Peristiwa Daerah

Pameran 'Superficial Readers', Ada Pergeseran Literasi 10 Tahun Terakhir

Rabu, 16 Desember 2020 - 17:15 | 88.68k
Pemeran Dance Theater Energi dalam acara pameran “Superficial Readers” berfoto bersama usai acara. (FOTO: Hendro S.B/TIMES Indonesia)
Pemeran Dance Theater Energi dalam acara pameran “Superficial Readers” berfoto bersama usai acara. (FOTO: Hendro S.B/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Bertepatan dengan momen ke-25 tahunnya sebuah karya dari Dedy Sufriadi, Jogja Gallery menyelenggarakan pameran di Yogyakarta bertajuk 'Superficial Readers'.

Tajuk yang dipilihnya kali ini berdasarkan sebuah narasi lintasan teks digital yang bertebaran sehingga membuat paradoks baru. Tidak ada jaminan membuat pembaca menjadi lebih kritis namun justru membentuk barisan pembaca yang dangkal (superficial).

Sebagai Supervisial Solo Exhibition dalam pameran ini, ia menyebut jika merujuk pada tema yang dipamerkan memiliki arti pembaca-pembaca yang dangkal. Jadi terdapat pergeseran literasi selama kurang lebih 10 tahun terakhir dari dunia literasi analog ke digital.

Dedy SufriadiDedy Sufriadi (kanan) bersama sang ayah Jujuk Prabowo dalam kegiatan pameran “Superficial Readers”. (FOTO: Hendro S.B/TIMES Indonesia)

Efeknya, jelas Dedy, bukan hanya persoalan visual saja namun ada pergeseran pola pembaca yang luar biasa. Ketika dunia literasi digital semakin luar biasa, dampak setelah 10 tahun terakhir ini kegiatan membaca tidak lebih dari kegiatan rekreatif.

“Kalau dulu kita membaca memang sangat edukatif, apa yang kita butuhkan akan membaca buku. Saat itu sangat jelas siapa penulisnya dan penanggung jawabnya di situ,” kata Dedy kepada TIMES Indonesia, Rabu (16/12/2020).

“Atau kita membaca sesuatu kadang-kadang tidak membutuhkan siapa yang menulis, referensinya dari mana karena membaca hanya sebagai sebuah hiburan. Akhirnya yang terjadi hari ini membaca besoknya sudah lupa,” lanjutnya.

Dalam konteks ini, pihaknya menganggap bahwa pameran ini bukanlah sebuah kritikan kepada para generasi literasi digital melainkan sebagai bentuk pemaparan yang cukup logis di era digital seperti saat ini.

“Saya berusaha memaparkan hal ini tapi tidak memberikan sebuah kritik. Meski saya berada di generasi analog tetap saya mencintai generasi digital juga. Jadi ini adalah fenomena yang terjadi sekarang ini,” imbuhnya.

Saat disinggung perkembangan sosial media yang kian marak, Dedy pun menilainya sebagai sebuah kompilasi dengan peningkatan daya baca masyarakat. Akibat adanya sosial media ini, kata dia, semua orang jadi senang membaca.

“Tetapi ada hal yang cukup disayangkan yaitu nilai yang kita dapat atau ketahui itu sangat sedikit dibandingkan dengan membaca buku,” paparnya.

Hal itu juga dikatakan Kolaborator Karya, Jujuk Prabowo. Dirinya pun ikut merespon karya yang dibangun Dedy ini sangat bagus. Artinya, kalimat-kalimat yang terdapat di dalam buku cukup bagus sehingga ia menghimbau agar masyarakat bisa memilih mana buku yang bagus serta isi buku yang bagus.

Namun, lanjut Jujuk, faktanya di jaman sekarang ini sebuah buku digambarkan dengan banyaknya mulut seperti di daerah Barat meskipun akhirnya hal tersebut tidak terbukti. Maka dari itu, ilmu yang paling bagus dalam sebuah buku harus digunakan, yang kurang harus bisa diterima dan disimpan.

“Jangan sampai dibuang tetapi harus bisa disimpan. Dengan gerakan-gerakan yang aku bikin ini ibaratnya sekuat-kuatnya manusia berbicara akan kalah dengan yang namanya air. Goa yang bertahun-tahun kuatnya tetap akan rusak juga batu-batu di goa itu,” terang Jujuk yang juga ayah dari dedy.

“Mengapa demikian, aku lebih sebagai Dance Theater Energi punya pedoman bahwa manusia harus bisa menyikapi keadaan alam,” tuturnya dalam pameran 'Superficial Readers' di Yogyakarta. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES