Kopi TIMES

Bocornya di Atap, Mereka Sibuk Membersihkan Lantai

Kamis, 21 Januari 2021 - 13:34 | 76.69k
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Terhadap bencara yang menimpa umat manusia, salah satunya banjir, ada beberapa tipe orang yang  menanggapinya.  Pertama, mereka cenderung  menyalahkan manusia yang tidak peduli dengan lingkungannya. Misalnya, manusia senang membuang sampah di sembarang tempat. Bukan mereka tak sadar bahwa sampah itu bisa menghambat selokan atau sungai tetapi mereka malas. Alasan lain karena orang lain juga melakukan hal serupa. Jadi seperti “dosa” berjamaah. Tidak apa-apa dilakukan.

Kedua, menerima bencana apa adanya. Bahwa semua itu sudah menjadi keputusan Tuhan. Jika Dia menghendaki, maka semua akan terjadi. Kelompok ini juga percaya bahwa Tuhan nanti juga yang akan memberikan solosi untuk mengatasi banjir. Mereka cenderung pasrah saja dengan keadaan. Bahwa semua kejadian itu juga karena ulah manusia. Karena ulahnya, maka manusia ditimpa musibah. Jadi dinikmati saja musibah itu sambil terus berdoa agar banjir segara surut.

Ketiga, tidak peduli darimana datangnya banjir. Yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana melakukan usaha agar banjir bisa diatasi. Karena banjir itu persoalan kekinian dan saat ini banyak masyarakat yang terpimpa musibah banjir. Tidak usah banyak diskusi tetapi apa yang bisa diperbuat. Kongkrit.

Keempat, mereka yang tidak peduli dengan musibah yang menimpa mereka yang terkena banjir. Yang penting diri dan keluarganya selamat.  Tidak seperti mereka yang terkena bencana. Sudah cukup. Kelompok seperti ini hanya mau melakukan untuk mengatasi banjir jika dirinya terkena banjir. Kalau tidak bukan urusannya. Jika terkena banjir kelompok ini dengan mudahnya menyalahkan orang lain.  Seolah sumber banjir bukan berasal dari dirinya juga. Buru-buru memberikan sumbangan tenaga atau uang.

Pembagian kelompok di atas  tentu tidak harus dipahami secara kaku. Bisa jadi antar satu dengan lainnya saling melengkapi. Bisa juga apa yang ada dalam satu kelompok juga dilakukan pada kelompok lain.

Namun demikian pembagian itu bisa menunjukkan secara kasar bahwa ada banyak tipe orang yang menanggapi sebuah bencana. Tentu sangat tergantung kepentingan, latarbelakang yang bersangkutan dan kecenderungan dirinya. Mereka yang berasal dari pemerintah tentu berbeda pula dengan masyarakat umum dalam menanggapi sebuah bencana. Lebih berbeda lagi bagi mereka yang terkena banjir.

Pembagian tipe  kelompok yang fleksibel. Itu hanya menunjukkan kelompok  tanpa harus membagi atau mengkotak-kotak perbedaan dalam masyarakat. Tak ada niat untuk itu.

Mencari Sumber

Nah, beberapa waktu lalu banjir melanda Kalimantan Selatan. Banjir ini diduga yang terbesar sejak 30-an  tahun terakhir. Menurut sumber dari Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencaba (BNPB) setidaknya ada 10  Kabupaten/Kota yang terdampak banjir di Kalimantan Selatan.

Diantaranya ada di Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kota Banjar Baru, Kota Tanah Laut, Kota Banjarmasin,Kabupaten Hulu Sungai tengah,Kabupaten Balangan,Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Batola.

Yang menarik adalah reaksi dari presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Ia menyebut curah hujan sebagai pemicu banjir. Tentu saja pendapat Jokowi ini ditanggapi banyak orang dengan nada sinis karena pendapat yang kurang berdasar pada substansi penyebab banjir. Kalau sekadar menyalahkan curah hujan semua orang tentu bisa.

Salah satu yang menanggapinya adalah LSM Wahana  Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).  WALHI bahkan mendesak pemeritah untuk mengevaluasi seluruh permberian izin tambang dan perkebunan sawit di provinsi tersebut lantaran dianggap pemicu utama  munculnya banjir. Itu membuat hutan-hutan menjadi gundul.

Kemudian Kementerian LingkunganHidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan pula bahwa terjadi penurunan luas hutan yang mencapai 62,2%.  Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pun menyebut berkurangnya hutan primer dalam 10 tahun terakhir. Data KLHK menyebut penurunan luas hutan terjadi selama periode 1990-2019. Penurunan terbesar pada tahun 1990-2000, yakni sebesar 55,5%. Maka, KLHK mendesak pemerintah daerah mempercepat dan memfokuskan rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penyebab banjir.

Mengapa presiden mengatakan penyebab banjir itu curah hujan? Ya memang curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir. Itu setiap orang akan paham.  Sementara curah hujan itu membawa air. Akhirnya terjadi peningkatan volume air.

Masalahnya apakah pendapat yang menyalahkan curah hujan itu menyelesaikan masalah? Mengapa harus menyalahkan curah hujan? Pertanyaan bisa berlanjut begini; mengapa ada curah hujan? Siapa yang menciptakan hujan? Dan sebagainya.

Misalnya, mengapa pernyataan presiden tidak menukik ke permasalahan sumber penyebab terjadinya banjir? Tentu ada banyak sebab. Tetapi apakah pendapat WALHI dan KLHK serta LAPAN tidak cukup dijadikan dasar? Ini belum termasuk pendapat masyarakat umum. Bahwa salah satu sumber penyebab adalah pembabatan hutan yang tidak terkendali. Pembabatan untuk area pertambangan dan hutan sawit.

Lalu siapa yang mengijinkan  pembababatan hutan itu? Rasio masyarakat mengatakan tak akan izin tanpa ada disetujui pemerintah (bisa daerah atau pusat). Kenapa tidak meneliti dan mengoreksi kebijakan izin pembukaan hutan jika dampaknya akan menyengsarakan masyarakat? Siapa yang paling diuntungakan dengan tambang dan kelapa sawit? Apakah masyarakat secara luas? Tidak bukan?

Di sinilah kita perlu merenung secara mendalam. Bahwa pengusaha yang punya modal dan memengaruhi kebijakan pemerintah mempunyai  andil besar dalam memicu terjadinya banjir. Apakah pemerintah bisa berpikir sampai di sini? Apakah sudah  menutup mata dan lebih senang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pencitraan? Apakah kritik masyarakat bahwa selama ini pemerintah tidak mandiri dan sangat tergantung pada kaum oligarkhi itu hanya mimpi di siang bolong? Dan banyak pertanyaan lain yang bisa dikemukakan.

Kebalik

Sekarang analoginya begini. Bagaimana jika rumah kita bocor? Apa yang harus segera kita lakukan? Apakah kita sibuk untuk membersihkan lantai dengan melupakan bocor di atapnya? Apakah orang yang punya rumah itu sibuk membersihkan lantai sambil menunggu atapnya bocor semakin lebar? Jika begitu tinggal menunggu banyak air di dalam rumah.

Analogi di atas bisa menggambarka perilaku pemerintah kita selama ini dalam menanggapi masalah demi masalah yang muncul. Tidak juga soal banjir, tetapi juga soal pandemi covid-19. Pemerintah cendeerung sibuk membersihkan lantai sementara sumbernya, ia harus menutup atas yang bocor agar air yang masuk ke rumah tidak semakin banyak. Jika atap sudah ditutup, baru membersihkan lantai yang kotor akbat bocor dan bukan sebaliknya.

Mengatakan bahwa penyebab banjir itu curah hujan dengan tidak berusaha mencari penyebab seperti pembabatan hutan yang tak terkendali, sama saja dengan analogi bahwa  lebih penting membersihkan lantai dari pada menutup atap yang bocor.

*) Penulis: Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES