Kopi TIMES

Demokrasi, Kedaruratan dan Lahirnya Homo Sacer

Jumat, 15 Januari 2021 - 22:38 | 166.77k
Herza, M.A. Dosen Tidak Tetap/LB di Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung.
Herza, M.A. Dosen Tidak Tetap/LB di Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung.

TIMESINDONESIA, BANGKA BELITUNG – Demokrasi banyak dipilih sebagai sistem politik yang diterapkan oleh negara modern, bukan karena sistem tersebut adalah sistem politik yang ideal. Karena memang tidak ada sistem politik yang ideal. Demokrasi dipilih karena Ia adalah sistem politik yang lebih sedikit buruknya ketimbang sistem politik lainnya (Wibowo 2019). 

Jika berangkat dari statement Romo Setyo Wibowo (Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Diryakarya) berikut, maka disamping sikap kita yang optimis terhadap sistem demokrasi, adalah suatu keharusan juga bagi kita sebagai warga  negara yang hidup dalam sistem tersebut untuk tetap memelihara nalar kritis dan kewaspadaan terhadap setiap rezim kekuasaan yang mengendarainya.

Oleh karena itu juga, melalui artikel ini penulis ingin berbagi salah satu perspektif dan pemikiran kritis terkait dengan praktik demokrasi modern, yakni dari Georgio Agamben (Filsuf Politik dari Italia), agar nalar kritis kita terhadap  demokrasi mendapat pasokan referensi. Tentunya, pemikiran kritis dan juga ‘keras’ dari Agamben tersebut akan penulis coba kaitkan dengan beberapa kasus dan/atau praktik demokrasi dalam konteks Indonesia. 

The State of Exception 

Bagi Georgi Agamben, pihak yang berdaulat (the sovereign) dalam negara demokrasi modern, kerap menjadikan modus “kondisi kedaruratan” untuk melangsungkan kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan ekstreme yang melampaui konstitusi dan hukum-hukum yang berlaku. Atau bahkan melangsungkan upaya maupun tindakan yang cenderung bermasalah dengan prinsip-prinsip fundamental demokrasi itu sendiri, seperti kebebesan (berpendapat, mengkritik, berkumpul dan sebagainya), kesetaraan dan/atau prinsip yang mengutamakan HAM.

Bagi the sovereign, adalah sebuah pengecualian untuk mengatur, pun mengendalikan hukum dan warga negara sesuai kepentingan mereka, ketika sudah dideklarasikan telah terjadi kondisi kedaruratan. Hal inilah yang diistilahkan oleh Agamben sebagai “The State of Exception” (Sudibyo; Wibowo; Shahal 2019). Lebih jauh menurut Agamben (1998), kondisi kedaruratan yang pada hakikatnya bersifat upnormal (tidak normal) dan sementara, tapi karena seringnya dijadikan modus oleh rezim demokrasi modern melangsungkan kekuasaan di luar kelumrahan, maka kondisi kedaruratan sudah menjadi sesuatu yang norma-normal saja. 

Apa yang diteorikan oleh Agamben tersebut juga sebetulnya terjadi pada praktik demokrasi di Indonesia. Setelah reformasi 1998 (yang dianggap sebagai fase awal demokratisasi total sistem negara kita) hingga saat ini, bukankah dalam banyak kasus, terbukti rezim kekuasaan di negara ini melalui aparatusnya seolah telah “menormalkan” tindakan kekerasan secara fisik (bahkan sampai membunuh) terhadap siapa pun yang dalam perspektif mereka mengganggu stabilitas negara.

Seperti halnya ketika berlangsung demonstrasi yang ricuh, terjadi bentrokan atau kondisi-kondisi lainnya yang itu dianggap mengancam sistem dan rezim yang sedang berkuasa. Di era internet seperti sekarang, kita bisa dengan sangat mudah melacak dan mengetahui betapa sering terjadinya tindakan-tindakan kekerasan seperti itu.

Bahkan baru-baru ini hal tersebut juga terjadi pada para mahasiswa dan beberapa warga sipil lainnya pada saat melakukan demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Pun yang masih hangat, terjadi pada 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 7 Desember 2020 lalu. Bahkan empat dari enam yang meninggal tersebut diduga kuat ditembak oleh beberapa aparat kepolisian ketika sudah tertangkap di dalam mobil.

Lalu, atas dasar klaim bahwa peristiwa-peristiwa yang demikian itu terjadi karena kondisi kedaruratan bagi negara demokrasi, maka adalah “pengecualian” bagi para aparatus negara tersebut untuk melakukan pelbagai bentuk tindakan kekerasan. 

Dalam konteks ini bukankah kita juga seolah dipaksa untuk menerima pengecualian itu sebagai sesuatu yang normal-normal saja. Praktik seperti inilah yang dikecam oleh Agamben; Yang menurutnya, rezim demokrasi akhirnya dalam beberapa sisi sama saja dengan apa yang biasa dilakukan oleh rezim totalitarianisme atau otoritarianisme.

Contoh lain dari the state of exception adalah peristiwa pengesahan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Perkara beberapa pasal yang dimuat dalam UU dinilai berpotensi melanggar HAM tenaga kerja (misalnya menurut Lembaga Amnesty Internasional ada 7 pasal yang mengancam hak pekerja), lalu beberapa pasal lainnya dipastikan akan berimplikasi menimbulkan konflik berkepanjangan (hasil analisis salah satu Dosen Sosiologi UGM,  yang bisa disaksikan di Youtube BEM UGM), serta adanya gerakan penolakan yang massif dan serius dari mayoritas pekerja dan intelektual atas isi dan proses pengesahannya, tampak tak begitu berpengaruh dan the sovereign seolah menjadikannya seperti angin lalu. 

Jika dilihat dalam perspektif Agamben, hal ini semua bisa terjadi karena negara telah mendaruratkan kondisi seperti; perekonomian yang sangat membutuhkan investasi secara lebih massif, lalu urgentnya penataan ulang sistem dan peraturan ketenagakerjaan, ditambah dengan kondisi pandemi Covid-19 yang berimbas buruk kepada Perusahaan-perusahaan dan para pekerja di Indonesia. Sekali lagi, meskipun telah tempampang nyata bahwa adanya persoalan-persoalan serius terkait proses pengesahan dan beberapa isi pasal dalam UU Cipta Kerja tersebut (sebagaiamana yang sudah diuraikan di atas,) namun semua hal itu adalah “pengecualian” bagi rezim kekuasaan negara kita. 

Konsep dan Contoh  Homo Sacer dalam Konteks Indonesia

Selain konsep the state of exception, konsep utama dan penting lainnya dari Agamben ketika mengkritik praktik demokrasi modern adalah apa yang disebutnya sebagai Homo Sacer (1998). Terminologi Homo Sacer yaang notebenenya diambil dari tardisi hukum Romawi kuno, menurut Agamben adalah istilah yang secara maknawi mengandung ambivalensi dan kontradiktif, karena maknanya adalah manusia suci (Homo adalah  manusia, dan sacer adalah suci) yang dinyatakan sacer/suci, justru karena manusia itu ditanggalkan hak-hak politiknya. Ia dideklarasikan menjadi suci atau kudus, setelah kehidupannya secara politis ditelanjangi (barer life) oleh para pihak yang berdaulat (the sovereign).

Istilah homo sacer ini lalu dikonstruksikan dan dipakai secara serius oleh Agamben untuk menyebut manusia yang statusnya tertangguhkan di antara apa yang disebut sebagai Zoe (manusia alamiah yang hidup sebagaimana hidup binatang) dan bios politicos (manusia yang hidup secara politis). Homo Sacer adalah penggambaran figur manusia yang berada di antara hidup sebagai ‘binatang’ dan sebagai manusia. Dengan kata lain, Ia adalah jenis manusia yang tetap masuk ke dalam kehidupan politik tapi tidak memiliki hak setara (secara politik) dengan manusia-manusia lainnya (Wibowo 2020). Dalam istilah Alan Badiou, Ia adalah bagian yang tidak termasuk bagian.

Dalam konteks Indonesia, salah satu contoh konkret dari homo sacer ini adalah kelompok Ahmadiyah (Shahal 2019). Setelah para penganut Ahmadiyah dinyatakan bukan termasuk agama Islam dan dideklasrasikan sebagai aliran sesat dan menyesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka sejak itu hak dan posisi politis para penganut Ahmadiyah sebagai umat beragama sekaligus sebagai warga negara di Indonesia seperti telah “ditelanjangi”. Negara (dalam hal ini, representasinya adalah MUI) menempatkan mereka menggantung di antara apa yang disebut Agamben sebagai kondisi Zoe dan Bios Politicos. Bagaimana maksudnya? 

Di satu sisi, para penganut Ahmadiyah tetap dibolehkan hidup dan tinggal di Indonesia, tapi di lain sisi, hak mereka sebagai warga negara akan banyak dihilangkan. Mereka tidak akan leluasa lagi untuk berkumpul, melakukan ritual ibadah atau melakukan pelbagai kajian.

Apalagi berdakwa di ruang publik, sudah pasti akan dibubarkan, atau bahkan cenderung dibiarkan untuk dipersekusi. Namanya juga kelompok dan aliran yang dianggap ”sesat”, maka adalah pengecualian bagi negara ataupun masyarakat jika pada saat membubarkan setiap perkumpulannya dengan cara yang keras dan bahkan sewenang-wenang. 

Yang jelas, pada akhirnya, negara tidak akan pernah lagi memandang dan memerlakukan para penganut Ahmadiyah secara setara dengan orang-orang yang termasuk ke dalam Muhammadiyah atau NU. Ibarat kata, para muslim Ahmadiyah ini masih boleh ‘dipandang’ sebagai manusia, tapi tidak boleh lagi ‘diperlakukan’ sebagaimana memperlakukan manusia di Indonesia pada umumnya. 

Selain mencontohkan apa yang dialami para Ahmadiyah tersebut, apa yang terjadi pada kelompok FPI baru-baru ini juga cenderung bisa dinilai sebagai homo sacer. Mereka bisa disebut sebagai homo sacer baru di Indonesia (namun barangkali apa yang terjadi pada mereka tidak akan seekstrem yang dialami para penganut Ahmadiyah). 

Meskipun terdengar isu bahwa, para pengurus Front Pembela Islam (FPI) ingin tetap membangun dan memelihara perkumpulan mereka yang sudah cukup besar tersebut dengan nama baru yang berbeda (dengan singkatan tetap FPI), tampaknya jika para petinggi mereka tetap menolak untuk menyesuaikan dengan keinginan-keinginan the sovereign di negara ini, maka tetap tidak akan berhasil. Oleh karenanya, adalah sangat mungkin, jika ke depannya hak politik para anggota Front Pembela Islam ini akan banyak dihilangkan negara. Salah satunya pasti, apapun aktivitas mereka, akan dikontrol secara ketat oleh negara dan para aparatusnya. Mereka telah dan akan terus dihomo sacerkan.

Bagaimana Sikap Kita terhadap Pemikiran Agamben?

Kita boleh memilih untuk tidak sepenuhnya atau persis berada di jalur pemikiran agamben yang kental dengan sense pesimisme terhadap demokrasi (meski dia sendiri menolak disebut demikian), namun sebagai sebuah pemikiran kritis, apa yang disampaikan Agamben tersebut adalah sangat relevan, patut digarisbawahi dan tentu akan menambah horison pengetahun kritis kita terkait dengan praktik demokrasi modern. Yang kemudian sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai salah satu perangkat kritis untuk melihat dan menelaah praktik  demokrasi di negara kita saat ini dan ke depannya.

***

*) Oleh: Herza, M.A. Dosen Tidak Tetap/LB di Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES