Kopi TIMES

Mengingat Kembali Tabrani, Peneroka Bahasa Indonesia

Kamis, 19 November 2020 - 08:21 | 264.85k
Rangga Asmara, Dosen Bahasa Indonesia Universitas Tidar; Kandidat Doktor Linguistik Universitas Gadjah Mada.
Rangga Asmara, Dosen Bahasa Indonesia Universitas Tidar; Kandidat Doktor Linguistik Universitas Gadjah Mada.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pada 1 September 2019, Ivan Lanin seorang wikipediawan membuat kuis kilat soal siapa pencetus 'bahasa Indonesia' di Twitter. Dari 6.214 warganet yang berpartisipasi, 37,6 persen warganet memilih Mohammad Yamin, 35,2 persen memilih Sutan Takdir Alisjahbana, 14,4 persen memilih Jus Badudu, dan 12,8 persen memilih Mohammad Tabrani.

Dari survei itu dapat disimpulkan bahwa warganet kurang memahami identitas (sejarah) bahasa Indonesia. Padahal, Bung Karno sebagai founding father selalu menyerukan agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah fakta yang miris di tengah masifnya penggunaan teknologi dan media sosial. 

Perjalanan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan tak terlepas dari sosok Mohmamad Tabrani. Jurnalis kelahiran Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904 inilah yang kemudian membidani kelahiran bahasa Indonesia. Tak banyak yang tahu tokoh pergerakan nasional yang satu ini. Mengingat ia telah berjasa besar dalam menggagas nama bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan mendorong penyebarluasan bahasa Indonesia pascaikrar Sumpah Pemuda. Meski begitu, pemerintah tak lantas menganugerahinya Pahlawan Nasional Indonesia pada 2020 ini.  

Kesadaran Baru 

Kelahiran bahasa Indonesia tak bisa dilepaskan dari satu pertistiwa sejarah penting, yakni Kongres Pemuda. Kongres Pemuda merupakan representasi dimulainya apa yang disebut 'Zaman Bergerak'. Zaman Bergerak adalah era perlawanan rakyat Indonesia yang terorganisasikan secara modern terhadap pemerintahan kolonial, struktur feodal, dan pranata kapitalis di Hindia Belanda yang terjadi antara 1912 dan 1926. 

Perlawanan ini dikatakan ‘terorganisasi secara modern’ karena menggunakan instrumen politik seperti organisasi/perserikatan (vereniging) dan pemogokan (werkstaking) yang difungsikan secara strategis untuk memaksa penguasa menerima tuntutan gerakan. Berbagai gerakan pekerja dan intelektual muda bergabung dalam aksi-aksi bersama yang menentang tatanan kolonial yang represif. Pada masa inilah timbul kesadaran baru tentang bertanah air dan berbangsa satu. 

Pada 1925 dilangsungkan rapat-rapat persiapan yang akan mengarah pada terlaksananya Kongres Pemuda I. Kongres Pemuda I dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926. Apa yang terjadi dalam Kongres Pemuda I lebih merupakan pertemuan penjajakan tentang berbagai ide terkait persatuan kebangsaan. Mohammad Yamin, misalnya, menyampaikan pidato berjudul 'Kemungkinan-Kemungkinan Masa Depan Bahasa dan Sastra Indonesia' yang berargumen bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang paling cocok digunakan sebagai bahasa persatuan. 

Sementara yang lain berpendapat bahasa Jawa lebih tepat digunakan sebagai bahasa persatuan. Sedangkan keseluruhan diskusi itu sendiri dilakukan dalam bahasa Belanda. Kesulitan menyatukan pandangan amat terasa dalam sidang-sidang Kongres Pemuda I. Bahkan, Tabrani sebagai pimpinan kongres kala itu, berkali-kali mesti memediasi berbagai pendapat yang menjurus pada sentimen kedaerahan agar tidak pecah sebagai konflik terbuka antarorganisasi pemuda.

Pemikiran Tabrani

Pemikiran-pemikiran Tabrani untuk menggagas cita-cita persatuan Indonesia dan kesadaran bersama (collective consciousness) bahwa bahasa Indonesia bisa menjadi alat perjuangan dan pergerakan, memberi andil besar dalam proses panjang kelahiran bahasa Indonesia. Bahkan, dalam bukunya yang berjudul Anak Nakal Banyak Akal (1979), ia secara tegas menolak nama bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan sebagaimana usulan Yamin. 

Meskipun Yamin mengusulkan rancangannya yang berbunyi, 'Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah satoe, tanah air Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe' pada Kongres Pemuda I, bagi Tabrani, 'kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu'. Usul itu kemudian disetujui bersama pada 2 Mei 1926. Adalah Linguis Universitas Indonesia Harimurti Kridalaksana, dalam bukunya Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (2009) kemudian mengusulkan tanggal itu sebagai hari kelahiran bahasa Indonesia. 

Sebenarnya, jauh sebelum Kongres Pemuda I, tepatnya tanggal 11 Februari 1926, untuk pertama kalinya Tabrani mewacanakan nama bahasa Indonesia dalam tulisan editorialnya yang berjudul 'Bahasa Indonesia' pada harian Hindia Baroe. Dalam tulisannya itu, Tabrani secara lugas mengusulkan, 'Bangsa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah! Bahasa Indonesia belum ada, buatlah!'.  

Dari gagasannya itulah, kemudian bahasa Indonesia boleh dianggap 'lahir' atau diterima eksistensinya dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sejak itu, Sumpah Pemuda dianggap sebagai hari penerimaan dan pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa Indonesia.

Politik Bahasa

Sejak awal, pemerintah kolonial sadar bahwa tak semua urusan bisa mereka kerjakan sendiri. Mau tak mau mereka harus memanfaatkan rakyat terjajah. Sekolah dan pengajaran bahasa Belanda akhirnya menjadi prasyarat untuk memastikan tenaga-tenaga yang siap pakai guna mengurus segala perkara dan birokrasi kolonial.

Tabrani meyakini bahasa Belanda tak akan pernah menjadi bahasa komunikasi bagi semua orang. Baginya, faktor politik bahasalah yang menjadikan bahasa belanda tidak sedominan bahasa Inggris atau bahasa Prancis di negara jajahannya. Apalagi bahasa Belanda hanya diajarkan di kalangan terbatas. Mereka memang merancangnya sebagai bahasa kaum elit. Meskipun banyak kaum bumiputera yang menguasainya, namun selalu ada jarak antara elit dengan rakyat kebanyakan (jelata).

Kemenangan bahasa Melayu (yang kemudian menjadi bahasa Indonesia) sebagai bahasa nasional dalam banyak hal memperpendek jarak antara elit dengan jelata ini. Bahasa Belanda kemudian pelan-pelan menghilang sebagai sarana komunikasi, karena jumlah penuturnya yang terbatas, lalu digantikan oleh bahasa Indonesia dengan kelenturannya dalam beradaptasi dengan bahasa daerah dan bahasa asing.

Akhirnya, ikrar terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan bentuk kemerdekaan para pemuda dalam menentukan identitas bahasanya sendiri. Selain itu, ikrar ini juga bentuk perlawanan terhadap bahasa kolonial Belanda yang dianggap sebagai bahasa elit. Para pemuda saat itu tentu tidak sudi jika bangsa Indonesia yang dicita-citakan kelak, menggunakan bahasa warisan kolonial.  Jadi pada dasarnya bahasa Indonesia adalah keputusan politik suatu komunitas bernama bangsa Indonesia. Keputusan politik itu kemudian diikat dalam wujud sumpah yang terus diwariskan ke generasi berikutnya.

***

*)Oleh: Rangga Asmara, Dosen Bahasa Indonesia Universitas Tidar; Kandidat Doktor Linguistik Universitas Gadjah Mada.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES