Kopi TIMES

Mengenali Korupsi untuk Pencegahannya di Lembaga Pemasyarakatan

Jumat, 20 November 2020 - 00:33 | 135.05k
Ihsan Amrullah, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM RI.
Ihsan Amrullah, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM RI.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Perilaku koruptif di Indonesia masih cukup fluktuatif, berdasarkan update data dari KPK pada tanggal 1 Juni 2020, angka penindakan kasus korupsi terus meningkat sejak tahun 2004 sampai tahun 2018 sebagai puncak penindakan kasus korupsi sebanyak 736 kasus dan kembali menurun di tahun 2019 dan 2020.

Pertumbuhan perilaku koruptif ini tidak hanya menghancurkan perekonomian negara tetapi juga merusak tatanan pemerintah dan menggangu ketahanan nasional. Tindakan korupsi dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara freelance (tindakan korupsi yang dilakukan tidak tersusun secara sistematis tapi perorangan) dan korupsi yang tersusun secara sistematis dan melibatkan banyak orang (Moonti & Kadir, 2018).

Perilaku koruptif tidak hanya terjadi di tingkat pemerintahan dan lembaga legislatif, namun juga telah masuk kedalam lembaga penegakan hukum yang berperan dalam sistem peradilan pidana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (NANSI, 2020).  Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat untuk membina dan mengamankan para narapidana, yang merupakan bagian akhir dalam sistem peradilan pidana.

Pembinaan yang dilakukan di Lapas merupakan suatu perubahan paradigma pemidanaan retribution menjadi reintegration, yang tidak lagi berusaha untuk menjerakan para narapidana sebagai bentuk balas dendam dari negara, melainkan berorientasi pada penyadaran serta perbaikan diri dari para narapidana, sehingga mereka mampu bersatu kembali dalam masyarakat sebagai seseorang yang bertanggung jawab dan produktif. Masuknya perilaku koruptif di Lapas akan membuat pembinaan menjadi tidak sehat sehingga tujuan pemidanaan reintegrasi sosial.

Mongillo (2012) menjelaskan bahwa “There are two theories to explain the growth of corruptive behavior, the first theory supports the fact that the corruption is essentially economic and the second theory believes that the cause of corruption is socio-cultural”(Guven, 2020). Teori pertama menjelaskan bahwa tindakan korupsi didasari dengan pertimbangan yang rasional antara biaya (pelaku korupsi) serrta potensi ditangkap dan beratnya pidana yang dijatuhkan dengan hasil yang didapatkan dengan tindakan melawan hukum tersebut. Sedangkan teori yang kedua itu mempercayai bahwa korupsi itu merupakan suatu tindakan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang disesuaikan dengan starata sosial yang dimilikinya.

Jika dianalisis beradasarkan dua teori dari Mongillo (2012), perilaku koruptif yang muncul di Lapas berawal dari tingkat overcrowded yang tinggi, sehingga membuat para narapidana berusaha untuk mendapat tempat dan pelayanan hak yang terbaik ketika berada di dalam Lapas, dengan pertimbangan kebutuhan yang tinggi membuat para narapidana melakukan tindakan manipulatif dengan memanfaatkan kekayaan atau starata sosial yang dimilikinya untuk menyuap petugas untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas ilegal serta pelayananan hak yang cepat dan mudah.

Mentalitas dan integritas dari petugas yang rendah juga akan mempengaruhi tumbuh dan berkembangya perilaku koruptif di dalam Lapas, yang diperkuat dengan pernyataan Rahman Saleh, bahwa teradapat empat faktor merajelelanya tindakan korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat, dan rendahnya poilitical will (Nansi, 2018). Mental petugas yang rendah sehingga menyalahgunakan wewenangnya merupakan suatu tindakan korupsi untuk memperkaya dirinya, yang diperkuat dengan pernyataan bahwa “Corruption can be defined as the use of personal influence in exchange for illicit gains”(Peltier, 2018).

Dengan adanya transaksi ilegal (korupsi) antara narapidana dengan petugas yang terjadi di suatu lapas akan membuat pembinaan narapidana tidak berjalan dengan baik karena petugas yang seharusnya memberikan pembinaan dapat dibeli oleh narapidana. Maka dari itu diperlukan tindakan pencegahan ataupun pemberantasan tindakan korupsi yang terjadi di dalam Lapas, karena upaya pencegahan lebih baik daripada menanggulangi tindak pidana korupsi itu sendiri (Rusdiana & Hikmah, 2020). 

 Tindakan pencegahan korupsi di Lapas dapat dilakukan dengan menumbuhkan budaya anti korupsi serta menerapkan e-government di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Menumbuhkan budaya anti korupsi ini penting untuk dilakukan dalam meningkatkan kesadaran petugas untuk tidak melakukan tindakan korupsi, penumbuhan budaya anti korupsi ini juga berjalan beriringan dengan penerapan e-government. “eGov services are thought to increase effectiveness and efficiency of government services through improved connectivity and better access (Lallmahomed et al., 2017).

Penerapan e-Gov dalam sistem pemasyarakatan, akan meningkatkan transparansi, akuntabilias, serta kecepatan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan publik bagi masyarakat dan narapidana yang berimplikasi juga dengan tindakan preventif terjadinya tindakan korupsi.

Sebagai bentuk pengejawantahan untuk menumbuhkan budaya anti korupsi dan meningkatkan e-government dengan adanya pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang digaungkan oleh Kementrian Hukum dan HAM kepada seluruh unit kerja yang ada dibawahnya termasuk Lapas.

Hasibuan (2013) menjelaskan beradasarkan Peraturan  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52 tahun 2014 bahwa terdapat 6 area perubahan yang harus dibangun dalam membangun ZI, yakni bidang manajemen perubahan, penataan tatalaksana, penataan manajemen SDM, Penguatan Akuntabilitas, Penguatan pengawasan dan peningkatan kualitas pelayanan (Sucipto et al., 2019).

Dalam membangun zona integritas dalam lingkungan pemasyarakatan diperlukan juga adanya pemahaman terkait “apa itu korupsi ?” untuk membangun budaya anti korupsi dalam meningkatkan kesadaran untuki tidak melakukan korupsi bagi setiap petugas, seperti yang dijelaskan Shapko (1997), “However, it is important to not only understand the negative nature of corruption and form a belief in its immorality and illegal nature, but also to neutralize the influence of cultural loyalty patterns of corruption and update anti-corruption stereotypes found if not in the actual culture (Dorozhkin et al., 2016)”.

Dalam membangun ZI di suatu unit pelaksana teknis diharuskan adanya penerapkan teknologi informasi dalam meningkatkan transparansi serta kemudahan dan kecepatan dalam mengakses layanan publik dan informasi yang ada di lapas. Transparansi yang diterapkan pada proses pelayanan publik dapat membuat warga negara menyadari komitmen pemerintah (diekspresikan melalui kebijakan dan rencana), dan target yang menjadi tolok ukur kinerja pemerintah (Vian, 2020). 

***

*) Oleh: Ihsan Amrullah, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM RI.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES