Kopi TIMES

Musibah Demi Musibah

Selasa, 19 Januari 2021 - 00:50 | 75.91k
Penulis adalah Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat, Dewan Pakar Psycho Education Centre (PEC).
Penulis adalah Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat, Dewan Pakar Psycho Education Centre (PEC).

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”  - QS. Al Baqarah : 155.

Di awal tahun 2021, kita sungguh berduka karena kondisi Covid-19 semakin tak terkendali yang ditandai dengan kasus yang terkonfirmasi positif tercatat mencapai 12.818 orang, pemegang rekor pada tanggal 15 Januari. Seminggu yang lalu ada tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 812 yang membawa korban semua penumpang dan crew pesawat sebanyak 62 orang. Terjadinya Longsor di Sumedang yang membawa korban 27 orang.

Kemudian, terjadinya banjir bandang di Kalsel hingga kini menelan 7 korban. Terakhir gempa  sangat dahsyat yang terjadi  di Mamuju Sulbar yang meruntuhkan Gedung Gubernuran dan korban sebanyak 42 orang. Wafatnya 14 Kiai, Habib, dan Syekh yang belakangan ini Habib Ali bin Abdurahman Assegaf di Purwakarta dan Syekh Ali Jaber di Jakarta. Kejadian-kejadian ini menggambarkan adanya musibah besar dan ujian bagi bangsa Indonesia.

Dalam memahami musibah, ada sejumlah perspektif. Pertama, bahwa musibah itu bisa difahami dengan apapun yang menimpa kita, bisa positif atau bisa negatif. Sesuatu yang bersifat positif bisa berupa harta, jabatan, pangkat, kejuaraan, dan sebagainya. Sesuatu yang bersifat negatif bisa berupa banjir, gempa, gunung meletus, kecelakaan pesawat, kecelakaan kapal, kecelakaan mobil/kereta, kematian, dan sebagainya. Namun sering musibah difahami sebagai apapun yang menimpa bersifat negatif.

Kedua, bahwa musibah itu bisa berupa fitnah. Artinya bahwa seseorang bisa tertimpa suatu masalah dengan alasan yang tidak didukung dengan data yang benar. Orang yang terfitnah bisa jadi merasakan sakit melebihi dari sakit yang sebenarnya. Makanya dikatakan bahwa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.

Ketiga, bahwa musibah itu bisa berupa adzab. Artinya bahwa akibat kesalahan yang dilakukan baik verbal maupun tindakan, misalnya merusak lingkungan, melakukan korupsi. Bahkan bisa jadi akibat dosa yang telah dilakukan, akhirnya membuahkan musibah bisa kecil maupun besar.

Kita perlu bersikap positif dan bijak terhadap setiap musibah. Dari berbagai ragam musibah, dapat dipetik hikmahnya. Pertama, musibah meningkatkan iman. Kita jangan merasa beriman atau meningkat imannya sebelum diuji. Hal ini dapat digambarkan dengan peristiwa Hijrah Nabi dan sahabat-sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Walaupun beriman hidup bersama Rasulullah ternyata diuji dengan harus berhijrah untuk keselamatan dan kejayaan Islam.

Untuk itu bisa ditelusuri firman Allah swt, yang artinya: “Alif Laam Miim” Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)mengatakan kami telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui prang-orang yang dusta”. (QS. Al Ankabut, 1-3).

Kedua, musibah meningkatkan derajat. Dalam perjalanan tauhid, ternyata di antara para Rasul Allah ada sejumlah Rasul yang diuji dalam emban amanahnya lebih berat daripada yang lainnya. Adapun yang mendapat ujian itu di antaranya Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Demikian teguhnya kelima Rasul ini dalam menghadapi ujian, maka Allah swt memasukkan golongan Ulul Azmi.

Berkenaan dengan itu, maka Rasulullah menegaskan dalam haditsnya, yaitu : “Besarnya pahala tergantung besarnya ujian”. Artinya, semakin tinggi tingkat seseorang semakin dekat dengan Allah semakin tinggi ujiannya, ibarat pohon semakin tinggi maka semakin kencang angin yang menerpanya. (HR Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Karena itu ketika ada ujian yang menimpa kita dalam perjalanan hidup ini, seringkali kita menghadapi berbagai ujian untuk bisa berpromosi. Semakin tinggi posisi, semakin sulit dan berat ujiannya.

Ketiga, musibah mencuci atau membersihkan dosa. Manusia sebagai makhluk Allah swt tidak lepas dari kesalahan dan dosa. Untuk menjadi hamba yang baik dan bisa berdoa yang dikabulkan, kita perlu bersih dulu dari dosa. Ingat beberapa faktor yang harus dipenuhi untuk bisa memperlancar doa kita dapat diterima. Di antaranya adalah badan dibesarkan dengan makanan yang halal, pakaian yang dipakai bersih dan suci, dan tempat yang dipakai untuk ibadah juga bersih dan suci. Namun di antara itu semua, bahwa faktor kesucian dan kebersihan dari dosa sangatlah penting.

Musibah adalah salah satu kejadian yang memiliki hikmah dapat membersihkan dari dosa. Rasulullah saw bersabda : “Bahwa orang mu’min dan mu’minat tidak akan terlepas dari ujian/bala baik pada dirinya, anaknya atau hartanya sampai ia bertemu dengan Allah tanpa ada kesalahan dan dosa sama sekali”. (HR Imam Tirmidzi).

Selain daripada itu Rasulullah saw juga bersabda: ”Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga menjadi penghapus dosa.” (HR Imam Bukhari). Selanjutnya Rasulullah saw juga bersabda : “Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang melainkan Allah menghapuskan dosanya dengan sebab itu, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Begitu berartinya hikmah musibah apapun bentuknya, baik itu yang ringan, yang sedang maupun yang berat. Kita perlu husnudzdon kepada Tuhan. Dengan begitu kita bisa banyak bersyukur dan bersabar. Mungkin datangnya hikmah bisa cepat, bisa juga lambat. Yang jelas butuh proses.

Sebaliknya, juga bisa dimaklumi bahwa sebagian besar dalam menghadapi musibah banyak yang sock, frustasi bahkan ada yang bunuh diri. Oleh karena itu untuk bisa recovery dibutuhkan sikap pribadi yang sabar dan ikhlas serta semangat bangkit. Disamping santunan dari pihak luar baik dari pribadi, kelompok masyarakat, maupun institusi. Dewasa ini banyak kejadian musibah yang di luar perkiraan, sehingga kesiapsiagaan dan keterampilan menyelamatkan diri perlu diupayakan terus.

*******

*) Penulis adalah Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat, Dewan Pakar Psycho Education Centre (PEC).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES