TIMESINDONESIA, JAKARTA – Apakah filsafat memiliki urgensitas di kehidupan manusia modern yang serba instan ini? Yang mana, manusia di masa ini tak perlu memikirkan keruwetan filsafat yang justru membuat carut marut di setiap pikiran manusia. Mereka hanya butuh teknologi modern seperti Smartphone, mobil, motor, dan kartu kredit agar hidup sejahtera. Dan perlahan pun, gejolak pemikiran yang konsekuensial justru dipinggirkan hingga diabaikan. Salah satunya adalah filsafat, yang menjadi ibu bagi segala ilmu.
Di zaman modern ini, manusia merasa nyaman-nyaman saja tanpa berfilsafat. Justru, mereka mencaci dan membenci filsafat karena dianggap sebagai sumber ‘keambiguan’ dan eksistensinya pun tersaingi oleh hal yang lebih instan, sebut saja teknologi. Akan tetapi pada hakikatnya, segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia bermula dari cara berfikirnya dengan suatu pemikiran (filsafat). Bahkan, orang yang mengaku anti berfilsafat sama sekali pun butuh sandaran terhadap suatu filsafat. Oleh karena itu, sebenarnya filsafat mempunyai power bagi setiap manusia, dimanapun dan sampai kapanpun itu.
Manusia pada dasarnya adalah ‘hewan rasional dan intelektual', atau dalam bahasa Arab kita sebut 'hayawaanun naathiq'. Hewan rasional dan intelektual dalam artian puncak kebahagiaan manusia akan tercapai jika kepuasan fisik dan intelektualnya sudah digapai dan dinikmati. Kepuasan fisik bagi manusia saat ini sangat mudah diraih. Karena adanya teknologi yang memudahkan segalanya. Misal, jika kita dilanda lapar di tengah malam, cukup memesan makanan via smartphone, maka tidak lama makanan sudah siap disantap. Lain halnya dengan kepuasan intelektual, yang mana tidak setiap manusia bisa meraihnya dengan mudah. Dan lagi-lagi, filsafat memiliki peran besar dalam hal kepuasan intelektual.
Berbagai aspek kehidupan manusia entah itu ekonomi, politik, sosial, apalagi keagamaan pun tak bisa dilepaskan dari persoalan-persoalan filosofis yang menjadi pondasinya. Termasuk didalamnya makna sejati kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan sebagai tujuan semua solusi persoalan, serta banyak soal mendasar lainnya.
Seperti yang sudah disampaikan mengenai filsafat sebagai pondasi suatu aspek, ekonomi liberaistik misalnya, yang didasarkan pada keyakinan akan sifat rasional mekanisme kehidupan. Yakni, bahwa kehidupan ini akan lebih baik ketika kehidupan tersebut diurus sendiri, tanpa campur tangan negara. Alias, hidup punya 'invisible hand' nya sendiri. Dalam hal ini, beberapa negara khusunya AS dikritik sebagai yang akan merusak mekanisme invisible hand itu sendiri.
Kemudian dalam konsep seseorang atau kelompok tentang suatu persoalan filosofis yang amat mendasar terkait definisi keadilan. Apa yang dimaskud dengan adil? Apakah berarti memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang meskipun hal itu bisa mengakibatkan kesenjangan akibat perbedaan berbagai kelompok masyarakat yang ada, sebagaimana yang dipraktikkan di negara yang berpandangan ekonomi liberal?
Ataukah seperti yang diterapkan di negara-negara kesejahteraan yang menerapkan sistem ekonomi campuran? Ataukah sama rata sama rasa sebagaimana yang dibayangkan dalam masyarakat komunis tertentu yang memujikan campur tangan negara besar-besaran? Apa pandangan manusia modern terkait hal filosofis ini?
Begitupun dalam aspek politik. Pilihan antara pengembangan negara otoriter atau apa yang disebut demokrasi terpimpin, atau demokrasi liberal, terkait dengan suatu isu filosofis mendasar. Yakni, dimana sesungguhnya letak kewenangan (authority) dalam masyarakat? Apakah pada sekelompok bangsawan, raja, intelektual, ulama, atau siapa saja yang punya kelebihan (meritokrasi), atau pada rakyat banyak (demokrasi)?
Persoalan mendasar inilah yang perlu dijawab di tengah porakporanda sistem politik Indoensia yang dihuni oleh sebagian besar manusia modern.
Dari uraian diatas, sedikitnya ada tiga manfaat yang bisa diperoleh manusia modern atas urgensitas filsafat bagi kehidupannya. Pertama, filsafat bisa membekali kita untuk memajukan sikap kritis dalam melihat sistem-sistem yang ada sekarang ini. Kedua, filsafat bisa mendorong manusia modern agar benar-benar memahami kompleksitas persoalan dalam upayanya membangun kehidupan yang lebih baik. Ketiga, hanya dengan penguasaan hal-hal filosofis yang mendasar seperti ini, manusia modern dari berbagai suku, etnis, agama bahkan kelompok masyarakat mana pun, dapar berpartisipasi dalam upaya mencari sistem terbaik bagi kepentingan semua orang. Karena pada dasarnya, perbedaan muncul terutama dalam tataran isu filosofis yang mendasar, sementara variabelnya dikembangkan secara relatif.
Pada akhirnya, masih banyak persoalan lain yang dapat diselesaikan dengan memahami hal filosofisnya. Dalam hal inilah manusia diharapkan dapat memperoleh pegangan hidup yang dapat direnungi, yang mana pada saat yang sama pula dapat memuasi tuntunan intelektualnya. Bukankah Aristoteles juga menyatakan bahwa 'hidup yang tidak direnungi adalah hidup yang tak layak dijalani?'
***
*) Oleh: Muhammad Abid Al Akbar, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Dirasaat Islamiyah.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
filsafat
Publisher | : Rizal Dani |