Kopi TIMES

Bisa Jadi Korban atau Pelaku Kejahatan, Lansia Butuh Perlakuan Khusus

Kamis, 14 Januari 2021 - 06:00 | 45.41k
Ihsan Amrullah, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.
Ihsan Amrullah, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kaum lanjut usia yang lebih dikenal dengan Lansia merupakan kelompok masyarakat yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih.

Dalam laporan info data dan informasi (INFODATIN) dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, diprediksi presentase penduduk lansia (60+ tahun) di Indonesia dan dunia mengalami peningkatan pada tahun 2013, 2050, dan 2100. Terjadi peningkatan yang cukup pesat terhadap presentase kelompok lansia sejak tahun 2013 (8,9 persen di Indonesia dan 13,4 persen di dunia) hingga tahun 2050 (21,4 persen di Indonesia dan 25,3 persen di dunia) dan 2100 (41 persen di Indonesia dan 35,1 persen di dunia).

Namun sebaliknya untuk kelompok 0-14 tahun dan 15-59 tahun, presentasenya cenderung mengalami penurunan pada tahun 2050 dan 2100. Terus meningkatnya presentase kelompok lansia di masa yang akan datang, akan menjadikan kelompok lansia sebagai kelompok mayoritas di Indonesia dan dunia yang harus dapat diperhatikan oleh setiap negara. Lonjakan kelompok lansia yang lebih tinggi dibandigkan kelompok muda ini dinamakan population aging atau aging society (Pahlevi, 2019).

Dalam proses penuaan yang terjadi pada seorang individu akan berdampak pada aspek ekonomi, sosial, hukum serta kesehatannya. Dampak dari siklus penuaan ini yaitu, akan membuat individu menjadi kurang produktif, rentan terhadap penyakit, akan membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupan sosialnya, serta membutuhkan adanya perhatian atau perlakuan khusus terhadapnya. Oleh karena itu, lansia tergolong dalam kelompok rentan. Kerentanan yang dimiliki oleh kelompok lansia dalam sudut pandang hukum, akan menjadikan lansia sebagai kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi untuk menjadi korban kejahatan.

Namun dalam beberapa kasus lansia juga dapat berperan menjadi seorang pelaku kejahatan atau tersangka. Dalam laman berita kompas.com, pada tanggal 24 Mei 2019 di Pekalongan terjadi kasus pencabulan yang dilakukan oleh dua orang lansia berumur 58 tahun dan 72 tahun. Kemudian dalam berita kabar gulf news (5/10/2020), pasangan lansia di India tega menghabisi nyawa cicitnya yang baru berusia dua hari dengan 80 luka tusukan karena dianggap sebagai aib keluarga dari hubungan terlarang cucu perempuaanya. 

Walter C Reckless menjelaskan dalam containment theory, bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan, karena berada dalam pengaruh pull factors dan push factors. Pull factors ini berkaitan dengan kondisi lingkungan individu tersebut tinggal dan beraktivitas, seperti kemiskinan, kurangnya kesempatan yang sah, banyak terdapat kesempatan yang tidak sah, atau masalah dalam keluarga, sedangkan push factors merupakan tekanan yang berasal dari dalam diri, seperti permusuhan, gangguan, agresifitas, arahan dan keinginan.

Kasus pencabulan yang dilakukan oleh Lansia di pekalongan, jika dikaitkan dengan containment theory, perilaku itu muncul karena adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan (pull factors), dimana pelaku  melihat keadaan rumah korban yang kosong serta kondisinya yang tua dan renta membuat warga sekitar/korban tidak mencurigai kelakuan bejat pelaku. Selain itu pelaku berbuat cabul juga dipengaruhi oleh push factor  karena pelaku mengatakan “Tiba-tiba kepengen saja” untuk melakukan perbuatannya. 

Kemudian kasus pembunuhan yang dilakukan lansia di India, tindakan tersebut karena push factors yang kuat dengan tidak adanya kontrol diri (inner containment) yang kuat, sehingga memutuskan untuk membunuh cicitnya lantaran malu terhadap masyarakat yang ada disekitarnya. Kedua kasus tersebut menggambarkan bahwa pull factor dan push factors yang kuat tanpa inner containment  dan outer containment (kontrol masyarakat) yang membetenginya, maka seorang lansia yang dianggap rentan pun dapat melakukan tindakan kejahatannya.

Dalam kasus lainnya, lansia melakukan perbuatan melanggar hukum karena berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya kasus Nenek Saulina berusia 92 tahun yang divonis 1 bulan 14 hari penjara karena menebang pohon durian untuk dijadikan tempat pemakaman leluhurnya dan kasus nenek Asyani (63 tahun)  pada tahun 2015 yang divonis 1 tahun penjara karena mencuri dua batang pohon jati untuk dijadikan tempat tidurnya.

Dalam teori hierarchy of needs Abraham Maslow, dijelaskan bahwa seseorang akan menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh lansia tersebut, jelas bahwa kondisi rentan, serta kemiskinan dan kondisi fisik yang tidak lagi kuat untuk mencukupi kehidupannya akan mendorong para lansia tersebut untuk mengambil apa saja yang dibutuhkannya dan serta mudah untuk mendapatkannya tanpa membutuhkan fisik yang kuat, selain itu penurunan  dalam berpikir dan mentalnya akan membuat lansia tersebut mengambil apa saja yang dilihatnya tanpa tahu bahwa hal tersebut dapat membuatnya dipenjara.  Namun orang-orang yang tidak memiliki empati justru memenjarakan para lansia tersebut karena kelemahan dan kerentanan yang dimiliki oleh lansia tersebut untuk membela dirinya.

Tingginya populasi lansia dibandingkan populasi kaum muda (aging society) berimplikasi terhadap tingginya jumlah narapidana atau tahanan lansia yang berada di dalam Lapas/Rutan (Pahlevi, 2019). Perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh narapidana serta tahanan lansia didalam masyarakat merupakan bentuk pengendalian sosial sebagai reaksi (self-help) atas sesuatu penyimpangan atau ketidakadilan yang dipengaruhi oleh struktur sosial, sehingga para lansia yang termasuk kelompok rentan ketika dimasukkan kedalam penjara perlu mendapatkan perlakuan khusus.

Kelompok rentan berhubungan dengan beberapa faktor sosial, personal, situsional, dan lingkungan yang dapat mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap kekerasan, namun tidak adanya kerabat dekat atau dukungan dari orang lain untuk membantu juga akan meningkatkan terjadinya kekerasan di dalam Lapas/Rutan (Adiansyah & Sukihananto, 2017).

Narapidana lanjut usia yang ada di lapas dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni pertama, narapidana yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di dalam sistem penjara dan kedua, narapidana yang dipenjara karena kejahatan (pelanggaran pertama) yang dilakukan di akhir hidupnya(Yates & Gillespie, 2008).

Pengklasifikasian lansia tersebut akan memudahkan petugas dalam memberikan pelayanan, perawatan dan pembinaan bagi petugas. Dalam merawat dan membina para lansia yang ada di lapas, petugas harus dapat mempertimbangkan pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik untuk menangani kebutuhan lansia.  

***

*) Oleh: Ihsan Amrullah, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES