Kopi TIMES

Jokowi, Vaksin Sinovac, dan Legitimasi MUI

Selasa, 19 Januari 2021 - 09:39 | 74.08k
M. Noor Harisudin, Guru Besar IAIN Jember Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember
M. Noor Harisudin, Guru Besar IAIN Jember Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember

TIMESINDONESIA, JEMBER – Meski Jokowi adalah orang yang pertama kali di-vaksin, tetap saja ‘ketidakpercayaan’ publik terhadap vaksin sinovac masih tinggi. Viral komentar penolakan Ribka Tjiptaning, anggota DPR RI itu, terus saja disebar. Hoaks tentang bahaya vaksin masih juga viral. Terakhir, viral hoaks dalam Facebook bahwa 13 jam setelah divaksin, Jokowi meninggal dunia, meski narasi yang diunggah oleh pengguna Facebook Budi Ansyah tersebut dianggap sebagai konten yang salah dan bahkan menyesatkan.

Jokowi sendiri, dalam penjelasannya, menyebut terasa pegal-pegal sedikit setelah suntik vaksin—tidak seperti yang diberitakan dalam bentuk hoaks tersebut. Bahkan, Jokowi langsung ikut acara Rapat Koordinasi Nasional III Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam beberapa saat setelah divaksin oleh Dr Abdul Mutholib. Setelah Jokowi, para pimpinan publik juga divaksin. Misalnya para menteri, sekjen Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, Gerakan Pemuda Ansor, Kepala Badan POM, dan sebagainya.

Sejatinya, pengadaan vaksin sinovac merupakan ikhtiar pemerintah Indonesia untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, vaksin ini bukan obat, melainkan upaya pencegahan yang tentunya harus diteruskan dengan kepatuhan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Rencananya 180 juta orang akan mendapat vaksin gratis pada tahun 2021 secara bertahap. Pada tahun 2022, pemerintah akan memberikan vaksin serupa untuk sisa penduduk yang belum divaksin.

Secara medis, vaksin sinovac sendiri telah mendapatkan izin Badan POM. Tegasnya, Badan POM telah menerbitkan izin penggunaan darurat alias emergency use authorization (EUA). Vaksin yang sudah digunakan di Turki, Brazil, dan Chili ini akan diberikan dua kali untuk pengguna. Efikasi vaksin setelah uji klinis yang ketiga oleh Badan POM ini mencapai 65,5 persen 15.5 persen di atas efikasi yang ditetapkan WHO, yaitu 50 persen. Ini artinya vaksin dianggap aman digunakan untuk masyarakat.

Kata-kata ‘aman’ menjadi penting setelah Majelis Ulama Indonesia menetapkan hukum suci dan halal atas penggunaan vaksin sinovac di Indonesia. Dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (Fatwa Nomor 02 Tahun 2021), aman adalah bagian dari persyaratan thayyiba, yang harus benar-benar bermanfaat untuk manusia. Dalam putusan fatwanya, MUI menyebut poin kedua, ‘boleh digunakan sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel  dan kompeten’. Ahli yang kredibel dan kompeten dalam hal ini adalah Badan POM. Ini yang dikatakan bahwa fatwa didasarkan pada pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi.    

Selain thayyiba, MUI dalam poin satu sebelumnya telah menegaskan jika bahwa hukum vaksin ini suci dan halal. Tidak ada kandungan babi dan turunannya pada vaksin ini, sebagaimana dipersepsikan sebagian kecil orang. Demikian juga dalam prosesnya juga tidak ada yang membuat najis vaksin ini. Penegasan bahwa vaksin ini suci dan halal sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw: “Allah telah menurunkan penyakit dan obat serta menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan barang yang haram” (HR. Abu Dawud dari Abu Darda). 

Demikian ini juga, bahwa yang demikian ini sesuai dengan firman Allah Swt. “Sesungguhnya Dia hanya saja mengharampakn atasmu bangkai, darah, daging babi dan daging hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tapi barangsaiapa terpaksa memakannya, bukan karena ia menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosan baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah: 173).

Keputusan Fatwa MUI tentang halal dan sucinya vaksin sinovac  diikuti oleh ormas yang lain, sebut misalnya Nahdlatul Ulama. Meski Wakil Presiden RI yang sebelumnya Rois ‘Am PBNU, KH Ma’ruf Amin jauh sebelumnya mengatakan bahwa meski –misalnya -tidak halal karena kondisi darurat boleh menggunakan vaksin tersebut. Namun, kenyataannya vaksin ini memenuhi kriteria halal. Apalagi, vaksinasi ini sangat penting  untuk mencegah wabah corona yang melanda hampir seluruh dunia. Publik, oleh karena itu, bisa mengikuti vaksinasi Covid-19 tanpa takut dan juga tanpa keraguan. Kendati belum ada putusan resmi hasil bahtsul masail NU, namun PBNU mencukupkan dan mendasarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia.     

Muhammadiyah juga mendukung vaksinasi ini. Dalam pembahasan majelis Tarjih, Muhammadiyah mengatakan bahwa vaksinasi adalah ikhtiar yang dianjurkan dalam agama untuk menanggulangi Covid-19. Demikian ini karena usaha mengakhiri pandemi –menurut Muhammadiyah—adalah bagian dari ajaran agama. Selain itu, vaksinasi juga berperan penting dalam menjaga keberlangsungan generasi yang kuat dan sehat serta dipandang sesuai prinsip kemuliaan manusia. 

Dasar lain yang digunakan Muhammadiyah adalah hadits la dlarara wala dlirara (HR. Ibnu Majah), tidak boleh membahayakan pada diri dan juga pada orang lain. Karena itu, putusan bolehnya vaksin tidak menghapus fatwa majelis tarjih tentang etika ke masjida dengan  pakai masker, cuci tangan dan social distancing.  Sebelumnya, Muhammadiyah meminta agar vaksin untuk menanggulangi pandemi harus memenuhi persyaratan tiga hal; Pertama, aman. Kedua, efikasi sesuai standar WHO dan ketiga, halal. Dalam pandangan Muhammadiyah, tiga persyaratan ini sudah terpenuhi sehingga menjadi keniscayaan bagi warga Muhammadiyah untuk mendukung vaksinasi oleh pemerintah tersebut. (www.muhammadiyah.or.id)

Jika ditarik pada konteks pemerintah, ikut berpartsipasi dalam vaksinasi adalah sebuah keniscayaan mengingat pada dasarnya hukum vaksin sinovac ini adalah mubah. Seperti pernyataan Salam Madkur  (1965) “…jika pemerintah mewajibkan yang mubah, jika ia mengandung kemaslahatan umum seperti meninggalkan merokok, maka hukumnya menjadi wajib”, maka hukum mubah vaksin bisa berubah wajib karena mengandung kemaslahatan umum. Yakni kemaslahatan bukan hanya  menjadikan orang per orang selamat dan terjaga dari virus Covid-19, namun juga orang lain dan masyarakat luas pada umumnya.

Dalam konteks inilah, maka perintah Allah Swt dalam QS. an-Nisa ayat 59 “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian pada Allah dan Rasul serta ulil amri di antara kalian” menjadi sangat relevan. Ulil amri, dalam hal ini pemerintah, harus kita ikuti, karena ia sedang memerintahkan ketaatan (bukan memerintahkan kemaksiatan) pada Allah Swt.

Wallahu’alam. (*)

* Penulis M. Noor Harisudin, Guru Besar IAIN Jember Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES