Politik Pilkada Serentak 2020

Kader Partai Saling Belot, Djarot: Machfud Arifin Terapkan Strategi Kolonial

Jumat, 20 November 2020 - 14:54 | 38.94k
PDI Perjuangan dalam Pemilihan Wali Kota Surabaya 2020. (FOTO: Ammar Ramzi/TIMES Indonesia)
PDI Perjuangan dalam Pemilihan Wali Kota Surabaya 2020. (FOTO: Ammar Ramzi/TIMES Indonesia)
FOKUS

Pilkada Serentak 2020

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Gelaran Pilwali Surabaya 2020 diwarnai aksi saling belot antar kader partai. PDI Perjuangan mendapat paling banyak cobaan dalam hal ini.

Djarot Syaiful Hidayat, Sekjen PDI Perjuangan bahkan sampai menyebut Machfud Arifin sengaja menggunakan strategi memecah belah.

"MA (Machfud Arifin) telah melakukan politik devide et empire ala kolonialisme Belanda," ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Times Indonesia, Jumat (20/11/2020).

Tri-Risma-Harini.jpg

Pernyataan Djarot tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya nama Mat Mochtar yang merupakan sosok 'sesepuh' PDI Perjuangan di Kota Pahlawan bisa membelot dari titah Megawati. Ia lebih memilih mendukung Machfud Arifin-Mujiaman daripada Eri Cahyadi-Armuji yang direkomendasikan partainya.

Hal serupa juga dilakukan kelompok Banteng Ketaton yang terdiri dari kumpulan kader dan simpatisan PDI Perjuangan lawas. Para kader itu diduga masih tidak terima dengan dicalonkannya Eri Cahyadi.

Mereka lebih suka jika Whisnu Sakti Buana sebagai kader asli yang menjadi calon wali kota. Apalagi, Whisnu dinilai sudah banyak merasakan pahit manisnya pemerintahan selama di DPRD Surabaya dan dua periode mendampingi Tri Rismaharini sebagai wakil wali kota.

Pembelotan terbaru di internal PDIP dilakukan oleh Jagad Hariseno. Kakak dari Whisnu Sakti Buana itu secara terang-terangan telah mendeklarasikan diri mendukung Machfud Arifin. Padahal Jagad dan Whisnu adalah anak dari Soetjipto, mantan petinggi PDI Perjuangan. Keduanya kini berseberangan.

apk-kampanye.jpg

Menurut Djarot, Machfud Arifin melakukan hal tersebut karena kurang begitu paham masalah pemerintahan. Maka ia menempuh strategi memecah belah, termasuk dalam mendekati Jagad.

"Politik pemecah belah selama masa kolonial Belanda selalu dilawan oleh seluruh anak bangsa, termasuk NU, Muhammadiyah, dan PNI saat itu," kata Djarot.

"Jadi rasanya kurang elok kalau tim MA menjalankan politik adu domba, termasuk apa yang dilakukan oleh Mat Mochtar. Sebab itu cara kolonial yang ditentang arek-arek Surabaya," tambahnya.

Kendati demikian, pengamat politik Universitas Sunan Ampel Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi menilai bahwa perpecahan yang terjadi di internal PDI Perjuangan bukan buah manis dari strategi devide et impera yang dijalankan Machfud Arifin-Mujiaman, melainkan murni bentuk kekecewaan kader partai.

"Saya kira Machfud itu tidak sampai berkeinginan dan punya skenario yang sedemikian canggih untuk memecah belah PDIP. Dalam konteks ini tanpa dipecah belah, PDIP ya sudah pecah belah," kata Achmad pada Rabu (19/11/2020).

Lanjut Achmad, Machfud hanya sebatas memanfaatkan kekecawaan sejumlah kader PDI Perjuangan yang sudah terpendam dan terakumulasi sejak 2010. Ketika Risma yang merupakan outsider (orang dari luar partai) dicalonkan menjadi wali kota Surabaya. Megawati kembali melakukan hal yang sama pada Eri Cahyadi.

DPP partai berlogo banteng moncong putih itu kini telah memecat Mat Mochtar. Sebagai anggota partai ia diwajibkan untuk tunduk patuh memenangkan Eri Cahyadi-Armuji, bukan sebaliknya.

"Saya tahu persis bagaimana sebelum mengambil keputusan, Ibu Megawati  melakukan kontemplasi. Bahkan saat itu agar keputusan benar-benar sesuai harapan rakyat Surabaya, sebulan sebelum Eri-Armuji diumumkan, Ibu Mega tidak mau terima tamu termasuk Bu Risma," tutur mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.

Dengan begitu menurut Djarot, keputusan yang diambil benar-benar jernih, tulus, untuk masa depan Kota Surabaya. Eri diputuskan sebagai calon PDI Perjuangan karena dinilai merupakan sosok muda yang berprestasi di Surabaya.

Ternyata fenomena membelot tak hanya terjadi di tubuh PDI Perjuangan saja, sejumlah kader NasDem yang seharusnya mendukung Machfud-Mujiaman berbelok memilih Eri-Armuji. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, 14 pengurus DPC (setingkat kecamatan) memilih mendukung Eri Cahyadi dan Armuji ketimbang Machfud Arifin yang secara resmi direkomendasi partai tersebut.

Mereka mengaku siap dengan segala risiko sanksi dari partai, sebab pencalonan Machfud Arifin dinilai menyakiti hati.

“Kami 14 DPC NasDem siap memenangkan pasangan Eri Cahyadi-Armudji, itu sudah menjadi tekad kami," tegas Ketua DPC Nasdem Kecamatan Tandes, Suherman pada 12 November 2020.

Terhitung 19 hari lagi Pilwali Surabaya 2020 akan digelar. Akankah aksi saling belot kader partai bakal terus bermunculan? (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES