Pendidikan

Guru Besar IAIN Jember: Indonesia Bukan Negara Agama, Bukan Juga Negara Sekuler

Minggu, 29 November 2020 - 08:59 | 91.90k
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I., Guru Besar IAIN Jember. (Foto: dok. pribadi for TIMES Indonesia)
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I., Guru Besar IAIN Jember. (Foto: dok. pribadi for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JEMBER – Akademisi Institut Agama Islam Negeri Jember atau IAIN Jember menegaskan bahwa Indonesia tidak dapat disebut sebagai negara sekuler. Pun bukan negara Islam atau negara agama.

"Indonesia tidak bisa diklaim sebagai negara sekuler, dan juga tidak bisa diklaim sebagai negara agama. Indonesia melindungi semua agama dan itu telah dijamin oleh konstitusi,” ujar Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I., Guru Besar IAIN Jember saat menjadi pembicara utama dalam Studium General Fakultas Syariah IAIN Pontianak yang digelar secara virtual, Sabtu (28/11/2020).

Lebih lanjut Prof Haris, sapaan Harisudin, menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang berideologi Pancasila.

"Indonesia adalah negara demokrasi dengan ideologi Pancasila yang sudah sesuai dengan Islam, atau biasa juga disebut sebagai negara konsensus," jelas Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember tersebut.

Prof Haris menuturkan bahwa sistem hukum di Indonesia atau hukum nasional juga telah menyerap skema-skema hukum Islam, khususnya hukum fikih.

Menurutnya, corak hukum Islam di Indonesia tidak sama dengan yang berlaku di Arab Saudi yang saklek dengan Alquran dan hadis, atau di Turki yang cenderung sekuler.

Dijelaskan lebih lanjut, hukum fikih dalam sistem hukum di Indonesia dibagi menjadi dua bagian yang terdiri dari living law dan positive law.

Living law merupakan hukum yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat dan dipraktikkan secara kultural oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 

Living law bisa disebut juga hukum yang belum menjadi Undang-Undang (UU), seperti halnya fatwa para ulama. 

Sedangkan hukum positif atau positive law, merupakan hukum fikih yang sudah menjadi taqnin (legislasi). 

Perbedaan dari keduanya, living law masih menjadi wacana di tengah-tengah masyarakat (fatwa), sedangkan positive law sudah ditetapkan oleh pemerintah (qadla). 

Selain itu, living law terdapat banyak pendapat mazhab, sedangkan positive law hanya ada satu pendapat yang dipilih. 

Living law tidak bersifat mengikat, sedangkan positive law bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan.

“Skema hukum Islam yang sudah menjadi positive law misalnya seperti UU Perkawinan, UU tentang Waris, UU Perbankan Syariah, UU Pesantren, UU Pengelolaan Zakat, dan sebagainya yang telah ditetapkan di masa Orde Baru (Orba) dan masa reformasi,” ujar Prof Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam itu.

Beberapa contoh living law dalam UU No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), misalnya nikah tidak perlu dicatat, cerai tidak perlu di muka pengadilan, poligami tidak perlu izin dari Pengadilan Agama, dan lain-lain. 

Namun dalam positive law-nya, setiap pernikahan harus dicatat, cerai dilakukan di pengadilan, dan sebagainya.

Misalnya lagi dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pada living law, wakaf organisasi dan wakaf badan hukum tidak diatur, sedangkan pada positive law wakaf organisasi dan wakaf badan hukum diatur.

“Kendatipun demikian, taqnin hukum Islam masih banyak kelemahan dan tantangan. Misalnya masih banyaknya yang belum memahami hukum positif, terlebih kaum pesantren. Posisi KHI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), dan seterusnya yang masih lemah, ditambah kurang dukungan untuk memperjuangkan UU berbasis syariah,” jelas Prof Haris.

Dia juga menambahkan bahwa kekuatan hukum Islam di Indonesia masih sangat berpengaruh dalam sejumlah sendi kehidupan masyarakat.

Hal tersebut mengingat mayoritas penduduk Indonesia atau 87 persen dari total jumlah penduduk merupakan pemeluk agama Islam; hukum Islam sebagai living law masih masif diajarkan di pesantren maupun lembaga-lembaga pendidikan; adanya lembaga fatwa seperti Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Muhammadiyah; serta adanya lembaga negara yang menerapkan hukum Islam seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Kantor Urusan Agama (KUA), bank syariah, dan lainnya.

"Kendati demikian prospek hukum Islam ke depannya tergantung pada arah politik hukum pemerintahan, para politisi di parlemen, dan usulan serta kawalan para civil society," imbuh Prof Haris, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES