Kopi TIMES

Money Politics, Sadarkah Kita?

Jumat, 04 Desember 2020 - 08:15 | 43.84k
M. Sufi Zulkarnaen, Alumni IPB; Pemerhati Sosial Politik.
M. Sufi Zulkarnaen, Alumni IPB; Pemerhati Sosial Politik.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kondisi di daerah dalam anomali yang berkepanjangan dan belum berakhir, sehingga hadirnya demokrasi sebagai sistem untuk menghasilkan pemimpin masih berada dalam tataran ekspresi belum menjadi kultur dan belum banyak membawa perubahan dalam ber-pemerintah-an. Pergerakan dan pergeseran pendulum dari sentralisasi menjadi desentralisasi, hasilnya belum sesuai dengan yang dikehendaki. 

Otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat di daerah dan amanat reformasi. Malah melahirkan “ethnoolitik”. Bupati/Walikota menjadi seperti raja-raja kecil. Pemilihan langsung sebagai perangkat demokrasi telah dimanipulir oleh avonturir politik. Seseorang harus menyediakan milyaran rupiah untuk maju dan berharap terpilih menjadi kepala daerah. Kursi/kedudukan dalam jabatan publik “KEPALA DAERAH” sepertinya bisa dibeli dengan sejumlah uang. 

Fenomena politik uang dalam pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) sudah mencemaskan. Sebagian masyarakat kita malah menganggap politik uang sebagai sesuatu yang lumrah. Sebab itu berkembang pragmatisme, pemilihan umum kepala daerah atau pilkada tanpa ‘bagi-bagi duit’ rasanya hambar dan tidak biasa. 

Politik uang mempunyai nuansa yang begitu luas, terjalin sistematis, namun tersamar dari aspek hukum formal. Lemahnya peran pengawasan dalam pelaksanaan pilkada dan tidak tegasnya sanksi bagi pelaku semakin menyuburkan praktik politik uang. Politik dan uang sudah sejak lama membayangi kekuasaan. Di negeri yang sistem birokrasi dan politiknya telanjur dikenal korup, di situlah letak masalahnya. 

Bila money politics dimaknai sebagai pertukaran uang dengan posisi atau keputusan politik, maka pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan arena terbuka bagi praktik-praktik politik uang. Agar bisa memenangi pilkada, pasangan kandidat kepala daerah tidak cukup hanya menawarkan konsep dan program yang pro kepentingan rakyat, tetapi harus pula siap dengan logistik dan pundi-pundi untuk bermanuver. 

Sejumlah potensi praktik politik uang (money politics) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung sudah dapat diidentifikasi. Pertama, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan tertentu yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Atau menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja di daerah. Orientasinya adalah 
mempertahankan kekuasaan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme bertambah luas/terjadi dimana-mana. KKN berjamaah tercipta untuk mempertahankan dan keberlanjutan suatu rezim. Terciptalah kondisi ketergantungan dan ketakutan yang berlebihan. Biasanya dilakukan oleh rezim penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Menghalalkan segala cara untuk tetap mempertahankan kekuasaannya, tentunya tidak ada niat dan pikiran untuk mensejahterakan masyarakat, hanya untuk “menghidupi” keluarga, kerabat, dan kelompoknya bahkan untuk membungkus “tindakan korup” sebelumnya. 

Kedua, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara lebih dari 30 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang mempengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan bahkan RT/RW mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon. Tetap saja sebagai target mereka adalah masyarakat yang berpendidikan rendah dan terkategorikan miskin yang jumlahnya tentu lebih besar dibanding masyarakat yang melek politik. Biasanya dilakukan oleh pasangan yang punya pengalaman duduk di pemerintahan eksekutif, disamping punya data juga lebih mengenal arena/peta kondisi masyakarat yang ada. 

Sekarang telah terlihat bahwa pilkada langsung menghasilkan ekses negatif. Maraknya politik uang dalam pilkada langsung kini meluas di kalangan warga masyarakat pemilih, khususnya masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Premanisme pilkada langsung di masa reformasi lebih parah dan lebih canggih serta melibatkan lebih banyak aktor pelaku dibanding dalam pilkada dengan sistem perwakilan pada era terdahulu. Yang lebih buruk lagi adalah kandidat yang muncul adalah keluarga, saudara ataupun kerabat yang masih ada hubungan dengan yang masih duduk atau pendahulunya untuk melanggengkan suatu rezim atas kepentingan dan kekuasaannya. 

Namun yang lebih mengecewakan dari ekses negatif tersebut adalah kenyataan bahwa pilkada langsung ternyata tidak secara otomatis menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas, yaitu yang penuh dengan keteladanan dalam keseharian hidupnya sebagai salah satu upaya menghilangkan krisis dimensional, cakap dalam mengelola pemerintahan daerah dan telah terbukti hasil-hasil karya mereka. Seperti telah banyak kita ketahui bahwa pemenang pilkada langsung umumnya adalah figur-figur atau orang-orang yang didukung oleh “penyumplai amunisi”. Tidak ada inspirasi atas terciptanya good goverment and clean governance. 

Kapitalisasi pilkada tersebut merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi untuk membangun demokrasi substantif di Indonesia dan sudah sepantasnya segera ’diluruskan’ kembali. Apabila terus berlangsung akan melahirkan penyakit apa yang disebut sebagai ’demokrasi gaduh’. Demokrasi yang gaduh pastilah bukan demokrasi yang dikehendaki oleh reformasi dan dapat menambah daftar panjang permasalahan bangsa kita. Konflik dan carut marut yang terjadi dalam pilkada langsung mungkin saja terjadi akibat dari model demokrasi yang gaduh itu. 

Kita semua tahu karakter sosio-ekonomi sebagian besar pemilih, terutama bagi yang tinggal di pelosok pedesaan. Selain miskin, mereka umumnya juga berpendidikan rendah. Karena itu, mereka amat rentan terhadap bujukan uang untuk ditukar suara. Jika hal itu dilakukan, cara semacam itu bukan hanya perbuatan tak elok, tetapi adalah tindakan tak terpuji yang mencederai moralitas dan nilai kejujuran politik demokrasi. 

Perhelatan politik pilkada langsung ini seharusnya dapat menciptakan “perubahan”. Indramayu harus keluar dari krisis yang memprihatinkan melalui perubahan. Tidak hanya pada tataran abstrak, tetapi benar-benar perubahan spesifik yang memerlukan keterlibatan banyak pihak dan dimulai dari hati nurani. Indramayu akan terlepas dari kemiskinan, kebodohan, dan keterpurukan berkepanjangan bahkan kebangkrutan yang lebih dini, apabila mampu melakukan perubahan yang bertumpu kepada harapan. Lepas dari kondisi ketakutan dan ketergantungan yang berlebihan. Sekiranya momentum pilkada di Indramayu akan dimanfaatkan oleh rakyatnya untuk melakukan perubahan dengan memilih pemimpin yang mampu melakukan antara lain : 
1    Merubah human development indect (IPM) yang rendah menjadi meningkat 
2    Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tadinya dibawah 2% (sebelum covid-19) dan.berakibat rendahnya kesejahteraan rakyat. 
3    Memajukan dunia pendidikan yang masih rendah. Selama ini rata-rata lama belajar rakyat Indramayu dibawah 6 tahun (belum lulus SD). 
4    Memberantas KKN. 
5    Menghentikan jual beli jabatan yang selama ini terjadi disemua sektor/bidang. 
6    Menegakkan supremasi hokum. 
7    Meningkatkan layanan dibidang kesehatan. 

Kondisi perekonomian akibat pandemi ini sedang mengalami goncangan dahsat. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pailitnya suatu perusahaan. Kondisi ini memberi peluang besar bagi “mafia politik” untuk bergerilya melakukan aksinya. Masyakarat dihadapkan dengan banyaknya kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi sehingga untuk berpikir obyektif sulit dilakukan. Ekses pilkada langsung belum bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa kepentingan rakyat di kedepankan oleh para kandidat terpilih. Konteks kepemimpinan dalam semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (Ki Hajar Dewantara) akan sulit dihasilkan dalam kondisi seperti ini, pilkada langsung melahirkan pemimpin yang disegani dan berwibawa karena menggambarkan pemimpin tersebut mampu menempatkan diri dimanapun dia berada namun tetap berwibawa akan sulit tercapai. Semangat dan marwah pembatasan periode jabatan kepala pemerintahan (disemua tingkatan) juga sudah banyak disalahartikan. 

Masyarakat di daerah perlu contoh dan teladan. Diperlukannya figur pemimpin sebagai uswatun hasanah (contoh yang baik). Masyarakat perlu akan pemerintahan daerah yang mampu tampil sebagai institusi yang bersih. Peraturan dibentuk dan dijalankan bertitik tolak dari aspirasi rakyat dan keinginan rakyat dalam kerangka supremasi hukum, jauh dari konteks permainan uang dan kepentingan politik. Proses perubahan juga dibutuhkan perlindungan terhadap hadirnya benih-benih baru yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta benih-benih yang tumbuh melalui proses kaderisasi politik di daerah secara elegan. Selamat berpesta demokrasi rakyat indramayu, berhati-hatilah dengan “uang politik” karena kesejahteraan 5 tahun kita sangat dipertaruhkan. 

***

*)Oleh: M. Sufi Zulkarnaen, Alumni IPB; Pemerhati Sosial Politik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES