Peristiwa Daerah

Penanganan Terorisme oleh TNI, Akademisi: Jangan Sampai Melanggar HAM

Jumat, 20 November 2020 - 10:14 | 43.27k
Amira Paripurna, peneliti Pusat Studi HAM Unair Surabaya dalam webinar Raperpres penanganan terorisme. (FOTO: tangkapan layar webinar)
Amira Paripurna, peneliti Pusat Studi HAM Unair Surabaya dalam webinar Raperpres penanganan terorisme. (FOTO: tangkapan layar webinar)

TIMESINDONESIA, JEMBER – Pemerintah diminta untuk cermat dalam pembahasan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) penanganan terorisme dengan melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Termasuk dalam hal payung hukumnya.

"Kami mengapresiasi niat baik pemerintah untuk memberantas terorisme. Tapi jangan sampai hal itu melanggar HAM dan memberangus pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah,” tutur Pakar Hukum Pidana Universitas Jember (Unej) I Gede Widhiana dalam diskusi yang diselenggarakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember, Kamis (19/11/2020).

Karena menurutnya, pelibatan aparat TNI dalam penanganan terorisme berpotensi terjadinya pelanggaran hukum atau HAM.

Peringatan senada juga disampaikan Amira Paripurna, dosen pidana yang juga peneliti Pusat Studi HAM Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Dia menerangkan, pelibatan militer untuk operasi penanggulangan terorisme sebenarnya banyak dilakukan di berbagai negara, namun tetap harus membutuhkan payung hukum yang jelas.

Raperpres tentang pelibatan TNI untuk penanganan terorisme yang kini sedang dibahas pemerintah, dinilai Amira masih banyak ketidakjelasan.

“Di dalam Raperpes tersebut, pelibatan TNI  hanya atas dasar perintah Presiden. Ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI yang harus melalui keputusan politik negara,” tutur Amira.

Amira menambahkan, masalah lainnya yakni Raperpres tersebut juga memuat pasal yang membuka ruang untuk pendanaan penanganan terorisme di luar anggaran negara.

“Ini bisa menimbulkan masalah. Sumber dana dari mana, karena ini bisa bertentangan UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI,” ujar peraih PhD dari University of Washington, Amerika Serikat (AS) itu.

Potensi masalah juga terjadi ketika TNI diberi kewenangan melakukan penindakan. Seperti ketika TNI diberi kewenangan untuk menangkap orang yang diduga terlibat terorisme.

“Meskipun nantinya tetap saja harus diserahkan ke polisi, tetapi situasi di lapangan bisa berbeda. Misalnya terduga pelaku itu akan ditaruh di tempat tersembunyi milik militer. Ini berpotensi melanggar prinsip free trial. Karena seperti ketika proses di kepolisian, tersangka juga berhak mendapat pendampingan dari pengacara,” papar Amira.

Dia mengatakan bahwa sebenarnya pelibatan TNI dalam operasi pemberantasan terorisme sudah ada. Namun dengan berbagai pembatasan

"Pelibatan TNI itu memang bisa dan perlu tetapi jangan sampai ada impunitas. Misalnya dalam prosesnya terjadi pelanggaran hukum oleh personel militer, siapa yang akan menangani. Karena peradilan militer masih tertutup,” paparnya.

Sementara itu, Mukhamat Liberty Ady Surya, kandidat doktor dalam bidang terorisme di Queensland University of Technology (QuT) menekankan pentingnya keterlibatan lembaga negara lain untuk bersama-sama menangani terorisme.

“Sebenarnya ada lembaga lain yang punya peran penting. Seperti Dirjen Lapas, yang menangani napi terorisme dan juga Kementerian Sosial untuk membantu mantan napiter,” ujar Ady yang juga perwira di Polri ini.

Dari sejumlah penelitian, menurut Ady, hanya empat persen mantan napi terorisme yang kembali mengulangi perbuatannya.

Namun dia menekankan, proses deradikalisasi bersifat sangat individual, tergantung pada masing-masing mantan pelaku teror tersebut. Karena itu, dibutuhkan dukungan dari masyarakat untuk mau menerima kembali mantan terorisme yang ingin berubah.

“Proses deradikalisasi itu bersifat individual sekali. Setelah menyelesaikan masa hukuman, ada yang menjadi tidak radikal, ada yang makin radikal, ada yang tetap radikal tetapi tidak menunjukkan,” tutur alumnus Fakultas Psikologi UI ini.

Para mantan napi terorisme yang kembali bergabung dengan kelompoknya, biasanya dikarenakan tidak ada penerimaan dari masyarakat sekitar.

“Ketika napiter yang sudah meninggalkan ideologinya itu bisa diterima dengan nayaman di lingkungannya, kecil kemungkinan dia akan kembali menjadi teroris. Mereka yang kembali jadi teroris umumnya karena hanya kelompoknya saja yang mau menerima. Jadi sebaiknya masyarakat jangan takut kepada mereka,” imbuhnya dalam diskusi penanganan terorisme dengan pelibatan TNI. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES