Peristiwa Nasional

Perkaya Kajian Islam Nusantara, Fakultas Syariah IAIN Jember-ASPIRASI Gelar Bedah Buku AHWA

Selasa, 19 Januari 2021 - 17:32 | 49.35k
Diskusi virtual bedah buku “Ahlul Halli wal ‘Aqdi: Sejarah, Konsep dan Konstruksi Sistem Transisi Politik NU.
Diskusi virtual bedah buku “Ahlul Halli wal ‘Aqdi: Sejarah, Konsep dan Konstruksi Sistem Transisi Politik NU.

TIMESINDONESIA, JEMBER – Menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pada 2021 mendatang, wacana tentang konsep AHWA (Ahlul Halli wal ‘Aqdi) kembali menarik diperbincangkan.

Momentum itu semakin menarik dengan kehadiran buku berjudul “Ahlul Halli wal ‘Aqdi: Sejarah, Konsep dan Konstruksi Sistem Transisi Politik NU” yang ditulis oleh DR HM Hasan Ubaidillah. 

AHWA 2

Buku yang diangkat dari disertasi sang penulis di Program Doktoral UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) ini kemudian menjadi bahan diskusi menarik dalam bedah buku yang digelar oleh Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia (ASPIRASI), bekerja sama dengan Fakultas Syariah IAIN Jember.

“Konsep Ahlul Halli wal ‘Aqdi atau AHWA ini adalah sebuah istilah yang bukan murni syara’ tetapi hasil kreasi para ulama. Konsep ini banyak diambil dalam peristiwa pemilihan khalifah pengganti pascawafatnya Umar bin Khattab setelah dibunuh Abu Lu’luah,” ujar Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PB NU yang menjadi salah satu pembedah dalam diskusi yang digelar secara daring pada Selasa (19/1/2021).

Saat itu, dalam kondisi sakit, Umar menunjuk enam orang sahabat untuk merumuskan mekanisme khalifah pengganti Umar. 

Kisah ini juga ditulis dalam sejumlah kitab, antara lain kitab Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqolani.

Beberapa ahli menyebut, enam sahabat utama tersebut sebagai tim formatur.

“Mereka dianggap sebagai kelompok yang memiliki posisi strategis untuk membahas masalah kepemimpinan. Itulah mengapa PBNU sebagai penerus Ahlussunnah wal Jamaah meniru apa yang dilakukan Umar bin Khattab ra,” lanjut pria yang juga dosen di IAIN Raden Intan Lampung ini.

Penerapan konsep AHWA di NU antara lain dimulai saat KH MA Sahal Mahfud dalam khutbah iftitahnya (pembuka) selaku Rais Am PB NU mengamanatkan agar PB NU menggunakan konsep AHWA dalam memilih rais am dan rais syuriah di seluruh tingkatan NU.

Hal itu disampaikan Mbah Sahal pada September 2013 di Wonosobo, Jawa Tengah.

“Saat itu kemudian PB NU memilih KH Masdar Farid Mas’udi sebagai ketua tim, dan sebagai sebagai wakilnya. Kebetulan saya saat itu yang termuda,” lanjut Ishom.

Tim bertugas mengkaji kembali AD/ART NU. Saat itu, Ishom sebagai anggota tim formatur mengusulkan agar ada perbaikan AD/ ART NU.

Pada tahapan selanjutnya, saat memasuki pembahasan pasal mengenai pemilihan Ketua Umum PB NU, terjadi dinamika tersendiri.

“KH Mun’im DZ selaku salah satu anggota tim bertanya tentang bagaimana memilih Ketua Umum PB NU. Saya usulkan agar kita menggunakan konsep AHWA sebagaimana yang disampaikan oleh PW NU Jawa Timur yang saat itu di bawah kepemimpinan KH Hasan Mutawakkil Allallah,” papar Ishom.

Konsep AHWA, diyakini sebagai cara terbaik untuk mencegah masuknya infiltrasi politik kepentingan dalam pemilihan posisi strategis, seperti Rais ‘Am yang merupakan posisi tertinggi dan paling dihormati di PB NU.

Beberapa syarat Rais ‘Am yang disepakati adalah sosok yang harus faqih (paham agama), muwaro’ (tidak lagi mengejar dunia) dan muharrik (mampu menggerakkan roda organisasi ).

“Sebab NU ini bukan organisasi sembarangan, tetapi organisasi keagamaan yang menjadi acuan masyarakat,” tegas mantan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI ini.

Namun, tidak semua pihak bisa menerima konsep AHWA. Seperti dalam Konferensi Alim Ulama di Makasar beberapa tahun silam, ada sejumlah pihak yang menolak konsep AHWA dengan alasan berasal dari ajaran Syiah.

Sementara itu, Hasan Ubaidillah, penulis buku tersebut menyatakan berdasarkan penelitiannya, konsep AHWA sudah diterapkan NU sejak lama.

Yakni ketika KH Abdul Wahab Hasbullah sedang sakit keras dan tidak bisa menjalankan amanahnya sebagai Rais ‘Am PBNU.

“Itu saya dapatkan dari KH Miftachul Achyar (saat ini Ketua Umum MUI). Saat itu diusulkan agar KH Bisri Syamsuri yang menggantikannya. Tetapi KH Bisri menolak kecuali KH Abdul Wahab Chasbullah sudah wafat,” papar pria yang kini menjadi Wakil Sekretaris PW NU Jawa Timur ini.

Hingga akhirnya KH Wahab wafat, banyak kiai yang ditunjuk sebagai pengganti Rais ‘Am PB NU. Namun mereka semua saling menolak dan menunjuk yang lain.

Penyebabnya, karena mereka merasa tidak pantas.

“Itu adalah akhlak ke-kiai-an yang ada di NU. Saling merasa tidak pantas,” papar Hasan.

Konsep AHWA menjadi semakin penting diterapkan ketika ada gejala perebutan jabatan dengan intrik politik di tubuh NU.

“Namun menjadi perdebatan ketika formulasi AHWA dilembagakan,” ujar Hasan.

Pendapat senada juga disampaikan pembedah yang lain, DR Zainul Milal Bizawie. Menurut sejarawan santri ini, konsep AHWA sangat bagus untuk menangkal potensi masuknya praktik politik kepentingan dalam kepemimpinan di tubuh NU.

Jika NU bisa membangun konsep kelembagaan AHWA menjadi 9 orang misalnya, seperti jumlah wali songo, akan baik sekali, papar Zainul.

Sementara itu, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Prof Muhammad Noor Harisuddin M.Fil.I dalam sambutannya, mengapresiasi penerbitan buku hasil disertasi HM Hasan Ubaidillah ini.

“Buku ini bisa menjadi kontribusi penting dalam menambah kajian fiqh siyasah di NU dan Indonesia secara umum. Terlebih bagi IAIN Jember yang akan berubah menjadi UIN dengan mengambil nama KH Ahmad Shiddiq dan menjadi UIN KHAS,” ujar pria yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia (ASPIRASI) ini.

Adapun Rektor IAIN Jember, Prof Babun Suharto dalam sambutannya menyebut, buku tentang konsep AHWA ini bisa menjadi masukan berharga dalam kajian Islam Nusantara.

“Menjelang Muktamar NU di Lampung nanti, kita yakin NU bisa terhindar dari kelompok-kelompok yang ingin merusak jam’iyyah ini. Karena saya yakin yang dipilih adalah kiai-kiai pilihan yang akan memilih pemimpin tanfidziyah yang kompeten,” pungkas Babun.

Muktamar NU yang rencananya akan digelar pada Oktober 2020 di Lampung, diputuskan ditunda hingga tahun 2021 ini. Pengunduran jadwal dilakukan dengan pertimbangan pandemi.

Untuk itu, menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) wacana tentang konsep AHWA (Ahlul Halli wal ‘Aqdi) kembali hangat didiskusikan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES