Kopi TIMES

Melucuti Gerakan Populis

Jumat, 20 November 2020 - 02:06 | 129.38k
Zulfikri Nurfadhilla, Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia Cabang Malang Raya. 
Zulfikri Nurfadhilla, Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia Cabang Malang Raya. 

TIMESINDONESIA, MALANG – Kepulangan Habib Rizieq Shihab ke Indonesia dari Arab Saudi menjadi momentum yang ditunggu-tunggu bagi umat islam wa bilkhusus kalangan simpatisan FPI ( Front Pembela Islam).

Bagaimana tidak, pada saat hari penjemputan beberapa waktu lalu, Ribuan bahkan jutaan massa berbondong-bondong datang ke bandara menyambut kedatangan Imam besar FPI tersebut. Membludaknya massa membuat beberapa lalu lintas keberangkatan penerbangan terganggu. Di antara penumpang yang hendak melakukan keberangkatan juga turut mengganti jadwal keberangkatannya lebih lama. 

Tentu, hal ini menjadi fenomena baru dalam bingkai perjalanan kebangsaan kita.  Seorang tokoh besar yang sudah 3 tahun lebih lamanya dirindukan akhirnya pulang ke tanah air. saya memandang hal ini bukan hanya HRS merupakan imam besar FPI, melainkan juga kaitannya dengan fenomena politik belakangan ini.  

Gerakan Populis

Populisme dapat didefinisikan sebagai sebuah "ideologi" yang membagi masyarakat ke dalam dua kelompok bertentangan antara "orang-orang murni" dan "elit-elit korup" (Mudde & Kaltwasser, 2017). Orang-orang murni ini kerap digambarkan sebagai masyarakat umum yang dirugikan oleh pemerintah korup (para elit). 

Ide politik yang dibangun ialah bagaimana menjalankan pemerintahan berdasarkan pada suara mayoritas masyarakat. Definisi lain menjelaskan bahwa populisme bukanlah sebuah agenda tertentu, tetapi sebuah cara tertentu: mobilisasi massa melawan "mereka" yang di atas (Pelinka, 2008).  Kedua definisi tersebut memiliki sebuah kesamaan yang merupakan inti dari populisme: masyarakat, elit, dan kehendak umum (Mudde & Kaltwasser, 2017).

Kaitannya dengan gerakan populis, Di indonesia, politik Identitas yang belakangan ini gencar menjadi gaung dan propaganda isu yang marak di permukaan. Bangunan gerakan ini masih dalam landscape populisme kanan dan jauh lebih konservatif. 

Sejak kasus Ahok pada 2017 lalu, isu-isu Identitas berbasis agama dan SARA menjadi dagangan laku yang kerap menjadi senjata bagi langgengnya karpet kontestasi kekuasaan. Hal ini disusul dengan gerakan 212, reuni dan segala turunannya. Dengan mengatasnamakan islam sebagai korban dan umat yang dilukai, beberapa tokoh besar muslim menggalang dan memobilisasi massa dalam mengisi pos-pos oposan.

Semarak dalam melawan penindasan atas nama agama, buntut panjangnya terjadi hingga hari ini. Kepulangan Habib riziq turut disertai dengan semangat perlawanan terhadap rezim kekuasaan.  Revolusi akhlak yang disebut sebagai misi perjuangan kepulangannya pun turut disambut dengan gembira dari sebagian kalangan kaum muslimin. 

Patut diakui kepulangan HRS menjadi pelecut daya juang yang lebih besar bagi kaum populis dalam melawan elit kekuasaan.  Meski di samping itu bagi sebagian kalangan muslim progressif, kepulangan habib rizieq dinilai menjadi pemantik isu SARA yang kian meradang. 

Gerakan populis memang tidak seutuhnya membawa semangat umat dan rakyat yang tertindas secara parsial. Ada banyak sempalan-sempalan dimana semangat ini hanya dibawa berdasarkan agama mayoritas. Sedang dalam internal mayoritarian sendiri terjadi banyak paham-paham yang berseberangan. 

Dilematisasi ini menguat dengan ramai nya kasus habib-lonte yang terjadi kemarin sore. Ada jurang yang jauh memisahkan antara cara pandang kita terhadap ulama dan kesalehan sosialnya. Peristiwa tersebut tentu mengundang banyak respon dan asumsi dari banyak kalangan. Tak sedikit yang merasa tergores batinnya, resah jiwanya, bahkan gamang secara eksistensial.

Menjadi petaka luar biasanya ketika orang-orang juga mulai antipati terhadap figur habaib. Padahal, sejatinya pemisahan cara pandang antara subjek dan perilaku menjadi penting bagi kita lekatkan kepada ulama yang diberi kemuliaan lebih. Setali tiga uang, Gerakan populis ini menjadi genjot utama terkikisnya semangat pluralisme dan kebhinekaan. Dalam prakteknya gerakan populis yang dilakukan belakangan ini menjadi alat pukul bagi siapapun yang hendak mengkritik, lebih-lebih melawan. atau memberikan argumen yang seimbang.

Siapapun yang berani menjegal gerakan ini, akan dinilai sebagai orang kafir, antek-elit bangsat, dan judgement kriminalisasi ulama. Keadaan seperti ini menjadi sulit karena yang dihadapi bukan lagi rasionalisasi gerakan massa, melainkan tameng ayat dan dalil-dalil suci. Semangat yang dibawa pun tidak lagi semangat keadilan egalitarian, melainkan spirit moralitas islam yang hendak diselundupkan dalam bingkai keindonesiaan. 

Lalu apa yang perlu disikapi negara sebagai langkah? sekurang-kurangnya istana dapat memberikan keterangan sosial teks tentang berbangsa dan bernegara hari ini. Negara sepatutnya menjembatani berbagai macam semangat gerakan yang terjadi di lapisan horizontal. 

Negara perlu merekatkan kembali keretakan semangat pluralisme dan kebhinekaan, menjadikan ayat suci dan konstitusi sebagai prisma kesatuan. Dengan benar, pada sisi prinsipilnya sampai hilir prakteknya.

Sampai kita tiba pada makna esensial apa yang dimaksud kebangsaan. apa yang menjadi orientasi bernegara.

***

*)Oleh: Zulfikri Nurfadhilla, Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia Cabang Malang Raya. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES