Kopi TIMES

Pascapilkada Antara Kliantelisme dan Common Ground

Sabtu, 16 Januari 2021 - 20:33 | 59.46k
Ernestus Lalong Teredi, Peneliti Lembaga Terranusa Indonesia
Ernestus Lalong Teredi, Peneliti Lembaga Terranusa Indonesia

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hampir pasti, polarisasi masyarakat pada pentas demokrasi lokal saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung pada 9, Desember, 2020 kemarin, belum juga menghilang. Polarisasi pada korpus sosial setidaknya ditandai dengan berbagai bahasa politik yang muncul seperti; kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan (sektarianisme). 

Tentu, pada momen seperti ini, para kandidat yang menang secara langsung menghadapi dilema dan persoalan besar. Pemimpin diuji apakah akan mampu menenun yang robek, merekatkan yang pecah dan meluruskan yang kusut – dengan membangun common ground. Atau justru mempertegaskan persoalan itu menjadi besar.

Jika kita menjajaki polarisasi pada Pilkada. Setidaknya star awalnya adalah menguatnya politik klientelisme di Indonesia yang sudah berlangsung lama. Gejala demikian sudah masuk di berbagai wilayah, mulai dari desa sampai pusat – dengan mekanisme pertukaran sumber daya, (Bdk. Aspinall dan Berenschot, 2019).  

Pada konteks Pilkada, politik klientelisme berlangsung dalam manuver elit-elit dari pusat (oligarki) secara berkelompotan untuk memenangkan kandidat (klien) tingkat daerah.  Praktik ini bertujuan untuk menyatukan agenda-agenda dari oligarki itu sendiri. Tingkat lokal menjadi basis material para oligarki untuk memperbesar akselerasi politiknya. 

Transaksi politik dari oligarki kepada kandidat di tingkat daerah melalui pendistribusikan resources, untuk mempermudahkan dan memenangkan kerja kandidat yang didukungnya. Di belakang itu semua, agenda-agenda oligarki didiskusikan dan disusun dengan baik. Pola dan mekanisme seperti ini jamak terjadi di berbagai wilayah. Sehingga kandidat tingkat lokal tidak akan pernah steril dari kepentingan pusat melalui rute politik klientelisme.

Selain dengan oligarki dari pusat, maka reproduksi politik klientelisme juga terjadi di tingkat lokal dan parahnya transformasinya sangat subur. Polanya di tingkat lokal hampir sama yakni para kandidat akan membagikan resources juga kepada patron-patron kecil tingkat kecamatan dan desa untuk mendukungnya.

Praktik demikian akan berlanjut setelah Pilkada selesai seperti adanya lelang jabatan, lelang proyek, menempatkan orang berdasarkan kedekatan personal, dll. Dengan kata lain, politik klientelisme selain berlaku di berbagai daerah, juga masuk dalam berbagai struktur dan institusi seperti dalam tubuh kepartaian dan birokrasi sendiri (Eisenstadt, et, Djalong, 2011). 

Bibit busuk politik klientelisme mengharuskan pemimpin memiliki wajah janus, karena kemenangan pemimpin tingkat lokal mengharuskannya untuk memikirkan ke depan sekaligus ke belakang terkait dengan jasa-jasa dari kliennya. Derivasi dari kerentanan yang dihadapinya adalah buruknya kebijakan yang diambil dan hancurnya tata kelola pemerintahan.

Dari berbagai pengalaman, sebenarnya beberapa kepala daerah akan sulit keluar dari dilema-dilema seperti ini. Karena secara inheren kepala daerah secara subtil pasti diintervensi oleh oligarki dari atas. Pada saat yang sama juga  akan ada desakan dan intervensi kliennya dari bawah (para pendukung; buzzer, tim, relawan, dll). Dan hampir pasti intervensi yang dilakukan dari atas dan bawah, bukan agenda strategsi, melainkan agenda yang sangat sektoral.

Posisi kepala daerah pun akhirnya terhimpit. Sehingga tak salah hal yang prioritas dilakukan adalah mengutamakan kepentingan oligarki dari atas dan kliennya dari bawah. Kita tau, bahwa wajah ganda kepemimpinan dari kepala daerah akan nampak setelah satu dua tahun memimpin. Masyarakat akan merasakan bahwa Pilkada semacam repetisi mengulangi peristiwa-peristiwa sebelumnya.

Jika praktik demikian semakin menguat dalam korpus kepemerintahan lokal, maka polarisasi konflik akan berlangsung lama. Karena kepala daerah akan mengutamakan klien-kliennya. Sehingga otomatis yang tidak bagian dari kandidat yang menang akan sendiri tereksklusi. Persis pada momen ini konflik sosial akan meningkat dan marjinalisasi masyarakat disebabkan dari kebijakan yang berpihak pada klien semata pasti terjadi.  

Kita tau bahwa politik klientelisme sungguh sangat buruk. Oleh karena itu kita berharap bahwa pemimpin yang terpilih harus memiliki sikap yang tegas dengan posisi politik yang kuat. Pemimpin yang baik harus bijak dengan merekatkan yang pecah, menyatukan perbedaan dan memiliki sikap skemata. Caranya melalui mekanisme mendengar setiap tuntutan politik (political demand) dari setiap partikular kehidupan sosial. 

Dengan cara seperti ini maka polarisasi yang muncul pra Pilkada dengan sendiri bisa diajak untuk bersatu. Politik membutuhkan sikap kerendahan hati untuk mengajak semuanya bergandengan tangan. Tujuannya menjalin persaudaraan, merumuskan kepentingan bersama serta mengeluarkan pemimpin yang terpilih dari intervensi dan pembajakan oligarki.

***

*) Oleh: Ernestus Lalong Teredi, Peneliti Lembaga Terranusa Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES