Kopi TIMES

Tahni’ah Doktor Kehormatan Kiai Afifuddin Muhajir

Rabu, 20 Januari 2021 - 20:30 | 60.42k
Robikin Emhas
Robikin Emhas

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Gembira dan bersyukur. Kedalaman keilmuan guru kita KH Afifuddin Muhajir mendapat pengakuan akademik dari Fakultas Syari’ah UIN Walisongo, Semarang. Hari ini, Rabu, 20 Jnuari 2021, Kiai Afif memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam bidang ilmu fiqh dan Ushul Fiqh (teori hukum Islam).

Kiai Afif yang Rais Syuriyah PBNU ini memang pandangan dan ulasan-ulasannya seputar persoalan fiqh kontemporer selama ini dikenal cukup mencerahkan. Tak heran kalau Kiai Afifuddin sekaligus adalah rujukan.

Sebut saja pandangan beliau perihal NKRI dalam pandangan syari’at. “Pancasila dalam hubungannya dengan syari’at berkisar di antara tiga kemungkinan,” demikian Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbodo ini menilai.

Pertama, ia tidak bertentangan dengan syari’at. Karena berdasarkan istiqrā’ tidak ditemukan sama sekali ayat maupun hadis yang bertentangan dengan lima silanya. Kedua, ia sesuai dengan syari’at. Karena berdasarkan istiqrā’ juga ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang selaras dengan kelima silanya. Ketiga, ia adalah syari’at itu sendiri.

Kiai Afif pun memiliki beberapa poin kesimpulan. Pertama, NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah bersifat syar‘i, yakni sesuai dengan syari’at Islam baik dalam nashūsh maupun maqāshid. Kedua, Pancasila bukan penghalang (māni‘) untuk menerapkan aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya. Ketiga, Konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar negara adalah seluruh undang-undang negara tidak boleh bertentangan dengan salah satu dari sila Pancasila. Keempat, Republik Indonesia adalah negara kesepakatan yang berdiri di atas asas yang mendapatkan kesepakatan.

Kebernasan Kiai Afif antara lain dapat dilihat jejaknya saat beliau harus menjelaskan ulang maksud dari penyebutan non muslim di Indonesia, menyusul berbagai reaksi dan tanggapan atas hasil Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Banjar, Jawa Barat, tahun 2019 lalu. 

Kiai Afif yang notabene merupakan salah seorang perumus bahtsul masail dengan kalem, sabar, namun sistematik, menjelaskan kembali duduk perkara tema itu. Melalui sebuah video singkat beliau memulai keterangannya dengan menjelaskan asal-muasal kesalahpahaman yang memicu perdebatan di publik.

"Perlu diketahui bahwa bahstul masa’il Munas itu tidak membahas tentang apakah non-muslim yang ada di Indonesia ini kafir apa bukan. Akan tetapi yang dibahas adalah kategori apakah mereka itu harbi, apa mu’ahad, apa musta'man, apakah dzimmi," urai Kiai Afif, yang lagi-lagi begitu rapi dan auto mencerahkan. 

Uraian Kiai Afif saat itu kurang lebih menegaskan bahwa hasil bahtsul masa’il menyimpulkan: kategori mereka itu bukan harbi, bukan mu’ahad, bukan musta'man, bukan pula dzimmi. Hal itu karena memang definisi-definisi tersebut tidak bisa diterapkan kepada non-muslim yang ada di Indonesia. 

“Karena itulah istilah yang lebih tepat, katakan saja mereka itu non-muslim," ujarnya.

Kiai Afif yang kalem dan berpenampilan sederhana ini layaknya umumnya Kiai NU, senantiasa menghadirkan dirinya dalam ekspresi Islam yang ramah, santun, dan meneduhkan. Meski kealimannya masyhur dari kalangan pesantren hingga perguruan tinggi, kesehariannya nyaris tanpa embel-embel “protokol” layaknya tokoh publik. 

Selamat Kiai. Teriring do’a dari kami para santri, semoga kiai senantiasa sehat, panjang umur, dan terus menjadi obor bagi kehidupan. Terima kasih UIN Walisongo Semarang. Penganugerahan dan penghargaan akademik kepada kiai yang suluh dan faqih sekelas Kiai Afif merupakan langkah cermat dan tepat. UIN Walisongo cukup jeli dalam mencermati keilmuan dan kepakaran beliau. Semoga menginspirasi bagi generasi ulama berikutnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES