Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Hak Perempuan yang “Dinomorduakan”

Senin, 30 November 2020 - 18:00 | 80.13k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya di ranah pekerja perempuan  termasuk menjadi problem yang sangat kompleks. Berbagai bentuk kritik ditujukan kepada pemerintah dan korporasi Indonesia yang pada umumnya dikatakan masih belum serius atau bahkan gagal menangani persoalan ketenagakerjaan perempuam. 

Salah satu aspek dalam problem ketenagakerjaan  di Indonesia adalah problem penegakan hak pengupahan, Kesehatan, keselamatan, atau kesejahteraan tenaga kerja  perempuan yang masih terbaca “dinomorduakan”.

Hak-hak tenaga kerja perempuan juga seringkali menjadi topik yang diketengahkan dalam berbagai aksi-aksi sehubungan dengan belum diimplementasikannya perlindungan yang memadai untuknya. Tenaga kerja perempuan yang seharusnya mendapatkan perlindungan atas hak-haknya justru seringkali  kehilangan hak-haknya akibat kepentingan korporasi dan hal-hal tertentu yang lebih diutamakannya.

Disitulah persoalan kemudian tampil ke depan yang akhirnya mencptakan polarisasi dan disharmonisasi hubungan kerja antara tenaga kerja perempuan dengan perusahaan dimana dirinya bekerja. Meski tampak lebih dingin dibandingkan tenaga kerja laki-laki, namun ibarat bara dalam sekam, tenaga kerja perempuan merasa sering memendam kemarahan akibat perlakuan diskriminatif atau tidak adil yang menimpanya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sudah dijelaskan dalam Piagam HAM yang dikenal dengan UDHR (Universal Declaration of Human Rigts) yang disahkan berlakunya 10 Desember 1948  pasal 23 ayat 1,2, 3, dan 4, bahwa:  (1) “setiap orang berhak untuk memperoleh pekerjaan, bebas memilih pekerjaan, syarat-syarat yang adil, dan menyenangkan dari suau lingkungan pekerjaan dan mendapat perlindungan dari pengangguran. (2) Setiap orang tanpa dibeda-bedakan berhak memperoleh upah yang sama atas pekerjaan yang sama. (3) Setiap orang yang bekerja berhak akan imbalan yang adil dan menyenangkan, yang menjamin dirinya sendiri dan keluarganya sesuai dengan kemuliaan martabat manusia dan ditambah pula bila perlu dengan bantuan-bantuan sosial lainnya, dan (4) Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.

CD (Cairo Decla­ration) yang dikenal sebagai Deklarasi OKI yang disahkan pada tanggal 5 Agustus 1990 pada pasal 13 CD juga menyebutkan, bahwa “bekerja adalah hal yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat untuk setiap orang yang siap untuk bekerja. Setiap orang harus bebas untuk memilih pekerjaan yang paling sesuai dan berguna bagi dirinya dan masyarakat”. Pasal 6 CD disebutkan “wanita memi­liki hak yang sama dengan pria dalam mempertahankan derajat kemanusiaannya dan memiliki hak-hak untuk menik­mati hak persamaan tersebut, di samping melaksanakan kewajiban-kewajibannya, memiliki hak sipil dan kebebasan yang berhubungan dengan keuangan dan hak untuk menjaga nama baik pribadi dan keturunannya”.

Baharuddin Lopa (1996) juga menjelaskan, bahwa wanita sama derajatnya dengan pria dan berhak menikmati hidup sesuai tugas dan penampilannya sebagai wanita. Ia juga memiliki hak sipil seperti pria, misalnya mencari ilmu, bekerja dan sebagainya. Ia juga mempunyai hak yang  sama  untuk  menjaga nama baiknya hingga ia meninggal dunia. Hak egaliter ini telah dijamin secara konstitusional sebagaimana disebutkan di dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2) menggaris­kan, bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal itu menunjukkan ten­tang posisi manusia Indonesia yang tidak boleh diperbeda­kan atas alasan gender. Maknamya baik negara maupun perusahaan punya kewajiban menempatkan tenaga kerja perempuan dalam posisi yang tidak dibedakan dalam perlakuan kemanusiaan dengan tenaga kerja kaum lelaki.

Kalau menggunakan pisau analisa teori Fungsionalisme Struktural dapat dipahami, bahwa tenaga kerja perempuan merupakan organ yang menentukan  kekuatan dan kemajuan perusahaan. Ketika organ ini tidak terawat atau tidak mendapatkan perlindungan dengan baik, maka kondisi struktural perusahaan selaku badan akan menjadi sakit.

Sakitnya perempuan yang sedang menjadi pekerja dan sedang menjalankan hak reproduksinya akibat tidak ada daya dukung perlindungan yang baik dari perusahaan dapat dikategorikan sebagai bentuk pengabaian terhadap hak asasi manusia (HAM). Faktanya, hak perempuan ini masih lebih sering ditempatkan secara inferior atau “dinomorduakan”. Hal inilah yang harus didekonstruksi oleh negara maupun perusahaaan.

Perempuan juga tidak boleh diam Ketika hak-haknya diabaikan atau dilecehkan, karena kalua diam saja, maka problem ketidakadilan tidak akan terungkap ke permukaan dan disingkirkannya

 INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES