagaimana mempertahankan kekuasan tersebut dikalangan keluarga tertentu.

Perbaikan tatanan demokrasi kita menuju ke arah yang lebih baik sangat kita harapkan. Sehingga evaluasi terhadap pelaksanaan dari gelaran Pemilu dan Pemilihan yang digelar sangat penting. Jika melihat draf RUU Pemilu yang sedang menjadi pembahasan di DPR, pada buku ketiga Pasal 182 tentang persyaratan pencalonan tidak terdapat hal yang membatasi sanak family dari kepala daerah incumbent untuk maju sebagai calon kepala daerah.

Jika semua masyarakat teredukasi secara baik tentang pendidikan politik maka sebenarnya tidak ada yang perlu kita khawatirkan tentang calon yang berasal dari keluarga kepala daerah atau pejabat negara lainnya. Sebab yang menjadi penentu terpilih tidaknya calon tersebut adalah kembali kepada masyarakat atau wajib pilih. Masyarakat dengan pengetahuan politik yang dimilikinya tentu tidak akan bisa didikte atau diintervensi oleh kekuasaan untuk memilih calon tertentu. Pengawasan baik dari lembaga Bawaslu maupun dari masyarakat secara umum untuk menjamin bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa untuk memenangkan calon tertentu. Segala bentuk fasilitas yang melekat secara alamiah terhadap kepala daerah incumbent maupun pejabat negara lainnya tidak akan bisa mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan.

Pada akhirnya pemilihan kepala daerah adalah ajang dalam menentukan siapa yang layak memimpin masyarakat dalam periode selanjutnya. Maka menciptakan pemilihan yang “fair” bagi semua kontestan untuk memenangkan hati masyarakat agar terpilih adalah tugas kita semua. Setiap calon diberi perlakuan yang sama dalam menggalang dukungan, sedangkan masyarakat diberikan haknya untuk menentukan siapa yang akan dipilihnya. Dengan demikian perbaikan kualitas demokrasi kita bukan hanya tanggung jawab penyelenggara sendiri, melainkan menjadi tanggung jawab kita bersama. Semoga kualitas demokrasi kita selanjutnya semakin baik Ammiiin… 

***

*) Oleh: Andang Masnur, Komisioner KPU Kab Konawe yang membidangi divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES