Kopi TIMES

Orang Pintar yang Dipelihara oleh Orang Awam

Senin, 18 Januari 2021 - 16:35 | 56.46k
Sutriyadi: Mantan Ketua Umum Ikatan Santri Kalimantan Barat (ISKAB) se Nusantara 2018 dan alumni pascasarjana Unisma Malang.
Sutriyadi: Mantan Ketua Umum Ikatan Santri Kalimantan Barat (ISKAB) se Nusantara 2018 dan alumni pascasarjana Unisma Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Secara sederhana saya mengartikan orang awam sebagai suatu golongan masyarakat yang benar-benar tidak mengerti pada hal-hal tertentu dan menutup diri untuk belajar menerima kebenaran ilmiah.

Dalam arti, mereka tidak memiliki kemampuan berpikir yang baik sehingga tanpa disadari mereka telah memengaruhi kondisi sosial, budaya, politik dan agama orang-orang pintar. Contoh, masyarakat yang tidak mengerti soal agama akan menjadi lahan basah bagi oknum orang pintar yang ingin menuai dari jasa (ketidaktahuan) mereka.

Kesannya, bukan orang pintar yang memanfaatkan orang awam, akan tetapi orang-orang awam-lah yang demen pelihara orang-orang pintar. Kenapa saya membalik pernyataan di atas? Sebab jika ditarik kesimpulan “seandainya tidak ada orang bodoh maka tidak ada perbuatan-perbuatan membodohi”

Tidak adanya dorongan untuk berubah dari dalam diri setiap seseorang mengakibatkan mereka (orang pintar) kian berkembang biak di suatu tempat yang mereka anggap nyaman. Orang awam telah memberi ruang kepada mereka untuk beraksi. Ruangnya adalah kebebalan-kebebalan yang di pelihara dalam setiap kepala kita.

Membahas orang pintar memang banyak macamnya. Di antaranya, pintar berakal, pintar yang nakal. Pintar berakal adalah orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir yang baik pada suatu bidang tertentu atau lainnya dan memanfaatkan ilmunya hanya untuk kebaikan-kebaikan masyarakat luas sesuai yang ia yakini tanpa modus yang lain.

Sementara orang pintar yang nakal adalah orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir yang baik pada suatu bidang tertentu atau lainnya dan memanfaatkan ilmunya untuk modus tertentu. Bukan untuk kebaikan masyarakat banyak, akan tetapi mereka memanfaatkan kelebihan-kelebihan itu untuk memenuhi hasratnya sendiri.

Pintar yang nakal dengan nakal yang pintar itu berbeda. Pintar yang nakal artinya mereka memang benar-benar memiliki ilmu pengetahuan tapi terkadang untuk ngakali. Sementara nakal yang pintar ia tidak memiliki disiplin ilmu pengetahuan namun ia cerdik sekali untuk mengelabui orang-orang awam. 

Talenta itu berupa kenakalan-kenakalan. Orang pintar berakal tidak menjamin dirinya memiliki kelebihan seperti orang nakal begitu juga sebaliknya. Tipe inilah yang biasanya disebut cerdik dalam menangkap dan memanfaatkan kesempatan di atas kekurangan-kekurangan orang lain.

Kita sulit untuk menemui atau melihat manusia pintar berakal di media sosial atau di layar televisi. Sebab mereka yang menggeluti dunia intertaiment, influencer, politikus, dan ustad youtube, sudah masuk ke ranah orang pintar yang dipelihara oleh orang-orang awam.

Orang pintar yang nakal seolah burung dalam sangkar. Ia cerdik menerjemahkan keinginan pemiliknya. Setiap bunyi dan siul-nya akan menjadi sorotan, membanggakan, dan laku keras. Kita tahu, bahwa pemilik tidak bisa bersiul selincah burung dalam sangkar. Oleh sebab itu mereka memilih memelihara. Yang diharapkan adalah siul-nya. Persis sama dengan kondisi sosial kita, orang awam akan antusias dengan kegaduhan.
Saya mengambil ilustrasi seekor burung karena setiap burung memiliki bunyi khas masing-masing. Setiap hari bunyi-bunyi itu saja yang keluar dari paruh masing-masing burung. Artinya mereka sama dengan orang pintar yang nakal. Sebab kenakalan dan kegenitan mereka jika kita lebih jeli di media sosial dan televisi, ya itu-itu saja. Tidak mencerdaskan.

Politikus membodohi rakyatnya demi kekuasaan. Mereka kian lantang mengumbar perilaku tabu tiap hari. Masyarakat tidak mengerti betul dengan perilaku politikus yang membosankan itu. Oleh karenanya relevan sekali bila ada kalimat “kita harus paham ilmu copet bukan berarti untuk nyopet, tetapi untuk menjaga diri dari pelaku pencopetan.

Oknum ustad membodohi jemaahnya demi menarik perhatian atau bahkan subscriber. Sebab ustad yang kontroversial lebih banyak digemari dari pada ustad berakal. Dan hal ini yang sedang trend di Indonesia. Di mana masyarakat lebih memanfaatkan yang nakal dari pada yang berakal.

Masyarakat Indonesia masih kental dengan persoalan moral yang sifatnya rasa dan mitos dari pada berpikir logos. Padahal beberapa abad yang lalu filsuf Yunani Thales telah mendobrak peradaban mitos ke peradaban logos. Dan hal ini juga dikuatkan oleh Russell bahwa untuk mencapai kehidupan yang baik harus dibangun oleh rasa cinta yang diarahkan oleh ilmu pengetahuan.

Oleh sebab itu, marilah kita sebagai orang awam, membangun perilaku kita dengan karakter yang kokoh dan ilmu pengetahuan yang luas. Bukan untuk “ngakali” tetapi untuk membentengi diri dari perbuatan orang-orang pintar yang nakal dan orang nakal yang pintar.

***

*)Oleh: Sutriyadi: Mantan Ketua Umum Ikatan Santri Kalimantan Barat (ISKAB) se Nusantara 2018 dan alumni pascasarjana Unisma Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES