Kopi TIMES

Krisis Politik Belarus: Momentum Perubahan?

Jumat, 20 November 2020 - 18:34 | 85.87k
Rizky Ridho Pratomo, Alumni Hubungan Internasional UPNVJ. Saat ini aktif di ENERGI Bogor, salah satu NGO yang bergerak di bidang kajian kebijakan publik Kota Bogor. 
Rizky Ridho Pratomo, Alumni Hubungan Internasional UPNVJ. Saat ini aktif di ENERGI Bogor, salah satu NGO yang bergerak di bidang kajian kebijakan publik Kota Bogor. 

TIMESINDONESIA, BOGOR – Belarus saat ini berada dalam pusaran krisis politik. Keinginan rakyat akan adanya pergantian kepemimpinan baru yang demokratis, inklusif, dan juga regeneratif untuk melepas status sebagai negara otoriter terakhir di Eropa menjadi pupus.

Hasil pemilu pada 9 Agustus yang memenangkan kembali Alexander Lukashenko membuat situasi menjadi tidak terkendali. Setidaknya, sebanyak 100 ribu orang berdemonstrasi di Minsk menuntut Lukashenko turun dari tahtanya sejak terpilihnya Lukashenko. 

Bahkan, tiga bulan setelah Lukashenko terpilih, demonstrasi menjadi semakin masif. Tuntutan rakyat Belarusia agar Lukashenko turun sangat besar. Kasus Belarus mirip dengan Venezuela dimana Maduro memenangkan pemilu dengan cara yang tidak "lazim". Lukashenko mirip seperti itu, terlebih situasinya terjadi saat pandemi. Namun, seperti ciri khas negara dengan hasil pemilu yang tidak diakui, demonstrasi berbuntut pertikaian. 

Pemerintah menunjukkan sikap represif kepada para demonstran. Pada 12 November lalu, Raman Bandarenka, seorang Seniman lukis, meninggal karena 'ditahan' oleh polisi. Saat wawancara dengan media negara pada 13 November, Lukashenko menuding bahwa gerakan politik yang saat ini terjadi tidak diakui secara hukum. Dia membandingkannya dengan 'Revolusi warna' yang disokong Barat dalam Eropa pasca-Soviet.

Tentu, sikap seperti ini bisa diprediksi ketika pemimpin yang secara de facto tidak sah untuk mempertahankan kekuasaan. Selain itu, pada Minggu kemarin, sebanyak 1.000 orang ditahan oleh aparat penegak hukum Belarus. Total, sebanyak lebih dari 17.000 orang ditahan dan diperlakukan tidak manusiawi oleh polisi sejak pemilu.

Lantas, berbagai upaya represif yang dilakukan Lukashenko sampai saat ini menunjukkan keinginannya untuk tetap berkuasa. Terlepas dari ada atau tidaknya legitimasi dari publik, dia harus tetap menjadi pemimpin di negaranya. Terlebih, Lukashenko juga didukung oleh Rusia yang notabene memiliki kepentingan yang cukup besar di Belarus.  

Secara geopolitik, Belarus berperan sebagai negara 'penyangga' bagi Rusia untuk menghambat ancaman dari NATO. Sementara itu, negara yang berbatasan langsung dengan Belarus seperti Lithuania, Latvia, dan Polandia merupakan anggota NATO. Rusia masih bisa bernafas sedikit karena kehadiran Belarus.

Namun, jika Belarus lepas dari genggaman, tentu konsekuensinya akan cukup besar bagi Rusia karena tidak ada lagi negara 'penyangga'. Rusia akan dikelilingi oleh negara anggota NATO - kecuali Moldova dan Ukraina.  Pertimbangan ini yang melandasi Rusia yang pada September lalu bersedia memberikan pinjaman darurat sebesar 1.5 miliar dollar kepada Belarus. Hal ini supaya Belarus tetap berada dalam genggamannya. Mereka ingin membuat Belarus terus bergantung pada Rusia dan mempertahankan pengaruhnya. 

Oleh karenanya, krisis politik Belarus saat ini membuatnya berada pada persimpangan kritis: apakah mereka tetap menjadi negara otoriter atau berubah menjadi negara yang demokratis. Jika Belarus menjadi negara Demokrasi, lanskap geopolitik akan berubah terutama di kubu Rusia. Sementara, barat akan menyambut dengan sukacita karena Belarus menjadi negara demokratis. 

Namun, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Pertama, dengan cara apa lagi Lukashenko akan mempertahankan posisinya lebih jauh? Lukashenko masih menjadi pemimpin de jure Belarus sehingga dia masih bisa mendemonstrasikan kekuasaannya. Kemungkinan, Lukashenko akan mengubah hukum dan birokrasi agar sesuai dengan keinginannya. Dengan itu, statusnya sebagai pemimpin bisa bertahan lebih lama. 

Selain itu, apakah rakyat Belarus bisa menggulingkan Lukashenko dengan kemampuan sendiri atau membutuhkan pihak ketiga sebagai mediator? Uni Eropa sudah mengecam tindakan represi dari polisi dan memberikan sanksi. Mereka bisa memberikan semacam 'bantuan', namun Rusia juga akan melakukan hal yang sama. Sudah tiga bulan protes digaungkan, namun belum menunjukkan tanda-tanda Lukashenko turun dari jabatannya.

Apakah Belarus akan seperti Venezuela? 

***

*)Oleh: Rizky Ridho Pratomo, Alumni Hubungan Internasional UPNVJ. Saat ini aktif di ENERGI Bogor, salah satu NGO yang bergerak di bidang kajian kebijakan publik Kota Bogor. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES