Kalahkan Teori Pembelajaran Kriminalitas
Sabtu, 28 November 2020 - 18:00 | 16.98kTIMESINDONESIA, MALANG – Suatu “prestasi hitam” yang terus digelindingkan oleh sebagian oknum elitis atas kesuksesannya melakukan bargaining dengan eksekutif, sehingga sumber pendapatan maupun biaya gaya hidupnya berhasil dinaikkan. Secara spektakuler lewat kompromi-kompromi yang dibangunnya, setiap elitis yang “cerdas, piawai, dan brilian” di dalam memeta, mengalokasikan, dan menetapkan pos-pos yang dinilainya bisa dibikinkan sebagai anggaran, akan tetap bisa membuatnya sebagai kumpulan “manusia ningrat”,
Edwin Sutherland, kriminolog kenamaan yang menelorkan istilah WCC (White Collar Crime) atau “kejahatan krah putih” telah membuat tesis tentang akar kriminogen “kejahatan krah putih” ini, bahwa kejahatan itu terjadi bukan disebabkan oleh kemiskinan, melainkan oleh keserakahan. Sutherland tidak menyukai pakar-pakar kriminologi yang tergesa-gesa menyimpulkan kalau kemiskinan itu dapat menyebabkan terjadinya kejahatan. Kejahatan bukanlah miliknya orang-orang miskin, tetapi akibat perilaku orang-orang yang mengumbar dan mempanglimakan keserakahannya.
Pelanggaran moral, agama, hak asasi manusia (HAM), dan hukum kadarnya lebih serius, laten, dan komplikatif jika dilakukan oleh orang-orang terpelajar, punya kedudukan, dan mempunyai modal ekonomi kuat jika dibandingkan yang dilakukan oleh orang-orang miskin.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Komunitas miskin melakukan kejahatan dengan sasaran dan resiko yang kecil seiring dengan status dan minimalitas kemampuan yang dimilikinya. Beda dengan orang kaya, berpangkat, dan terpelajar yang melakukannya, karena komunitas elit ini punya kemampuan rekayasa intelektual (intellectual engineering) untuk membuat scenario kriminalistik, dengan uangnya membeli, menguasai, dan menjadikan orang lain sebagai “zombi”, alias mayat hidup, dan dengan kedudukannya potensial menggunakan pengaruh dan wewenangnya untuk menjadi pesulap struktural yang hebat, melebihi kemampuan pesulap kenamaan David Coperfield.
Salah satu pelaku kriminalitas berkadar membayakan kehidupan publik itu adalah komunitas elit politik nakal atau nekad terjun dan memerangkapkan dirinya menjadi segmen WCC atau mendisain dirinya seperti David Coperfield, yang lihai menyulap, merekayasa, menyalah-alamatkan, atau memproduk dalil-dalil pembenaran secara yuridis-politis yang diorientasikan untuk meregulasi dan memproteksi keserakahan yang sejatinya bercorak sebagai bentuk kejahatan terhadap hak-hak publik.
Sudah sangat banyakitu yang jadi politik yang sedang atau telah berurusan dengan hukum. Sejumlah orang diantaranya bahkan sudah menjalani hari-hari di penjara. Terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan dan tanpa mengurangi makna kinerja aparat dalam menggerakkan segenap mesin criminal justice system, namun komunitas elit nakal yang sedang berurusan dengan hukum itu ternyata berkorelasi dengan masalah gaya hidupnya, setidak-tidaknya lewat tampilan gaya hidupnya yang bercorak klas neo-kapitalis, orang kaya baru, atau orang kaya mendadak.
Gaya hidup yang didesain elitis baik dengan menggunakan “kendaraan” jabatan legislative eksekutifnya maupun di luar komunitasnya, ternyata mampu menjebak dirinya dalam perilaku yang tidak menghormati etika publik, irasional dari prinsip kelayakan hidup sebagai komunitas terpilih dan sedang memanggul amanat kerakyatan, dan berani secara “vulgar” maupun eksklusif melakukan kriminalisasi structural dengan dalih apa yang dilakukannya ini termasuk kompetensinya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dewan terperangkap membangun gaya hidup yang bercorak borjuisme, yang mengotak atau memproduk stratifikasi sosial elit tersendiri, yang tentu saja mengakibatkan terjadinya polarisasi dengan konstituennya dan prinsip tanggungajwab publik. Lela El (2005) menyebut, bahwa keterjebakan dewan dalam perilaku bercorak malversasi norma publik lebih dominan disebabkan gaya hidup selebriti serba instan yang dibangunnya.
Gaya hidup demikian membutuhkan “cost” yang tidak murah, yang mempertaruhkan anggaran atau pos penyangga publik. Malversasi norma hanya akan dianggap sebagai pelanggaran ringan dan bukan modus pembusukan nilai (values decay), karena besarnya daya rangsangan keuntungan yang diarihnya.
Hal itu lebih tampak pada gaya hidup elitis yang berlatar belakang ekonomi pas-pasan, yang perubahannya radikal. Mereka yang berasal dari golongan ini seperti segerombolan orang yang baru menikmati hidup di atmosfir revolusi kebudayaan, yang di dalam dirinya bergolak keinginan untuk selalu tampil beda, mengemas dan unjuk diri sebagai komponen the rulling class, dan mempola konstruksi relasi keluarfa dan sosialnya dengan serba eksklusif.
Mau makan misalnya, mereka kesulitan menentukan tempat, mau belanja harus mencari yang serba luar negeri, mobil harus sering gonta-ganti yang terbaru, perabotan rumah cari yang di tetangganya tidak punya, adalah beberapa sampel potret borjuisme dewan, yang “cost”-nya pasti mahal. Gaya hidup demikian jelas berotal belakang dengan aspirasi publik, apalagi jika disandingkan dengan “wong alit’ yang mau makan saja serba kurang gizi (malnutrisi).
Gaya hidup borjuisme itulah yang potensial membuka kran selebar-lebarnya bagi dewan untuk mengamalkan teori pembelajaran yang diberikan Sutherland, bahwa setiap penyimpangan norma hukum atau penyalahgunaan kekuasaan itu produk pembelajaran. Elitis nakal akan terus mempelajari celah-celah yang bisa digunakan untuk mengisi, mengumpulkan, dan memenuhi pundi-pundi kekayaan seiring dengan besarnya magnet gaya hidup borjuisme yang menuntut dan menghegemoninya.
Dalam teori itu, tidak ada kejahatan di level elit yang tidak merupakan produk pembelajaran. Semakin pintar dan cerdas segmen elit mempelajari peluang di lingkaran strukturalnya, maka akan semakin banyak yang bisa dilahapnya demi memenuhi keserakahan yang tidak kenal titik nadir. Mereka yang jadi pembelajarnya akan terus berlomba untuk gali lobang dan memanfaatkan lobang yang tersedia untuk memakmurkan diri, kroni, dan kerabatnya. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum dan Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
Unisma Malang Universitas Islam Malang
Publisher | : Rochmat Shobirin |