Peristiwa Nasional

Ada Potensi Gempa di Surabaya, Peneliti ITS Imbau Pemkot dan Pemprov Siapkan Acuan Mitigasi

Selasa, 19 Januari 2021 - 08:46 | 113.63k
Peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Amien Widodo, Selasa (19/1/2021).(Dok.ITS)
Peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Amien Widodo, Selasa (19/1/2021).(Dok.ITS)

TIMESINDONESIA, SURA – Belum usai mengatasi pandemi Covid-19, awal tahun ini Indonesia dikejutkan dengan ragam bencana alam yang berturut-turut terjadi.

Hal itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah karena letak geografis Indonesia yang unik membuat negeri ini bukan hanya menyimpan potensi kekayaan alam, tetapi juga potensi bencana alam. Salah satunya adalah gempa Majene, Sulawesi Barat yang tersiarkan beruntun menyerang hingga mengakibatkan banyak korban jiwa.

Ditemui di Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Amien Widodo mengungkapkan bahwa letak Kabupaten Majene berada di zona patahan, tempat terjadinya tegangan di dalam perut bumi yang dapat mengakibatkan pergeseran atau sesar.

Menurut sejarahnya, pada tanggal 23 Februari 1969, terjadi gempa besar berkekuatan 6,9 Skala Richter (SR) pada kedalaman 13 kilometer di sana.

Peneliti senior dari Puslit MKPI ITS ini kemudian menjelaskan bahwa sesar yang berada di Majene merupakan sesar yang masih sangat aktif.

Hal itu ditunjukkan oleh pergeseran yang masih sering terjadi dan gempa yang mengikuti pergeseran itu.

“Sesar aktif di Majene ini merupakan sesar naik yang sering menyebabkan gempa dangkal di sana, seperti baru-baru ini (terjadi),” ungkapnya, Selasa (19/1/2021).

Gempa pembuka dicatat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terjadi pada pukul 13.35 WIB di kedalaman 10 kilometer dengan kekuatan 5,9 SR. Skala tersebut diestimasi akan berpotensi menimbulkan kerusakan.

“Benar saja, gempa memicu terjadinya rockfall (runtuhan batu) di perbukitan yang kemudian merusak rumah warga di sana,” sebut Amien.

Peristiwa gempa itu disebut sebagai gempa pembuka (foreshock). Karena setelah keesokan harinya, Jumat (15/1/2021), telah terekam terjadi gempa susulan sebanyak 28 kali di Majene dengan magnitudo yang beragam.

Gempa-Sulteng.jpg

“Misalnya pada gempa kedua dengan kekuatan 6,2 SR dirasakan bukan hanya di Majene, melainkan sampai ke Mamuju dan Palu,” ujarnya.

Gempa yang mengguncang Majene dan Mamuju memiliki skala intensitas V-VI Modified Mercalli Intensity (MMI). Pada level ini, gempa sangat berpotensi memicu kerusakan. Sementara di Mamuju Tengah, Palu, Mamuju Utara, dan Mamasa, benda-benda terpelanting akibat gempa dengan skala intensitas III-IV MMI.

“Melihat dampak dan besar kekuatannya yang lebih besar dari sebelumnya, sementara kejadian yang terjadi Jumat (15/1/2021) dini hari itu ditetapkan sebagai gempa utama (mainshock),” paparnya mengutip pernyataan BMKG.

Lanjut Amien, semua berharap ketetapan itu tidak berubah dan justru melemah. Sehingga, tidak ada gempa yang lebih besar lagi dan tersisa gempa susulan (aftershock) yang kekuatannya semakin mengecil hingga keadaan kembali stabil.

“Meski demikian, kita harus mengingat betul sejarah pesisir Majene yang pernah dilanda tsunami pada tahun 1969 akibat bagian fold thrust belt (jenis sabuk lipatan daerah deformasi, red) sesar Majene yang terletak di lepas pantai,” imbau dosen Departemen Teknik Geofisika ITS ini.

Laporan Pusat Pengendali Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 17 Januari 2021 menyatakan bahwa jumlah korban meninggal akibat gempa magnitudo 6,2 pada 15 Jauari 2021 lalu menjadi 70 orang dari Mamuju dan 11 orang dari Majene. Sebanyak 189 orang mengalami luka berat dan harus menerima perawatan di Mamuju dan sekitar 637 orang yang mengalami luka di Majene mendapati penanganan rawat jalan.

“Sisanya, sekitar 15.000 penduduk tersebar di sepuluh titik pengungsian,” ujarnya prihatin.

Sementara itu, ruas jalan Majene-Mamuju juga sempat terputus karena mengalami longsor. Sekitar 1.150 unit rumah di Majene terdata alami kerusakan dan 15 sekolah turut terdampak. Sedangkan di Mamuju, tercatat kerusakan berat juga menimpa kantor Gubernur Sulawesi Barat dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mamuju.

Rekomendasi dan Pelajaran dari Sesar Aktif Majene untuk Masyarakat Surabaya

Dalam laporan Pusat Gempa Nasional 2017 disebutkan bahwa banyak kota di Indonesia dilewati oleh sesar aktif yang berpotensi mendorong terjadinya gempa.

Laporan yang tersaji dalam bentuk peta bahaya gempa itu menunjukkan potensi gempa akibat sesar aktif juga tidak sedikit keberadaannya di Provinsi Jawa Timur. Di antaranya ada sesar Wonorejo di Kabupaten Banyuwangi, sesar Probolinggo di Kabupaten Probolinggo, dan sesar Pasuruan di Kabupaten Pasuruan.

“Kota Surabaya bahkan dilewati oleh dua sesar yang berbeda, yaitu sesar Surabaya dan sesar Waru,” jelasnya terkait persebaran sesar di Surabaya.

Keberadaan sesar Waru memanjang dari Gresik, melewati Mojokerto, Jombang, Nganjuk, hingga Saradan. Sesar-sesar ini masih aktif dan mengalami pergerakan setiap tahunnya rata-rata sejauh 0,05 milimeter. Maka sudah sepatutnya, kata Amien, kita mewaspadai terjadinya gempa dan meminimalisasi kerugian yang mungkin terjadi.

Sebelum tak terkendali, lanjutnya, Pemprov Jatim dan terkhusus Pemerintah Pemkot Surabaya seharusnya telah menyiapkan langkah antisipasi. Amien menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan asesmen ancaman gempa, asesmen kerentanan bangunan dan kerentanan tanah, serta asesmen kapasitas masyarakat.

“Bila kawasan tersebut mempunyai kondisi tanah yang buruk dan bangunan yang kurang kokoh, maka bisa dikategorikan kawasan berisiko tinggi,” tuturnya memberikan permisalan.

Sebaliknya, apabila kondisi lapisan tanahnya kuat dan bangunan pun berdiri kokoh, maka kawasan dapat masuk dalam klasifikasi kawasan berisiko kecil.

Berdasarkan peta zonasi kawasan dengan tingkat risiko yang rendah hingga tinggi ini, dapat dibuat dan dijadikan acuan mitigasi.

Setiap kawasan akan sangat mungkin memiliki arahan mitigasi yang berbeda, sesuai dengan levelisasi itu. Baik itu arahan mitigasi struktural, maupun arahan mitigasi nonstruktural, keduanya sama-sama penting dan perlu untuk diedukasikan kepada masyarakat.

Pada dasarnya, bencana alam tidak akan menimbulkan korban jiwa jika terjadi di kawasan tak berpenduduk. Namun, bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk menghindari kerugian yang besar di kawasan padat penduduk. “Maka, mari kenali bencana. Kita kenal dengan bencana, kita selamat,” pesannya.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES