Kopi TIMES

Titik Berat Bosda Sebagai Penopang Pendidikan Gratis

Sabtu, 05 Desember 2020 - 00:08 | 96.67k
Vanessa Devara Ardine, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Vanessa Devara Ardine, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

TIMESINDONESIA, BANTEN – Sejalan dengan visi misi Pembangunan Presiden Jokowi tentang Program Nawacita yang tercatum di dalamnya tentang  Program “Indonesia Pintar” melalui wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Salah satu bentuk dukungan pemerintah dalam komitmennya dalam rangka merealisasikan program tersebut adalah dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%  dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)  sebagaimana amanat undang-undang.

Dengan program Indonesia Pintar teresbut seyogyanya di semua Provinsi dalam pembangunan pendidikannya mengacu terhadap visi misi tersebut, tidak terkecuali di provinsi Banten.

Dalam janji politiknya, Gubernur Banten menyatakan kebijakan pendidikan gratis yang diberlakukan untuk Sekolah Menengah Atas (SMAN), Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN), dan Sekolah Khusus (SKh) Negeri, BOSDa dilibatkan untuk mendukung sekolah tanpa dipungut biaya atau tanpa melibatkan dana swadaya masyarakatnya.

Namun pada realisasinya Bosda belum optimal dan jauh dengan apa yang diharapkan, sebab masih banyak permasalahan dalam BOSDa itu sendiri. Mulai dari keterlambatan penyaluran Bosda yang dapat menjadi penghambat operasional sekolah gratis, kemudian nominal bosda yang dinilai belum mencukupi untuk dibebani full biaya operasional, hingga kasus tipikor yang diakibatkan kurangnya transparansi sehingga membuat program ini makin terbebani dengan hambatan.

Semenjak dijalankannya kebijakan tersebut, dalam program ini BOSDa tak ubahnya seperti penanggung beban. Sebab dengan adanya regulasi tersebut tentunya sekolah akan berketergantungan pada BOSDa, sehingga timbulah berbagai permasalahan seperti yang sudah disebutkan.

Tahun 2019 Pemprov Banten menganggarkan untuk pendidikan gratis sebesar Rp 1,13 triliun untuk Bosda, dan Rp 907,47 miliar untuk program pendidikan gratis. Namun pasca dua tahun ditetapkannya Pergub banten No.31 Tahun 2018 tentang pendidikan gratis tersebut nyatanya belum optimal dalam pengalokasian sasarannya, seperti masih banyaknya siswa yang mampu bersekolah di sekolah negeri yang digratiskan sedangkan siswa yang tidak mampu yang sudah seharusnya merasakan dampak dari program ini bersekolah di swasta yang tentu kita tahu perlu biaya didalamnya. Pada kenyataannya program ini belum mewakili dan jauh dari harapan masyarakat.

Dalil sekolah gratis seolah-olah hanya janji manis politik saja. Jika ditinjau dari perspektif sekolah, mulai dari awal di praktiknya program tersebut yang melarang sekolah untuk meminta dan melibatkan dana masyarakat yang diatur pada Pergub Banten No.31 Tahun 2018. Pihak sekolah benar-benar kelimpungan untuk menutupi kekurangannya. Selain dukungan APBD Banten dalam bentuk Bosda sangat miris, ditambah seringnya keterlambatan pencairan dana BOS apalagi pada kebijakan pergub ini sekolah benar-benar hanya mengandalkan dana tersebut.

Adapun yang membolehkan melibatkan dana dari masyarakat secara sukarela yang diatur dalam pasal 32 pergub tersebut, dalam peraktiknya nyatanya sulit untuk diterapkan karena khawatir dianggap pungli, hal ini tentunya menghambat proses belajar mengajar yang optimal dan efektif.

Sebagaimana fakta yang terjadi di lapangan, sekolah merasa terbebani mengenai dana BOSDa yang sekarang hanya diperuntukan untuk belanja pegawai. Jadi, dana Bosda telah dihapuskan untuk dana sekolah, dan untuk kegiatan sekolah sepenuhnya diambil dari BOSNas, padahal dalam regulasi ini seharusnya yang berperan banyak itu pemerintah daerah, dan sudah seharusnya pemerintah daerah sebagai penanggung jawab regulasinya.

Kemudian kasus yang belum lama ini terjadi mengenai hal tersebut yaitu ketika BOSDa dihapuskan untuk kegiatan sekolah, salah satu kepala sekolah di kota Tanggerang menyebutkan, sebelumnya Pergub tentang dana BOSDa boleh dibelanjakan untuk pembelian bahan habis pakai, bahan praktikum akomodasi siswa atau guru dalam rangka mengikuti lomba, langganan media massa, pembayaran rekening listrik telepon dan internet. Termasuk dalam hal pembiyayaan pengembangan profesi guru dan kepsek seperti pelatihan MGMP dan K3S/MKKS.

Namun saat kebijakan itu diberlakukan saat ini pihaknya kebingungan untuk mencari dana talangan guna menopang kegiatan belajar mengajar. Kemudian banyak juga kepala sekolah yang terjerat utang kepada rentenir untuk membayar listrik, internet, dan air setiap bulannya. Sedangkan dana BOS dari pemerintah pusat sering mengalami keterlambatan dalam pencairannya. 

Jika Pemprov memang tidak memiliki anggaran untuk program pendidikan gratis, lebih baik pergub Nomor 31 tahun 2018 itu dicabut. Kemudian sekolah diperbolehkan menerima dana partisipasi dari orang tua murid atas kesepakatan bersama dengan komite sekolah.

Sungguh miris sistem pendidikan yang ada saat ini, kesannya memaksakan sedangkan di sini sekolah benar-benar menjadi korban akibat janji politik yang digaungkan itu tanpa realisasi yang jelas, kualitas yang semakin pudar dan pemerataan pendidikan yang nampaknya belum dirasakan oleh pihak-pihak yang membutuhkan.

Pendidikan gratis merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah Banten yang wajib ditunaikan, namun salah jika dalam pelaksanaanya, program ini jutru kualitas pendidikan menjadi hilang arah. 

Banyak hal yang perlu diperhatikan kembali, soal apa yang benar-benar dibutuhkan rakyat kecil dan soal kualitas pendidikan gratis. Bukan hanya sekedar asal menunaikan janji poltik dan pencitraan tentang pendidikan gratis sedangkan sekolah merasa tercekik. Perlu perbaikan dan kesepakatan bersama lagi dalam hal ini, demi terciptanya pendidikan yang efektif, tepat, berkualitas dan selaras dengan harapan masyarakat Banten ini.

***

*) Oleh: Vanessa Devara Ardine, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES